MOJOK.CO – Sugeng tindak, Pakdhe Didi Kempot. Mugi-mugi Gusti Allah tansah paring pangapunten sedaya kalapetanipun lan ketampi sedaya amal kebecikanipun.
“Wis kebacut ambyar, remuk sing ning ati.”
Ambyar.
Ambyar.
Selasa (5/5), saya bangun dengan perasaan jengah. Lesu sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Pukul 06.00 pagi, cahaya matahari sudah menerobos jendela yang sengaja saya buka sejak malam. Jogja, sejak beberapa hari ini sangat gerah. Saya, begitu enggan untuk beranjak. Sebuah pertanda? Pada titik tertentu, saya percaya dengan hal-hal yang superstition seperti itu.
Pukul 8.40 pagi, kakak menghampiri saya yang sudah suntuk di depan laptop memeriksa tulisan untuk tayang di Mojok. “Didi Kempot sedha.” Didi Kempot meninggal….
Saya tidak percaya. “Cek Twitter. Detik udah bikin artikelnya,” kata kakak saya sibuk meyakinkan. Twitter saya buka dan timeline sudah banjir ucapan bela sungkawa. Sugeng tindak, Pakdhe Didi Kempot.
Tangan saya merinding ketika mulai menulis ingatan ini. Mata saya berkaca-kaca tanpa saya tahu kenapa. Ingatan saya seperti dilempar ke Agustus 2019, suatu sore di Solo, di museum pabrik gula Colomadu.
Saya, bersama Dafi dan Prima menemani Ali Ma’ruf dan Agus Mulyadi yang akan wawancara Didi Kempot. Kami janjian di museum pabrik gula Colomadu. Petang hari, Pakdhe akan gladi bersih sebuah acara konser musik yang digelar di bekas pabrik gula itu. Di sela-sela sibuknya gladi bersih itu, Pakdhe menyempatkan waktunya untuk menemui kami.
Star struck. Ketika tangan saya dan Pakdhe bertaut, saya cuma bisa tersenyum dan menundukkan kepala. Sosoknya yang terlihat sederhana di televisi, terasa begitu besar. Saya terkesima dengan kesederhanaan yang justru terasa merbawani itu.
“Seko Jogja iki? Mas Agus endi? Agus Mulyadi?” Pakdhe Didi Kempot menanyakan Agus Mulyadi, redaktur Mojok yang twitnya tentang Godfather of Broken Heart viral luar biasa. Sebuah twit yang, konon, membidani second coming Didi Kempot di palagan musik Indonesia. Sebuah twit yang, dengan sombong saya berani bilang, menarik perhatian Gofar Hilman untuk membuat Ngobam offline-nya.
“Wis Ayo, meh ngobrol opo? Sik, sik, golek panggon sing luwih kepenak.” Justru Pakdhe Didi Kempot yang terlihat begitu exited untuk wawancara sore itu. Beliau meminta seorang kru untuk mencarikan ruangan untuk wawancara. Biar lebih tenang dan suara gladi bersih yang tengah berlangsung tidak masuk ke rekaman.
Ketika sedang sibuk memasang alat untuk wawancara, seorang kru datang untuk memanggil Pakdhe. Ternyata, sekarang giliran Pakdhe Didi Kempot untuk gladi bersih. Diiringi orkestra, Pakdhe membawakan beberapa lagu andalannya. Kami? Di belakang layar, mengintil seperti anak kecil. Ketika Pakdhe mulai bernyanyi, kami berjoget seperti tak tahu tempat.
Mau bagaimana lagi. Sore itu, adalah sebuah pengalaman yang mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Bisa berjoget begitu lepas, di belakang panggung, dengan iringan suara Pakdhe Didi Kempot yang empuknya setengah mati. Bahkan saking terbuainya dengan suara Pakdhe, saya nggak sadar blocking dan sempat dimarahi Ali, videografer Mojok, yang sedang sibuk mengambil footage. Maaf, ya, Ali. Hehehe….
Sekitar 30 menit Pakdhe Didi Kempot gladi bersih. Ketika kembali ke ruangan, tidak ada jejak lelah setelah menyanyi dan menyesuaikan suara bersama kru. Gerak-geriknya sangat santai. Agus Mulyadi, yang biasanya luwes sekali ketika kemu nama-nama besar, sempat terlihat grogi.
Saya menangkap tiga kesan ketika khusyuk menyimak wawancara: humble, sederhana, dan terlihat senang sekali ngobrol. Bahkan ketika Agus menanyakan hal-hal yang hanya segelintir orang tahu. Pakdhe Didi tidak merasa terganggu dan menjawabnya dengan luwes. Pada titik tertentu, justru Pakdhe yang memandu Agus wawancara, bukan sebaliknya.
Pakdhe Didi Kempot adalah sosok apa adanya. Dia setia kepada keaslian dirinya sendiri. Tidak dibuat-buat, tidak pernah dipoles dan menjadi sosok yang berbeda di depan layar. Kesetiaannya kepada campur sari adalah berkah untuk musik Indonesia. Beliau sangat kuat memegang keyakinannya akan budaya Indonesia yang tersirat dari campur sari.
Dari sedikit sosok besar yang saya kenal, Pakdhe Didi Kempot adalah sosok yang genuine. Atas segala perjuangan dan kesetiannya, mari tundukkan kepala dan haturkan doa terbaik.
Duh Bapak Patah Hati Nasional, pagi ini kami patah hati.
Sugeng tindak, Pakdhe. Mugi-mugi Gusti Allah tansah paring pangapunten sedaya kalapetanipun lan ketampi sedaya amal kebecikanipun. Semanten ugi, keluarga ingkang dipun tilar tansah pinaringan sabar lan tabah kaliyan Gusti Kang Murbeng Dumadi.
BACA JUGA Di Tangan Didi Kempot, Patah Hati Tak Perlu Ditangisi, Justru Harus Dijogeti atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.