MOJOK.CO – Tuntutan ringan jaksa ke terdakwa penyiram air keras ke wajah Novel Baswedan adalah karena ada faktor ketidaksengajaan. Tak sengaja nyiram air keras? Waw.
Kerjaan sebagai jaksa penuntut umum itu prinsipnya cukup sederhana, yaitu: selalu sungujon alias berprasangka buruk terhadap terdakwa. Jika pada umumnya asas tersangka/terdakwa adalah praduga tak bersalah, maka bagi jaksa semua perkara hukum harus berdasar asas praduga bersalah.
Itulah kenapa jaksa yang menuntut dua polisi penyerang Novel Baswedan dengan vonis “cuma” 1 tahun dianggap sedang melakukan langkah revolusioner termutakhir dalam dunia tuntut-menuntut persidangan.
Jika pada umumnya jaksa akan memilih pasal-pasal memberatkan untuk terdakwa, dalam kasus terdakwa penyerang Novel Baswedan, jaksa justru memilih tuntutan-tuntutan meringankan. Ibarat rebutan lapak jualan, langkah ini jelas jadi ancaman serius bagi pengacara-pengacara kasus pidana. Kalau dibikin sinetron Indosiar, inilah yang disebut… “kerjaan jaksa yang tertukar”.
Alasan super-menarik dari jaksa yang hanya menuntut ringan dua polisi penyiram air keras ke wajah Novel Baswedan adalah karena ada faktor ketidaksengajaan.
“Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan ke badan, namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Novel Baswedan mengakibatkan tidak berfungsi mata kiri sebelah hingga cacat permanen,” kata jaksa membacakan tuntutan resmi.
Karena “ketidaksengajaan” ini pula, akhirnya jaksa tidak menuntut dakwaan primer namun hanya dakwaan subsider. “Oleh karena dakwaan primer tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer,” kata jaksa melanjutkan.
Mari kita lihat pernyataan resmi tersebut secara detail untuk memahami bagaimana ajaibnya cara berpikir jaksa secara menyeluruh dalam kasus ini.
Pertama:
Terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat.
Kita ulangi ya, tidak pernah menginginkan.
Tidak menginginkan di sini artinya terdakwa tidak punya niat jahat untuk menyakiti Novel Baswedan. Barangkali dalam perspektif jaksa: dua polisi penyiraman ini memang melakukan tindak kejahatan, namun sebenarnya bukan niat buruk.
Apalagi ada kata “tidak pernah”, yang artinya si polisi tidak punya rasa kebencian sama sekali dengan Novel sepanjang hidupnya. Kata ini juga merepresentasikan bahwa dua polisi ini di mata jaksa cukup bersih, karena bahkan sejak dari “keinginan” pun tidak ada dorongan menyakiti.
Masalahnya, petunjuk-petunjuk sebelum persidangan sebenarnya menunjukkan hal sebaliknya. Kayak salah satu terdakwa yang pernah menyebut gini, “Saya nggak suka sama Novel karena dia PENGKHIANAT!”
Bagi orang awam hukum seperti netizen, tentu hal itu bisa dianggap sebagai indikasi keinginan untuk melakukan penganiayaan berat. Namun karena jaksa di Indonesia punya pengetahuan warbiyasa, hal ini kemudian diuji dengan teknik-teknik mutakhir selama penuntutan.
Bisa jadi jaksa di Indonesia telah menemukan alat detektor niat, sehingga bisa menemukan niat sebenarnya dari dua terdakwa. Teknologi yang jauh lebih unggul ketimbang jaksa-jaksa di seluruh dunia yang hanya punya alat detektor kebohongan. Bahkan konon kabarnya, malaikat pencatat amal baik dan amal buruk pun udah kalah selangkah dari cara persidangan di Indonesia model begini.
Selain itu, perihal niat baik-buruk itu kan tergantung perspektif. Mau dilihat dari mana dulu nih? Kalau dari perspektif korban, hal ini tentu sudah memenuhi unsur niat buruk.
Lah gimana? Persiapan penganiayaan terbukti, pemantauan si pelaku di depan rumah korban terbukti, perbuatan terdakwa diakui sendiri lagi, lah kok niat buruknya malah nggak ada. Dianggap “tidak pernah” ada lagi.
Lah emang selama proses penyerangan itu dua terdakwa ngapain muter-muterin rumahnya Novel Baswedan? Dagang cilok pake saos-sambel ‘air keras’ biar pedesnya bisa bakar lidah secara sempurna gitu?
Sebaliknya, jika hal ini dilihat dari institusi kepolisian. Dengan fakta bahwa dua terdakwa tidak dipecat dari institusinya, sekaligus unsur pimpinan dalam operasi yang terencana ini tidak diungkap, maka jelas hal yang dilakukan dua terdakwa ini sangat baik.
Yah, setidaknya sangat baik untuk menutupi aurat kepolisian lah.
Dan niat baik itulah yang terlihat di mata para jaksa sehingga diganjar dengan tuntutan meringankan sampai bikin 9 pengacara dari Polri untuk kedua terdakwa berpotensi makan gaji buta.
Oke, sekarang mari kita ke tuntutan resmi berikutnya—yang juga jadi kalimat kunci:
Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan ke badan, namun mengenai kepala korban.
Jujur saja, apa yang dibacakan dari tuntutan resmi jaksa ini merupakan progres paling besar dalam kasus penganiayaan Novel—setidaknya dalam dua tahun ini. Kita semua mendapat informasi berharga yang barangkali tak akan kita tahu kalau persidangan ini tak pernah ada…
…bahwa ternyata menyiram air kerasnya nggak sengaja. Niatnya nyiram ke badan, etapi malah kena pala.
Oke, oke, jangan muntap atau ngamuk-ngamuk dulu.
Ketidaksengajaan ini bisa kita pahami kalau kita balik lagi ke pernyataan jaksa yang pertama. Terutama buat kamu yang udah kelewat geram dengan logika jaksa, terus jadi nyerocos tanya begini:
Kalau sudah sedari awal si terdakwa tidak pernah ingin melakukan penganiayaan berat, lantas kenapa terdakwa bawa air keras, Bambaaang? Apa bawa air keras untuk disiramkan ke tubuh (yang katanya jadi niat terdakwa) Novel Baswedan ini bukan termasuk penganiayaan berat?
Apa nyiram air keras kalau ke tubuh korban itu tergolong penganiayaan ringan, sedangkan kalau ke kepala baru jadi penganiayaan berat? Atau bijimana?
Maaf sekali buat kamu-kamu semua yang tak punya kualifikasi hukum sejago jaksa-jaksa kita. Sudah cukup jelas bahwa jaksa dalam kasus Novel Baswedan ini ingin menggambarkan bahwa dua terdakwa tidak berniat melakukan penganiayaan, melainkan ingin memberi “pelajaran”.
Ingat ya: PELAJARAN.
Saya ulangi lagi deh kalimatnya biar jelas: “…hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan.”
Sekarang gini, apa bisa kita menghukum seseorang karena memberi pelajaran ke orang lain? Sekeras apapun pelajaran itu diberikan, asal niatnya bukan niat buruk, maka tidak boleh seseorang dihukum karena memberi pelajaran ke seseorang.
Apalagi, dalam institusi yang keras macam kepolisian, pelajaran itu mungkin diberikan dengan cara yang cukup keras sehingga memerlukan air keras untuk memberi efek ingat akan pelajaran tersebut.
Ada baiknya kita tak perlu marah-marah dengan jaksa yang memberi tuntutan ringan untuk terdakwa penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Sebab, segala keputusan jaksa itu jelas diawali dari pemikiran matangnya.
Terutama kalau kamu ingat-ingat lagi ketika dua terdakwa ini tertangkap pada Desember 2019 lalu. Ada banyak kejanggalan yang ditemukan dan mungkin itu jadi pertimbangan jaksa dalam memberi tuntutan.
Dari mulai sketsa pelaku yang dirilis kepolisian sendiri dengan wajah pelaku yang ditangkap ternyata tidak identik, motif tersangka yang berbeda ketika diumumkan TGPF dengan pernyataan pelaku ketika ditangkap, pihak kepolisian yang tak bisa membuktikan kalau dua orang tersebut memang betulan pelakunya, pengakuan kejahatan yang kelewat mudah dari dua tersangka (untuk kasus berat yang tak terbongkar selama 2,5 tahun), sampai simpang siur apakah pelaku ini ditangkap atau mengorbankan menyerahkan diri.
Hm, apa jangan-jangan jaksa kita tahu kalau memang bukan dua orang ini pelaku sebenarnya sehingga tuntutannya sangat ringan ya? Eh.
BACA JUGA Yang Ajaib dari Kasus Novel Baswedan atau tulisan soal Kasus Novel Baswedan lainnya.