MOJOK.CO – Utas tentang LGBT dari akun @estiningsihdwi memicu keributan. Meskipun keributan adalah fitur tidak resmi dari Twitter, namun utas tersebut lebih banyak membuat kita emosi alih-alih terpesona akan jurnal-jurnal yang disebut dalam utas tersebut.
Lini masa Twitter sedang bersukacita. Yang saya maksud dengan bersukacita adalah, ada keributan yang terjadi di sana. Utas dari akun @estiningsihdwi tentang LGBT dan kutipan jurnal sains yang dia sertakan memantik perdebatan panjang. Banyak yang setuju, banyak yang bilang dia salah dalam membaca jurnalnya, dan jauh lebih banyak yang numpang ribut.
Mohon maaf, bukan maksud sy tdk memberi sumber/ jurnal kajian ilmiah tentang #LGBT
Anda-anda para pembela #LGBT tdk terima klo sy rangkumkan (simpulkan)?
Sy khawatir anda tdk mau baca.
Baca pun, anda apa paham?Maaf-maaf cakap, bukan meremehkan. Tapi anda sok-sokan Ilmiah.
— Dwi Estiningsih (@estiningsihdwi) December 6, 2019
93,8% #LGBT mempunyai setidaknya satu gangguan kepribadian, yang paling umum adalah borderline, obsesif kompulsif dan gangguan kepribadian menghindar.
— Dwi Estiningsih (@estiningsihdwi) December 6, 2019
Cukup? Mau berapa kajian ilmiah lagi?
Masih buanyak.Penelitian diatas dilakukan di negara-negara barat dimana #LGBT telah mendapatkan legalisasi hukum.
Kalau gangguan jiwa alasannya karena perilaku diskriminasi, itu omong kosong!#DaruratHIVDaruratLGBT— Dwi Estiningsih (@estiningsihdwi) December 6, 2019
Topik tentang LGBT di Indonesia memang masih mudah memicu keributan tak berfaedah. Maksud dari tak berfaedah adalah orang-orang belum tentu mau membaca jurnal ilmiah dan melihatnya lewat sains, tapi sudah memberi penilaian yang ndakik-ndakik. Kesimpulan orang-orang itu bisa ditebak, yaitu LGBT tidak boleh dilegalkan dan perilakunya menyimpang.
Masalahnya, akun @estiningsihdwi tersebut memberikan jurnal ilmiah tentang LGBT yang ia rasa mendukung pernyataannya, namun jurnal tersebut mengatakan sebaliknya jika dibaca utuh. Akun tersebut hanya mengambil fakta sepotong-sepotong tanpa memberi konteks luas. Bahkan Brian Mustanski, salah satu pemilik karya yang disebutkan oleh akun tersebut memberi klarifikasi bahwa interpretasi akun @estiningsihdwi itu tidak tepat.
That would be an incorrect interpretation of my work. We have shown that mental health disparities are driven by social determinants (e.g., bullying, anti-gay policies). LGBTQ people are NOT inherently disordered. We summarize that work in this paper: https://t.co/0pRYIVMB3G
— Brian Mustanski, PhD (@Mustanski) December 8, 2019
Orang waras pasti malu, namun di Kepulauan +62 ini, aplikasi logika bisa diabaikan dengan mudah.
Jurnal-jurnal ilmiah yang disebutkan sebenarnya adalah penelitian tentang diskriminasi terhadap LGBT meningkatkan risiko terjadinya HIV. Kalau masih bingung, garis bawahi “diskriminasi terhadap LGBT”, itulah poinnya. Namun ajaibnya, jurnal-jurnal tersebut diambil penggalannya untuk mendukung penolakan terhadap LGBT. Itu pun di awal utas akun @estiningsihdwi bahkan memberi pernyataan yang amat nggleleng, dengan berkata, “Maaf-maaf cakap, bukan meremehkan. Tapi anda sok-sokan ilmiah.”
Anda bingung? Ha aku yo podo. Kok bisa-bisanya mikir kek gitu.
Maaf-maaf saja ini, Bu, bukan merendahkan. Tapi Anda sok-sokan paham. Harusnya dengan dibaca judulnya saja, Anda tahu kalau jurnal yang anda sebutkan itu justru studi tentang persekusi terhadap kaum LGBT. Karya ilmiah ini kalau dibaca penduduk Namec pun, mereka pasti tahu maksudnya. Kalaupun Anda nggak ngerti, Anda harusnya nggak menyertakan karya-karya tersebut. Masak Anda ya berjuang sebegitu keras hanya untuk terlihat meyakinkan gobloknya?
Cara membaca data yang disampaikan oleh @estiningsihdwi ini lucu. Kenapa lucu, karena dia katanya itu dosen. Kalau dosen membaca data caranya seperti ini, mending ngulang mata kuliah keterampilan membaca. Mohon maaf kalau kesannya (memang) menghina, tapi dosen adalah panutan bagi mahasiswa. Coba bayangkan jika pendidik saja cara baca datanya saja seperti itu, mahasiswanya mau belajar apa?
Kecilnya akses kesehatan pada kaum LGBT jelas memberikan dampak berupa meningkatnya potensi penyakit seksual. Ini logika dasar pake banget. Mereka hidup aja udah dihujat banyak orang, apalagi mengakses fasilitas yang sama. Tambah remuk. Penelitian yang harusnya digunakan untuk membuka mata pada kesadaran malah dipakai untuk memberi persekusi yang lebih jauh.
Ngomong-ngomong bu dosen, tahu Toni Blank nggak? Toni Blank adalah artis dunia maya yang terkenal akan komentar anehnya pada suatu isu. Toni adalah pengidap skizofrenia, menjelaskan kenapa dia sering ngelantur ketika memberi komentar pada suatu isu. Tapi hebatnya, penyataan Toni sering mashok meskipun harus disampaikan dengan muter-muter. Kalau Toni bilang, dia gila aja masih mikir.
Nah, masalahnya begini, Bu. Toni Blank itu kalau diikuti secara saksama, omongannya masuk. Dia mengomentari isu secara tepat, hanya kata-katanya saja yang muter-muter kek mahasiswa baru khatam Dunia Sophie. Tapi untuk kasus jenengan, makin kita mencoba memberi perhatian terhadap detil, makin kita mangkel terhadap pernyataan Anda. Kita jadi bete dong udah ikutan ribut gara-gara utas LGBT versi Anda. Tahu gitu, mending ribut sama akun fans Kpop, jelas lebih ra mashok tapi lebih seru. Ini udah ndakik-ndakik, jebul kopong.
Toni Blank 1 – 0 bu dosen.
Oh iya, Anda bilang di utas kalau “sombong terhadap orang sombong adalah sedekah”. Mohon maap nich, Ibu mau cosplay jadi Firaun apa gimana?
BACA JUGA Halo tvOne, HIV Itu Lebih Banyak Ditularkan oleh Hetero daripada Gay atau LGBT dan artikel menarik lainnya di rubrik POJOKAN.