MOJOK.CO – Kok ya tega melakukan pungli ke tukang gali kubur untuk pemakaman jenazah Covid-19. Sampean itu manusia apa bukan sih?
Bayangkan kamu adalah seorang penggali makam di situasi pandemi Covid-19. Tiap kamu “bekerja” kamu punya risiko besar untuk terpapar.
Kamu tak mendapat bayaran yang semestinya, karena barangkali kamu merasa ini adalah pekerjaan untuk kemanusiaan. Jadi kamu tak merasa enak hati untuk minta bayaran.
Sampai kemudian datang informasi yang datang ke kamu kalau Pemerintah Daerah tempatmu bernaung ternyata menyiapkan honor ke setiap juru kunci makam sebesar Rp750 ribu. Kamu merasa heran, karena kamu tidak mendapatkan uang segitu sepanjang kamu bekerja.
Itulah yang terjadi dengan Suhari, Juru Kunci TPU Pandanwangi, Malang, seperti yang diberitakan oleh detik.com.
Sepanjang masa pandemi ini, Suhari mengaku sudah melakukan 40 kali penggalian untuk jenazah Covid-19 dan baru dibayar tiga kali. Seperempat dari haknya saja, Suhari tidak mendapatkannya.
Mirisnya lagi, tiga kali bayaran yang dia terima itu ternyata masih dipotong lagi karena alasan tidak masuk akal.
“Jadi dipotong Rp200 ribu, kata petugas yang antar uang yang bilang. Yang Rp100 ribu diambil bosnya. Terus Rp100 ribu lagi untuk beli rokok. Jadi sisanya hanya Rp550 ribu,” kata Suhari.
Ketika sadar bahwa dia ternyata mendapat dana insentif, Suhari sempat menanyakan itu ke UPT Pemakaman Umum (ketuanya sudah dicopot btw), dan jawabannya ternyata cukup mengejutkan.
“Katanya tidak ada (intensif), saya tanya petugas bilangnya tidak ada,” kata Suhari.
Lebih ngenesnya lagi, Suhari kadang masih harus membenarkan pemakaman Covid-19 oleh petugas yang dia anggap kurang serius. Hal ini bikin Suhari jadi bekerja ekstra agar makam-makam untuk jenazah ini cukup layak.
“Bisa dilihat sendiri kondisi makamnya, karena pengurukan asal-asalan, saya harus rapikan sendiri, kadang suruh orang lain dan saya kasih rokok untuk imbalan,” katanya.
Dugaan pungli pemakaman jenazah Covid-19 ini terjadi di Kota Malang, Jawa Timur. Malang Corruption Watch (MCW) menduga bahwa ada yang tidak beres dari pencairan dana insentif selama proses pemakaman Covid-19. Rata-rata, modus para petugas dalam melakukan pungli ke orang-orang seperti Suhari adalah adanya “syarat administrasi”.
Kelakuan amoral seperti ini tentu memanaskan telinga siapa saja. Kok bisa-bisanya ada manusia yang tega mengeruk keuntungan di masa bencana global seperti ini. Ketika seharusnya negara hadir untuk melindungi, yang ada institusi di tingkat daerahnya malah jadi benalu ke orang-orang kecil seperti Suhari.
Meski begitu, melihat upaya Pemerintah (yang pusat terutama) dan aparat penegak hukumnya yang tak pernah serius menghukum para koruptor, tukang pungli, tukang suap, tukang garong, maka tindakan yang diduga terjadi di Malang ini cukup masuk akal.
Cukup masuk akal karena bahkan koruptor dana bansos yang mencapai angka miliaran pun hanya mendapat hukuman yang relatif cukup ringan. Padahal kejahatan yang dilakukannya terjadi ketika banyak masyarakat dalam keadaan sulit.
Dan masyarakat pun kini harus sadar, bahwa adanya pasal ancaman hukuman mati untuk koruptor di masa bencana itu ternyata cuma lips service doang. Semua cuma tipu-tipu saja. Di awal bilang siap-siap-siap, begitu kejadian beneran, lha kok malah kebaikan-kebaikan terdakwa yang diumbar ke mana-mana seolah itu bisa meringankan efek kejahatannya.
Ini belum dengan memasukkan tukang pungli dan suap dari petugas penegak hukum seperti Jaksa Pinangki, yang sejak awal kasus malah mendapat begitu banyak privilese selama persidangan. PENEGAK HUKUM lho ini. Orang yang ngurusin hukum!
Jika yang pungli dan suap di tingkat ratusan juta sampai miliaran saja hanya mendapat ganjaran seringan itu, sudah pasti di tingkat bawah akan ada banyak oknum-oknum Pemerintah Daerah tidak memiliki kekhawatiran melakukan kejahatan serupa. Lebih-lebih kalau nominal uangnya tak sebanding dengan yang ditilep Juliari Batubara atau Jaksa Pinangki.
Absurdnya penanganan tukang pungli dan koruptor di masa pandemi Covid-19 ini juga belum memasukkan fakta bahwa di penjara nanti, para koruptor tersebut kerap kali mendapat fasilitas yang lebih mewah daripada narapidana-narapidana lainnya.
Dihukum dengan vonis penjara tak seberapa (dibandingkan efek kejahatannya), ketika dipenjara juga masih mendapat banyak fasilitas, belum dengan remisi potongan hukuman yang akan menanti di dalam penjara. Semua itu tentu menjadi bahan baku sempurna bagi masyarakat untuk makin tidak percaya lagi dengan Pemerintahnya sendiri.
Hal yang mengkhawatirkan lagi, ketika kemudian masyarakat merasa gerah dengan situasi seperti ini, lalu melakukan protes… seminimal-minimalnya menggambar lewat mural, maka masyarakat pun harus siap-siap diperlakukan selayaknya kriminal. Diminta meminta maaf atas perbuatannya, dan keluhannya dihapus oleh petugas.
Sudah lah diperas lewat pungli di bawah, protes pun berisiko diproses, lalu ketika Pemerintah ngasih imbauan apapun masyarakat harus tetap percaya dan nurut. Seolah-olah tak terjadi apa-apa.
BACA JUGA Brutalnya Hidup di Negara kayak Indonesia atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.