MOJOK.CO – Semakin kamu banyak bicara, semakin berpeluang juga kamu memicu kontroversi. Seperti Kepala BPIP yang sebut musuh terbesar Pancasila adalah agama misalnya.
Ketika memasuki bulan Ramadan, kebetulan saya bersama tim Mojok sempat dipasrahi untuk membuat konten sowan kiai. Karena sasaran pembaca kami adalah anak muda, sudah barang tentu KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau biasa dikenal Gus Baha’ jadi sasaran utama untuk disowani.
Saat itu, nama Gus Baha’ memang sudah dikenal, tapi belum seterkenal seperti sekarang. Dalam bayangan saya, sebagai salah satu ulama yang baru akan meroket popularitasnya, barangkali Gus Baha’ berkenan untuk kami sowani dan wawancara. Yah, simbiosis mutulalisme gitu.
Butuh proses panjang untuk bisa sowan ke murid kesayangan KH. Maimoen Zubair ini. Sampai akhirnya saya urung melanjutkan karena sebab yang saya mengerti kemudian. Dari berapa teman dan saudara yang pernah ikut ngaji Gus Baha’ di Jogja, saya baru tahu bahwa Gus Baha’ cenderung enggan untuk diwawancarai.
Jangankan untuk wawancara, sekadar mengisi pengajian saja, Gus Baha’ baru mau kalau yang memerintahkan adalah guru beliau. Itu pun pengajiannya tak pernah lama-lama, paling banter cuma setengah jam lebih dikit. Kalau kamu bertanya, lah kok di Youtube ada banyak itu ceramah-ceramah Gus Baha’?
Nah, asal situ tahu, apa yang situ kira “ceramah” itu bukan pengajian pada umumnya, itu memang ngaji kitab bandongan. Soal kenapa isinya begitu “kaya”, ya itu karena kemampuan Gus Baha’ mengaitkan isi kitab kuning dengan konteks sosial sehari-hari saja. Tak lebih.
Jarang sekali Gus Baha’ ngomong ngalor ngidul kepanjangan. Sebabnya? Karena situasinya kebanyakan emang lagi ngaji kitab. Jadi pengajian beliau itu emang betulan “ngaji” secara harfiah.
Sejujurnya saya sangat kecewa ketika akhirnya tak jadi mewancarai Gus Baha’, namun saya mengerti benar prinsip ini. Dalam retorika, banyak bicara itu bisa berpeluang selip lidah. Terutama kalau konsepnya adalah omongan panjang lebar tanpa dibentengi satu konsep ngaji sebuah kitab kuning atau literatur lainnya.
Hal semacam ini sudah banyak terjadi. Dari Ustaz Abdul Somad soal kasus salib, Gus Muwafiq dalam kasus cerita masa kecil Nabi Muhammad, bahkan sekaliber Prof. Quraish Shihab saja pernah kena masalah soal konsep jaminan surga untuk Nabi Muhammad yang berbeda dengan tafsir umum di Indonesia.
Semua kasus di atas terjadi dalam atmosfer tanya jawab santai atau pengajian panjang lebar tanpa henti. Artinya, semakin kamu banyak bicara, semakin berpeluang juga kamu mengeluarkan kata-kata misleading yang bisa memicu kontroversi.
Dan itulah yang terjadi dengan Prof. Yudian Wahyudi, Rektor UIN Sunan Kalijaga. Sosok yang juga menjabat sebagai Kepala BPIP.
Kalau kamu lupa apa itu BPIP, itu lho Badan Pembinaan Ideologi Pancasila bikinan Pakde Jokowi. Secara umum, ini lembaga yang bantu-bantu Pakde untuk merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila ke masyarakat umum.
Nah, dalam wawancara bersama detik.com, Prof. Yudian mengeluarkan pernyataan kontroversial dan sangat berisiko memancing keributan.
Pada mulanya, Prof. Yudian mengkritik beberapa kelompok yang mereduksi agama untuk kepentingannya sendiri. Hal-hal ini kemudian dibentur dengan Pancasila oleh beberapa kelompok ini.
“Si minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” kata Prof Yudian.
Tentu saja kalimat ini jadi bola api karena bisa ditafsirkan macam-macam.
Namun kalau merunut konteks wawancaranya, sebenarnya Prof. Yudian membahas mengenai beberapa gerakan radikal yang mengatasnamakan agama untuk menyerang simbol-simbol negara. Meskipun, gerakan radikal yang blio sebut ini juga akhirnya menyerempet ke persoalan politik elektoral tahun lalu pula.
Sebagai orang yang cenderung khusnudzon, saya tentu paham kalau yang dimaksud Prof. Yudian sebenarnya adalah paham keagamaan tertentu yang jadi musuh Pancasila, bukan entitas agama secara general.
Soalnya, mana mungkin agama jadi musuh Pancasila kalau pondasi Pancasila justru berasal dari nilai-nilai agama. Lah, iya kan?
Hanya saja, karena pernyataan ini terlontar begitu mutlak tanpa tedeng aling-aling, sangat wajar kalau publik merasa gerah dengan pernyataan ini. Cukup bisa dipahami kalau banyak yang mencak-mencak.
Kenyataannya, belum juga lewat sehari pernyataan itu keluar ke publik, Achmad Baidowi anggota DPR RI dari Fraksi PPP sudah mengkritik pernyataan Kepala BPIP sekaligus Rektor UIN Sunan Kalijaga ini.
“Prof. Yudian tidak bisa membedakan antara agama dengan paham keagamaan. Yang menjadi persoalan selama ini adalah paham keagamaan atau ekspresi seseorang dalam menafsirkan agama. Bukan agamanya sendiri,” kata Baidowi.
“Pernyataan bahwa Agama musuh terbesar Pancasila merupakan pernyataan bias dan multitafsir,” tambah Baidowi.
Nah, persis. Hal inilah yang patut diperhatikan oleh Prof. Yudian. Untuk sosok sekaliber beliau, segala macam pernyataannya akan jadi sorotan publik. Terutama ketika publik melihat Prof. Yudian bukan hanya sebagai akademisi, melainkan jadi sosok yang merepresentasikan Pancasila ke depan.
Sedikit saja misleding, bisa sangat berbahaya. Itulah kenapa saya sangat mahfum kenapa Gus Baha’ jadi sedikit ulama di Indonesia yang cenderung irit ceramah—jika mengingat luasnya ilmu blio.
Alasannya? Ya karena memang ceramah atau ngobrol di hadapan publik luas itu berpotensi bisa kepleset lidah karena ngomongnya bisa ngalor-ngidul. Hal kayak gini bisa bikin orang lengah.
Meski begitu, ketimbang memperhatikan pernyataan Prof. Yudian—yang saya yakin—tak berpretensi sungguhan untuk menegasikan agama dari Pancasila, saya justru tertarik soal diksi “musuh” yang dipakai blio.
Sebab, pilihan kata ini malah bikin Pancasila jadi seperti alat pukul alih-alih sebagai alat pemersatu. Yah, kecuali kalau tafsir Pancasila saat ini emang mau dipakai BPIP sebagai alat gebuk atau alat tabok sih.
BACA JUGA Pancasila di Atas Aspal Brebes atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.