Bagi banyak orang, utamanya penyair, hujan adalah kiriman paling syahdu dari Tuhan. Namun bagi yang lain, hujan bisa juga diartikan sebagai sebuah jebakan yang maha asyik dari Gusti Allah.
Untuk pengartian yang kedua, saya pikir, saya pernah punya kisah yang cukup relevan untuk menjelaskannya.
Kala itu, saya dan pacar saya baru sampai di daerah Prambanan dalam perjalanan dari Solo ke Jogja ketika hujan perlahan mulai turun dari rintik kecil dan kemudian mulai menunjukkan tanda-tanda rusuh menjadi semakin deras.
Saya mulai membatin doa dalam hati, “Ya Alloh, Semoga cuaca tetap cerah, jangan hujan, Ya Alloh”
Tapi apa daya, doa saya rupanya kurang makbul. Hujan tetap turun, dan bahkan semakin deras dan provokatif.
“Berteduh dulu, Mas,” kata pacar saya.
Saya manut dan kemudian memutuskan untuk berteduh di masjid di tepi jalan raya. Sekalian luhuran.
Selesai salat, entah karena efek spiritual luhuran atau tidak, tapi yang jelas, hujan mendadak mereda.
“Wah, sholatnya manjur sekali,” kata saya. “Hujannya langsung reda.”
Kami lantas melanjutkan perjalanan. Motor saya starter, dan kami pun kembali melaju menggilas aspal jalanan Prambanan.
Namun kemudian, tak sampai lima menit setelah kami melaju, hujan yang tadi sempat mereda mendadak menderas kembali.
“Wah, Gusti Alloh ini kelihatannya memang suka giyon ya, Dik. Kita Sudah seneng karena hujannya reda, ealah sekarang kok deres lagi,” kata saya.
“Ha mangkanya, kalau hujannya reda, Mas diem saja, jangan komentar,” balasnya sengak.
Saya sadar bahwa mustahil untuk melanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan deras, sebab mantol yang kami punya hanya satu. Kalau saya yang pakai, nanti saya dikira egois, tapi kalau saya suruh pacar saya yang pakai, nanti saya dituduh sok romantis, sok heroik, dan sok berkorban.
Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli mantol di salah satu kios jualan mantol yang kami lewati.
Satu mantol pun terbeli. Harganya tak mahal, tapi agak tak layak pula disebut murah. 45 ribu.
Sekarang kami punya dua mantol. Pas. Satu buat saya, satu buat pacar saya.
Tanpa banyak ba bi bu, kami segera memakai mantol kami masing-masing. Warnanya serasi, sama-sama biru. Berasa mantol couple.
Kali ini, saya mantap melanjutkan perjalanan, mau hujannya deres atau tidak. Sudah pakai mantol semuanya soalnya.
Tapi jan bajangkrek tenan. Belum ada tiga menit setelah memakai mantol, hujan mendadak reda.
“Nah, beneran tho. Gusti Alloh ini memang seneng guyon,” kata saya kembali.
“Kalau ini memang iya, Mas,” balas pacar saya.
Karena sudah kadung pakai mantol, kami memaksa untuk tetap lanjut perjalanan tanpa mencopot mantol yang sudah kami pakai. Rasanya kagol kalau kami harus mencopotnya.
Sepanjang perjalanan, saya membatin doa terus-menerus, “Ya Alloh, hujanlah yang deras, hujanlah yang deras!”