MOJOK.CO – Amien Rais tuding Jokowi punya kecenderungan otoriterisme makin pekat. Bahkan sampai membandingkan Jokowi dengan kisah Firaun.
Lama tak keluar lagi di belantika lantai dansa media tanah air, akhirnya Amien Rais keluar kembali dengan pernyataan yang sangat quote-ables. Melalui akun Youtube-nya, Amien Rais Official, ada beberapa video seri menarik yang dikeluarkan berdekatan dengan peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-75.
Salah satunya adalah mengenai tudingan Amien Rais yang menyebut Jokowi punya kecenderungan otoriterisme makin pekat sampai membandingkan dengan kisah Firaun.
“Hanya saja di Indonesia, otoriterisme itu jauh lebih parah. Kita menyaksikan pada kuartal pertama Jokowi jadi presiden, pada awalnya rakyat umumnya percaya akan ada perubahan signifikan bagi kehidupan rakyat. Namun harapan itu cepat kandas, mengapa?” kata Amien Rais.
Menurut Amien Rais, hal ini bisa terjadi karena Jokowi selalu melakukan pencitraan politik. “Dalam literatur politik, Jokowi cukup lihai memainkan politik yang penampilannya itu demokratis tapi substansinya intinya otoriter,” lanjutnya.
Sebutan otoriter ini tentu merupakan kata yang umum dipakai oleh pihak oposisi dalam mengkritik beberapa kebijakan pemerintah. Sebuah diksi yang berjalin berkelindan dengan diksi “rezim”. Dua kata ajaib yang sering dipakai.
Sampai tahap itu, tone pernyataan ini terkesan biasa-biasa saja, sampai kemudian saya cukup dikejutkan dengan pernyataan bekas Ketua MPR era Presiden Gus Dur ini yang membandingkan Jokowi dengan kisah Fir’aun.
Hal ini diawali ketika Amien menganggap Jokowi terlalu dibuai oleh orang-orang di sekelilingnya.
“Jokowi terbuai dengan puja-puji pendukungnya. Para sycophants (penjilat) itu dapat meyakinkan mantan Wali Kota Solo yang ‘terbaik di dunia’ itu benar-benar dicintai rakyat sampai batas yang sangat jauh sampai dia berani mengatakan ‘Aku adalah Pancasila’,” kata Amien.
Dari sana, Amien lantas mengungkit kisah Firaun yang menjanjikan posisi penting untuk orang-orang di sekitarnya jika bisa mengalahkan Nabi Musa.
“Hal ini mengingatkan cerita abadi tatkala Firaun beradu kekuatan dengan Musa AS. Para petinggi sihir yang mengerumuni Firaun bertanya ‘apa kiranya yang akan kita peroleh bila kami berhasil memenangkan, Baginda Firaun?’ Jawab Firaun, ‘Pasti kalian akan mendapat posisi penting di sekitarku.’ Ini Al-Araf 113. Saya baca aslinya,” kata Amien Rais.
Tentu saja pernyataan ini sedikit rawan karena membandingkan seorang presiden dengan super-villain macam Firaun. Meski konteks pembahasan Amien Rais hanya pada sisi menyediakan “jabatan” untuk orang-orang yang membantu secara politk, permisalan dengan contoh memakai Firaun sekaligus menggunakan ayat Al-Quran ini agak berlebihan.
Ya kan peristiwa begitu, bisa menggunakan contoh yang lain. Tidak yang mengait-kaitkan tafsir agama untuk urusan politik. Amien Rais seolah belum kapok dengan kebiasaan mengaitkan peristiwa politik mutakhir dengan kejadian sejarah versi agama. Hal ini seolah melengkapi kepingan istilah “Perang Badar” yang pernah dipakai ketika Pilpres 2019.
Padahal, kalau boleh jujur, ada beberapa poin pernyataan Amien Rais yang cukup relevan. Seperti soal sistem checks and balances di pemerintahan saat ini yang direduksi. Tidak secara pelan-pelan, tapi malah buka-bukaan.
Dari lahirnya UU KPK yang bikin lembaga ini jadi melemah sampai dengan terpilihnya Puan Maharani dari fraksi PDIP yang menjadi Ketua DPR RI. Baik wakil rakyat dan pemerintah berada dalam satu spektrum warna yang sama. Belum dengan potensi kelahiran RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang akan semakin melanggengkan oligarki di pemerintahan.
Sayangnya, pernyataan Amien Rais dalam pengaitan ke perspektif agama ini bukan menambah kekuatan kritik, tapi justru cenderung menjatuhkan. Ini semakin diperparah dengan istilah “makar Allah SWT” yang digunakan Amien dalam pernyataan berikutnya, seperti di bawah ini:
“Tetapi, berdasarkan contoh nasib rezim otoriter di dunia, otoriterisme atau otoritarianisme pasti akan ambruk. Makar politik sebuah rezim otoriter tak ada artinya dengan makar Allah SWT. Sayang sekali, rezim otoriter rezim Jokowi bukannya makin lemah sehingga demokrasi kita yang sudah terengah-engah makin berdaya, otoriterisme Jokowi makin kuat dan pekat. Sayang sekali,” kata Amien Rais.
Pernyataan yang cukup berbahaya.
Ketika umumnya orang religius akan optimis dengan pencatutan nama Tuhan, Amien Rais justru menggiring ke ranah pesimisme. Pernyataan itu secara tidak langsung berkata bahwa “rezim Jokowi” lebih kuat dari “makar Allah”.
Apa Amien Rais tidak sadar bahwa pernyataan ini bisa berisiko bikin blio jadi tokoh neo-penista-agama alias tokoh penista agama gaya baru? Lah iya dong, berani-beraninya blio bilang kecewa dengan “makar” Tuhan yang tak terjadi-terjadi?
Selain itu, kenyataan yang tak dipahami Amien Rais adalah soal kebebasan berpendapatnya yang belum ditanggapi serius oleh istana. Direspons sih sudah, tapi ditanggapi secara serius? Belum tentu.
“Tuduhan Amien Rais disangkal oleh kenyataan bahya beliau sendiri bisa bebas mengkritik Jokowi,” ujar Donny Gahral Ardian, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP).
Meski direspons, hal yang menjadi pertanyaan berikutnya tentu saja adalah soal kenapa Amien Rais tak dimasukkan dalam nominator penerima penghargaan Bintang Jasa Mahaputera layaknya Fadli Zon dan Fahri Hamzah?
Kurang “galak” apa sih Amien Rais terhadap pemerintahan Jokowi ini dibandingkan Fadli Zon dan Fahri Hamzah? Apalagi, tak berselang lama setelah Fadli Zon dan Fahri Hamzah menerima penghargaan dari Presiden, Amien Rais justru mengeluarkan selentingan-selentingan kritik ke Jokowi melalui akun Youtubenya.
Ada apa ini? Kenapa Bintang Jasa Mahaputera tidak mampir di dada seorang Amien Rais? Apa karena istana tak menganggap suara Amien tak perlu diperhatikan lagi?
Ya maklum, segala kekuatan politik Amien Rais sudah dilucuti—bahkan—oleh partainya sendiri. Dibuang dari Partai Amanat Nasional (PAN) oleh Zulkifli Hasan, sampai tidak masuk dalam kepungurusan DPP PAN periode 2020-2025.
Dalam kondisi fakir kekuatan politik seperti sekarang sampai harus menjadi Youtuber agar suaranya bisa didengar lagi, ada baiknya Amien Rais meniru langkah Fahri Hamzah. Keluar dari pemerintah, tapi punya visi “menyentil” saat mendirikan Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi). Langkah yang bikin Fahri Hamzah masih diperhitungkan kiprahnya oleh Istana.
Ketimbang bikin pernyataan agamis untuk kepentingan politik dan cuma jadi angin lalu, yaaa kan?
Saran aja sih, Pak Amien Rais, masa pensiun itu lebih produktif kalau buat pelihara Lovebird atau Gelombang Cinta, bukannya kliping ayat agama.
BACA JUGA Nggak Ada yang Minta, Amien Rais Restui Prabowo Jadi Menhan atau tulisan POJOKAN lainnya.