Gombalan Titip Presensi yang Lebih Mirip Permainan Psikologi

MOJOK.CO Perkara titip presensi dalam perkuliahan sesungguhnya lebih dari sekadar permintaan tolong—ia adalah permainan psikologi.

Di masa perkuliahan, kelas saya pernah ditegur seorang dosen gara-gara insiden titip presensi, atau yang sering juga disebut dengan titip absenmeski salah secara bahasa. Waktu itu, dosen saya menerangkan materi sambil memberikan daftar presensi mahasiswa agar kami menandatanganinya sebagai tanda kehadiran.

Beberapa teman tidak datang ke kuliah tersebut, tapi sahabat-sahabat dekatnya dengan senang hati memalsukan tanda tangan mereka. Tak hanya satu—mungkin ada sekitar lima orang yang titip presensi. Mereka semua berpikir akan baik-baik saja karena dosen ini biasanya hanya memberikan daftar presensi, mengajar, lalu pulang.

Tapi ternyata, siang itu berbeda. Selesai kami tanda tangan, dosen saya berdiri memandangi daftar presensi, lalu…

…memanggil kami satu per satu!!!!11!!!!11!!1!

Cewek-cewek yang tadi haha-hihi memalsukan tanda tangan sahabat tercintanya langsung kelimpungan. Mukanya pucat pasi, persis kayak pasangan kekasih yang kepergok chatting-an sama orang lain.

Adegan selanjutnya yang terjadi adalah: dosen marah-marah dan mengancam nilai kami sekelas akan dikurangi kalau tak ada yang mengaku sudah membantu teman-temannya titip presensi. Selama sepuluh menit yang alot dan canggung, cewek-cewek tadi akhirnya mengaku, lalu mereka mengikuti dosen pergi ke ruangannya.

Namun, akhir kisah perjuangan titip presensi yang terjadi di depan mata itu ternyata tidak membuat teman-teman sekelas yang tersisa ciut nyalinya. Dalam kelas berikutnya, selagi ada kesempatan, selalu saja ada yang kirim SMS (iya, dulu belum ada WhatsApp, mylov), meminta bantuan titip presensi.

“Titip absen, ya,” tulis teman saya, suatu hari. Saya cuma membalas, “Baca KBBI dulu, nanti SMS aku lagi,” tapi ujung-ujungnya tetep menandatangani daftar presensi di kolom namanya karena merasa berutang budi pada persahabatan kami yang terjalin selama satu semester.

[!!!!!!!11!!!1!!!!]

Ya, ya, ya, perkara titip presensi ini sesungguhnya lebih dari sekadar permintaan tolong—ia adalah permainan psikologi, mylov, permainan psikologi!!!

Kenapa saya bilang permainan psikologi? Karena kita—mahasiswa-mahasiswa yang sesungguhnya konservatif dan merupakan titisan karakter Dekisugi ini—tentu ingin semua orang di dalam kelas bersikap adil dan fair. Lah wong kita aja bangun pagi, antre mandi di kosan, dan jalan kaki ke kampus demi masuk kelas, kok ini ada aja teman yang dengan santainya bangun jam 10 dan SMS minta titip presensi supaya nilai kehadirannya tetap utuh??? Itu apa namanya kalau bukan curang??? Situ mau nggak kalau dicurangi??? Dicurangi dalam hubungan asmara aja katanya nggak kuat, tapi kok situ nekat mencurangi hubungan diri sendiri dan kehidupan akademik???

Huft, tenang. Rileks. Tarik napas.

Nah, sekali lagi: kita-kita ini—mahasiswa-mahasiswa yang sesungguhnya konservatif dan merupakan titisan karakter Dekisugi—tentu tidak setuju pada perkara titip presensi. Namun, teman-teman kita—yang sama sekali tidak konservatif dan percaya bahwa bersikap sok akrab pada ibu kantin kampus akan memberi keuntungan berupa es teh gratis—dengan ajaibnya akan membuat kita tergerak hatinya untuk melakukan aksi titip presensi. Pengaruh mereka dalam kondisi psikologi kita biasanya dimulai dari kalimat-kalimat andalan berikut:

1. “Tanda tanganku gampang, kok.”

Ini dia, mylov, ini dia cara mereka—pemohon titip presensi—memotivasi kita sampai akhirnya berani melakukan pemalsuan tanda tangan. Mereka pikir, dengan menunjukkan mudahnya tanda tangan mereka, diri kita akan langsung bersemangat menirunya sepenuh hati. Bahkan, jika kita bisa membuat tanda tangan palsunya selama sesi latihan, mereka akan memuji kita seakan-akan kita melakukan hal besar yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia di Planet Bumi. Duh!

Dear kawan-kawan pemohon titip presensi, gini loh: mau tanda tanganmu gampang kek, cuma satu goresan kek, bentuknya cuma blondo-blondo kek, yang namanya titip presensi ya tetap titip presensi. Manusia-manusia kolot kayak kita (hah, kita???) pastilah merasa berat melakukannya—bukan karena kita payah dalam menirukan tanda tangan, tapi karena…

…ya karena kesel aja, gitu, kenapa situ nggak masuk sendiri aja, sih???

2. “Kita, kan, teman.”

Gombalan kedua dari pemohon titip presensi biasanya menekankan persahabatan yang terjalin antara kita dan dia. Baginya, kita adalah makhluk sensitif yang hatinya bakal terketuk dengan ungkapan-ungkapan sendu soal hubungan manusia kayak tulisan-tulisan Rupi Kaur, termasuk permohonannya untuk titip presensi.

Padahal, kalau dipikir-pikir, apa coba hubungannya menjadi teman seseorang dan membantunya untuk bolos kuliah??? Ya mending kalau titip presensinya lancar dan sukses, lah kalau kejadiannya kayak cerita saya di awal tulisan ini gimana??? Mana bisa teman itu melindungi kalau kita yang disalahkan gara-gara mendukung tindakan bolos kuliah??? Hadeeeh~

3. “Kan gantian…”

Tipe pemohon titip presensi ini adalah tipe yang sukanya mengungkit-ungkit apa saja yang bisa dia ungkit-ungkit. Kalau kita menolak dititipi presensi, kalimat balasannya bisa beragam, seperti, “Tapi aku kan kemarin udah bantuin kamu kerjain laporan,” atau, “Kemarin pas kamu kehabisan bensin, kan, aku nebengin kamu.” Dengan flashback soal kebaikan mereka, kita pun dibuat merasa bersalah jika tidak meloloskan permintaannya.

Uh, dasar culas :(((

Padahal, menurut Benjamin Franklin dan Ralph Waldo Emerson, kebaikan itu bukan sesuatu yang perlu dibalas; ia hanya perlu diteruskan hingga meluas menjadi jejaring kebaikan. Secara sederhana, hal ini digambarkan dengan pepatah Utang emas boleh dibayar, utang budi dibawa mati”. Dengan kata lain, kamu tidak perlu merasa berutang budi kalau mereka memang berniat membantumu sejak awal.

“Halaaaaah!” sahut temanmu, “Dua minggu lalu kan kamu titip presensi ke aku. Gantian, dong!”

Ups.

Ehm. Yah, kalau jawabannya gitu, mau gimana lagi? Sesama teman memang harus saling membantu, kan?

Exit mobile version