MOJOK.CO – Belum saatnya mengabaikan pandemi karena dramanya makin panas. Kali ini tes covid-19 yang penting untuk memetakan jumlah kasus positif justru jadi amburadul.
Jika negara ini beserta sistem pengendalian pandeminya memang bekerja serius untuk menolong mereka yang terdampak, pasti hasilnya nggak mungkin semrawut. Tapi kita hidup di kondisi sosial di mana masyarakat nggak usah terlalu banyak berharap lah, banyak kecewanya.
Tes covid-19 berupa rapid test sampai tes PCR yang fungsinya jelas buat menolong, mengendalikan, dan menghentikan pandemi justru hadir dalam beberapa babak dan episode tapi nggak ada habisnya, lebih sangar dari drama Korea.
#1. Tes PCR dikurangi, rapid test diperbanyak buat mengurangi jumlah angka positif
Pada dasarnya rapid test atau tes cepat untuk covid-19 punya cara kerja yang berbeda dengan tes PCR. Tes cepat menggunakan antibodi sehingga hasilnya belum bisa seratus persen menentukan apakah seseorang positif covid-19 atau hanya reaktif. Beberapa orang yang ditemukan non-reaktif setelah rapid test justru hasilnya positif saat melakukan tes PCR.
Sesuai standar WHO, persentase sampel positif hanya bisa dinilai jika jumlah tes yang dilakukan minimal sebanyak 1 per 1.000 penduduk per minggu. “Satu-satunya provinsi di Jawa yang mencapai tolok ukur deteksi kasus minimum ini adalah Jakarta,” sebut laporan ini.
— Ahmad Arif (@aik_arif) July 3, 2020
Bahkan desas-desusnya sih, ada beberapa pihak dari nakes yang dipaksa untuk memperbanyak penggunaan tes cepat ketimbang tes PCR demi mengurangi angka positif yang akan dilaporkan ke pusat. Lha kalau begini jatuhnya manipulatif, dong ora e?
#2. Orang-orang males tes covid-19 dengan rapid test karena mahal, ttt-tapi tes lewat Lion Air kok murah?
Saya sering dengar sambat kawan-kawan soal mahalnya harga rapid test dan masa berlakunya yang cuma 3 hari itu. Rapid test jadi salah satu persyaratan seseorang boleh bepergian pakai pesawat dan kereta api. Kisaran biaya yang dikeluarkan berdasarkan yang saya dengar adalah Rp350-450 ribuan sekali tes. Awalnya, hasil tes ini juga cuma berlaku 3 hari.
Tapi sekarang, Lion Air justru menyediakan rapid test dengan harga yang lebih murah yaitu Rp95.000. Aturan, kalau yang mengadakan swasta mah harusnya lebih mahal, lha kok ini malah terjangkau. Kan pikiran saya jadi suuzan sama pemerintah. Belum lagi masa berlakunya yang diperpanjang jadi 14 hari. Bisa-bisanya diperpanjang, emang virus coronanya bisa diajak tawar-menawar masa inkubasi?
#3. Gugas Covid diadukan ke Ombudsman perkara harga rapid test yang mahal. Coba digratisin~
Gugas Covid dilaporkan ke Ombudsman gara-gara telah mensyaratkan rapid test bagi semua orang yang melakukan perjalanan kerja dan berkepentingan untuk bepergian. Padahal harga rapid test sendiri nggak murah. Seorang pelapor bernama Muhammda Sholeh menilai Gugas nggak berhak memberikan persyaratan aneh pada orang yang bepergian, justru Kementrian Perhubungan yang berhal.
Daripada pusing, mendingan rapid test digratiskan, jangan dihilangkan. Hal ini untuk membuktikan bahwa tidak ada permainan ‘bisnis’ di balik tes covid-19 dan tetap ada niatan baik dari pemerintah demi pengendalian angka positif corona. Win-win solution begini kok nggak kepikiran, apa tujuannya emang beneran bisnis ya?
#4. Tes covid-19 beserta birokrasinya yang bikin masyarakat makin keplintir
Pemerintah kota Mataram meminta semua rumah sakit swasta tidak melayani tes cepat alias rapid test. Katanya sih biar jumlah yang dinyatakan reaktif dan positif bisa lebih terkontrol. Sehingga pemerntah pun menggratiskan tes cepat demi penanganan covid-19.
Apakah ungkin kalau kita melakukan tes cepat di rumah sakit swasta datanya bakal tercecer? Ya saya nggak tahu.
Yang jelas, masyarakat yang jauh dari rumah sakit-rumah sakit nonswasta justru makin malah buat melakukan tes karena selain jauh, juga agak ribet ya wak. Birokrasi semacam ini diam-diam bikin bingung dan mematikan semangat orang-orang buat sehat. Diversifikasi rumah sakit semacam ini jujur aja, bikin bingung.
#5. Drama tes covid-19 paling ra mashook: rapid test yang menimbulkan antrean panjang
Ini logikanya di ana sih, bisa-bisanya tes cepat justru menimbulkan kekacauan maha lucu. Orang-orang mau tes cepat dan membuktikan dirinya tidak terinfeksi virus corona, tapi malah antre dan dempet-dempetan sebelum di tes. Yang ada semua orang jadi reaktif, dong, Malih.
Peristiwa konyol ini terjadi di Surabaya pada 4/6 di Masjid Al-Akbar. Pemkot sengaja menggelar tes cepat m-a-s-s-a-l untuk menguji jumlah infeksi virus corona. Jadi bingung, tes virus yang penyebarannya lewat kontak sosial kok digelarnya dengan kontak sosial besar-besaran. Atas peristiwa ini beberapa pihak menyaranan pemkot Surabaya menghentikan program rapid test massal.
Drama-drama soal tes covid-19 ini beneran udah layak kejar tayang di televisi nasional. Kesimpulannya begini. Rapid test yang dibilang hasilnya keluar lebih cepat justru hasil reaktif dan nonreaktifnya dibilang tidak akurat, layak dipertanyakan, dst. dst… Tapi nyatanya tes cepat tetap jadi persyaratan untuk bepergian, terus maksudnya buat formalitas gitu?
Mulai dari harganya yang bisa murah banget di Lion Air dan bisa tiga hingga empat kali lipat di rumah sakit itu juga nggak masuk akal. Merobek-robek logikakuuu. Belum lagi kejanggalan ‘perpanjangan’ masa berlakunya. Pemerintah kalau memang udah luweh sama rakyatnya mbok bilang aja.
BACA JUGA Kejanggalan Angka PDP Meninggal Surabaya dan Zona Hijau yang Jadi Perlombaan atau artikel lainnya di POJOKAN.