Saya sedang duduk bersama pacar saya di salah satu sudut mini bar yang merangkap menjadi galeri seni kecil-kecilan di bilangan jalan Parangtritis saat lelaki itu bikin saya kaget karena menepuk pundak saya secara mendadak.
Tepukannya yang mengagetkan itu kemudian memaksa saya untuk menengoknya dan bertatapan mata dengannya.
“Mas, pernah lihat saya?” ujarnya tanpa basa-basi dan tedeng aling-aling.
Saya serta-merta pengin menjawabnya dengan jawaban sengak, “Ya jelas belum pernah tho, Mas, lha sampeyan ini siapa?” Namun kemudian saya urungkan sebab lelaki di depan saya ini sama sekali tak punya tampang nyolot. Sekadar bikin kaget saja karena tiba-tiba ia datang, menghampiri, kemudian menepuk pundak saya.
“Kelihatannya belum pernah, Mas,” jawab saya sembari mengingat-ingat, siapa tahu saya pernah bertemu dengan lelaki ini.
“Perkenalkan, Mas, saya Arif. Saya musisi jalanan…” katanya sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Saya langsung menyambut sodoran tangannya tanpa curiga jangan-jangan di tangannya ada jebakan listrik yang bisa membuat saya kesetrum kalau saya berjabat tangan dengannya. Hidup rasanya tak mungkin se-Warkop itu.
“Oh, ya…” kata saya singkat. Saya sedikit banyak sudah bisa mengira kalau ia musisi jalanan, sebab di punggungnya, tergantung sebuah gitar.
“Jadi begini, Mas. Sebagai musisi, alhamdulillah, saya sudah masuk ke dapur rekaman. Saya sudah punya lagu sendiri yang saya ciptakan sendiri dan saya aransemen sendiri. Nah, kaset ini berisi lagu-lagu saya,” ujarnya sembari menunjukkan sebuah kaset CD yang tertutup oleh kertas bergambar foto dirinya sedang mengisap rokok.
Saya sudah mulai tahu arah pembicaraan ini. Ia sedang menawarkan album kasetnya pada saya. Ehm, lebih tepatnya, berusaha menjual kasetnya pada saya.
“Lagu-lagu saya ini temanya luas, Mas. Membahas banyak hal. Dari mulai lingkungan, cinta, sosial, kehidupan, sampai ketuhanan.”
Saya yang tadinya tidak terlalu tertarik kemudian mulai antusias. Hebat betul, ada musisi yang membahas lingkungan, cinta, sosial, kehidupan, sampai ketuhanan dalam satu album. John Lennon saja belum tentu sanggup.
“Wah, luar biasa…” jawab saya singkat sekadar memberi tanda bahwa saya sedang mendengarkannya.
“Nah, kalau Mas berminat, Mas bisa membeli kaset album ini, saya jual 20 ribu saja. Gimana, berminat?”
Saya mulai mantuk-mantuk. Mencoba untuk mempertimbangkan, apakah saya akan membeli kasetnya atau tidak. Maklum, untuk musisi yang saya suka lagunya saja, saya belum tentu mau membeli kasetnya. Apalagi ini, musisi yang bahkan saya belum pernah lihat sebelumnya, lagunya juga belum pernah saya dengar.
Namun kemudian, ada semacam suara-suara kecil yang membisiki saya perlahan. Suara-suara yang seolah menyuruh saya untuk membeli kaset tersebut.
Saya tak bisa membedakan, apakah suara tersebut sekadar manifestasi kepenasaranan saya, atau memang ia adalah suara gaib yang menggiring saya pada keputusan untuk membeli. Namun yang jelas, ia begitu jelas.
“Beli… beli… beli…” begitu kata suara tersebut.
Akhirnya, mulut saya takluk. “Ya, Mas. Saya berminat.”
Si musisi tampak sumringah. Saya kemudian merogoh saku celana saya dan kemudian mengeluarkan uang dua puluh ribu yang tampak begitu kusut.
Saya sodorkan uang tersebut. “Ini, Mas…”
Dia juga ikut menyodorkan kasetnya. “Ini, Mas, kasetnya,” ucapnya lirih. “Terima kasih.”
Dia kemudian berlalu. Mencoba menawarkan kaset lagi pada pengunjung mini bar yang lain.
Saya kemudian melihat-lihat kaset yang baru saja saya beli. Sebuah kaset yang, dari tampilannya, jelek saja belum. Cetakannya norak, gambarnya pecah, dan kertas covernya buruk.
Saya masukkan kaset itu ke dalam tas. Sampai rumah nanti, saya akan mencoba mendengarkannya.
Sembari menyeruput capucino yang sudah saya pesan (Iyaaa… walau itu mini bar, tapi saya pesennya capucino hot sama kentang goreng, saya belum berani minum bir), sembari membayangkan, betapa beratnya hari-hari Mas Musisi yang harus berkeliling menjajakan kasetnya.
Saya lantas melihat bagaimana musisi bernama Arif itu menawarkan kasetnya pada seorang pengunjung yang tampaknya seorang bule.
Saya amati sekian menit. Si Bule tak tertarik untuk membeli.
“Kasihan sekali musisi kita ini, demi menyambung hidup, ia sampai harus berkeliling menjual kaset CD,” kata saya dalam hati.
Setelah gagal menjual kasetnya pada si Bule, musisi kita ini kemudian berjalan keluar. Ia menyunggingkan senyum saat melewati meja saya.
Senyuman itu begitu luar biasa. Terasa sangat Mak plas. Senyuman itu kemudian menyadarkan saya. Bahwa sejatinya, ia tak layak saya kasihani. Sebab ia sedang menjalani hidup yang menyenangkan.
Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang musisi sejati selain hidup dengan berkeliling, bercengkerama dengan orang-orang sembari mengenalkan dan menjual karya-karyanya sendiri?
Jangan-jangan, justru saya sendiri yang sebenarnya layak untuk dikasihani. Saya yang layak dikasihani karena mudah mengasihani orang lain.