MOJOK.CO – Menghindari zina seharusnya tidak sama dengan mematikan hak-hak anak. Sayangnya, pernikahan anak tidak mendukung ide ini.
Seminar sehari dengan tema Pengarusutamaan Gender: Pendewasaan Usia Perkawinan digelar hari ini, Kamis (29/11), oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI. Tagar #tolakperkawinananak juga menghiasi media sosial, menyuarakan keberatan-keberatan pada kasus pernikahan anak yang kerap menghebohkan publik.
Ya, ya, ya, dibandingkan kita-kita yang masih jomblo padahal sedang memasuki usia quarter life crisis, beberapa anak justru sedang salaman sama penghulu, mengucap janji setia pada pasangannya (yang juga anak-anak) till death do them apart. O, how romantic…
…or not?
Mirisnya, death benar-benar memisahkan sepasang sejoli yang melakukan pernikahan anak. Sebut saja Y (15) dan D (16) di Indramayu. Y, sang perempuan, meninggal dunia dan diduga sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat perlakuan suaminya. Pasalnya, tubuhnya penuh luka. Kasus ini langsung menjadi sorotan masyarakat.
Dua tahun lalu, Pengadilan Agama Indramayu memberikan dispensasi atas pernikahan D dan Y meski dalam UU Perkawinan disebutkan bahwa usia minimal wanita untuk menikah adalah 16 tahun dan usia pria 19 tahun. Alasan dispensasi ini adalah Y dianggap kurang mendapat perhatian dari orang tua karena ayahnya meninggal saat ia masih berusia 7 bulan, sedangkan ibunya bekerja sebagai TKW. Y, yang diasuh oleh neneknya, diizinkan menikah dengan alasan lain yang cukup ‘klasik’: menghindari zina.
Otak saya yang lumayan berdebu pun tergelitik. ‘Semudah’ itukah perkara menikah—hanya sebatas zina dan tidak zina? Ah, rasa-rasanya tidak semudah itu, Ferguso. Kalau memang menikah cuma demi terhindar dari perzinahan, situ mau ngapain habis berhubungan intim dan dapat kepuasan fisik? Apa situ lupa bahwa pernikahan juga perkara kesiapan bertanggung jawab memberi nafkah dan membimbing pasangan?
Ta-tapi kan nikah juga ada dalam agama, Mbak. Daripada zina, ya mending nikah, dong!
Setahu saya, dalam Islam saja disebutkan, kalau belum sanggup atau belum siap menikah, berpuasalah. Tundukkan pandangan—bukannya malah dinikahkan saat itu juga, padahal ujian akhir semester saja belum. Memangnya Anda-Anda pikir anak-anak ini nggak tertarik merasakan sensasi berdebar menjelang EBTANAS apa???
Dalam jurnal Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF, angka pernikahan anak di Indonesia terbilang tinggi. Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan menjadi dua provinsi dengan persentase pernikahan anak tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai 34% dan 33%, sedangkan Aceh dan Kepulauan Riau adalah yang terendah dengan angka 11% dan 12%.
Setiap tahun, sekitar 340 ribu pasangan anak dinikahkan dengan usia perempuan di bawah 16 tahun. Jika ditotal, jumlah pernikahan anak menguasai 46 persen total jumlah perkawinan di Indonesia.
Iya, Saudara-saudara—pernikahan anak adalah 46 persen dari seluruh pernikahan di Indonesia dan kita bahkan belum masuk ke dalam angka 54 persen sisanya karena masih jomblo dan harus move on habis patah hati!!!
HAH, KITA???
Tapi—serius, deh—alasan menghindari zina ini sungguh menarik perhatian. Hanya karena sepasang anak ketahuan berpacaran (yang padahal cuma cinta monyet), orang tua langsung khawatir mereka akan berzina—padahal belum tentu—dan memilih mengundang penghulu. Pertanyaannya, kenapa???
Iya, Pak, Bu, kenapa harus langsung menikah??? Kenapa nggak disuruh sahabatan aja kalau gitu??? Kalau nggak putus beneran, paling nanti mereka bakal backstreet dan menuangkan kegalauan di status Facebook atau Instagram Story. Alhasil, orang tua bisa membuat akun palsu untuk memantau perkembangan asmara mereka diam-diam, deh~
Pemahaman menjaga diri, termasuk pendidikan agama dan pendidikan seks, dalam hal ini menjadi PR besar bagi orang tua. Untuk menghindari zina, bukankah kita harus tahu dulu kenapa zina tidak boleh dilakukan dan hal-hal apa saja yang disebut zina? Seingat saya, menghindari zina seharusnya tidak sama dengan mematikan hak-hak anak.
Hak-hak ini termasuk hak pendidikan, hak hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak terlindung dari eksploitasi, serta hak tidak dipisahkan dari orang tua. Dalam pernikahan anak—sayangnya—hak-hak ini justru harus terbang dan melayang jauh seperti kenangan.
Hak terlindung dari eksploitasi, misalnya. Ada beberapa kasus yang meletakkan pernikahan anak sebagai solusi dari masalah finansial keluarga. Dianggapnya, menikahkan anak di bawah umur dapat membawa keluarga mereka ke kehidupan yang lebih baik, misalnya terhindari dari jeratan utang. Duh, Gusti, bukankah itu sama saja kamu mengeksploitasi anakmu sendiri, Pak, Bu?
Hak pendidikan juga terancam karena kebanyakan pelaku pernikahan anak memilih tidak melanjutkan sekolah. Sedikit banyak, hal ini juga berdampak pada garis kemiskinan yang kian tumbuh dan berlanjut. Sudah begitu, hak-hak lain turut terkena imbasnya: hak bermain, hak berekreasi, hak bikin akun Instagram dan ngelucu di Twitter, hak berkumpul dengan orang tua, hingga hak bebas dari kekerasan dan pelecehan.
Malah, hak kesehatan anak menjadi teror tersendiri. Pada anak yang menikah dini, risiko kematian meningkat lima kali lipat saat proses melahirkan berlangsung. Tak jarang pula mereka terserang persoalan psikologi, seperti cemas, depresi, atau bahkan keinginan bunuh diri.
[!!!!!!11!!!!1!!!!]
Jadi, sudahlah—sudah, tak perlu menekankan alasan ‘menghindari zina’ terus menerus pada kasus pernikahan anak. Pernikahan itu, kan, keputusan besar dalam hidup. Di usia yang belum matang, siapa yang bisa menjamin kehidupan anak-anak ini akan jadi lebih baik dibandingkan jika mereka dibiarkan dewasa dan menentukan jalan hidupnya terlebih dulu?
Lagi pula, dalam hubungan pacaran sekalipun, yang harus dihindari bukan cuma zina, mylov, tapi juga pihak ketiga. Lantas, untuk menghindari pihak ketiga, langkah terbaiknya apa, dong?
Loh, kok nanya? Kan jawabannya sudah jelas: putuskan saja pacarmu dan ikut kelompok bisnis Indonesia Tanpa Pacaran biar jadi jomblo fisabilillah.