Cancel Culture Adalah Budaya Ngawur Favorit Netizen yang Bakal Susah Dihilangkan

cancel culture adalah budaya buruk jahat publik shamming awkarin ahmad dhani ad hominem adalah mojok.co

cancel culture adalah budaya buruk jahat publik shamming awkarin ahmad dhani ad hominem adalah mojok.co

MOJOK.COKata Awkarin, cancel culture adalah kebiasaan parah. Membuang begitu saja orang yang melakukan kesalahan dan melupakan dia selamanya itu nggak bener. Ah masa?

Secara sederhana, cancel culture adalah budaya ‘membuang’ seseorang dari citra baiknya di mata publik. Ketika figur publik berargumen dan dianggap nggak sesuai, melakukan kesalahan memalukan, dan berbagai hal lain yang mengundang emosi, maka publik bisa melakukan cancel terhadapnya.

Cancel culture berakibat buruk pada objek yang di-cancel. Mulai dari sepi job sampai rasa malu ke ubun-ubun. Belum lagi hujatan dan makian dari netizen Indonesia yang setara dengan pedas level 5. Panaaas! Nggak jarang, mental seseorang bisa down cuma karena anggapan publik yang berubah terhadapnya.

Apa yang terjadi pada rumah tangga Ahmad Dhani bertahun-tahun silam bisa jadi contoh legenda cancelation yang bagi sebagian orang masih berlangsung hingga sekarang. Orang-orang nggak peduli berapa judul lagu ciptaan Ahmad Dhani yang pernah menghibur mereka. Bahkan sosok Mulan Jameela aja kena imbasnya. Kalian bakal terkejut betapa emak-emak bergosip tentangnya di media sosial dan masih ngatain doi pelakor sampai sekarang.

Baru-baru ini Awkarin ngetwit soal cancel culture yang sebenarnya dia juga pernah mengalami jadi objek cancelation itu sendiri. Lagu ‘Bad’ yang dia rilis bareng YoungLex sudah membuatnya ‘dibuang’ netizen sejak awal. Terkenal sebagai seleb media sosial yang penuh sensasi sampai akhirnya beberapa misi sosial telah membersihkan nama Awkarin. Walau begitu, kebiasaan cancel-cancel seleb masih ada dan betah banget nangkring di media sosial. Nggak terkecuali Awkarin yang bisa kembali jadi objek cancel meski sudah pernah dimaafkan.

Agak rumit ngomongin cancel culture di Indonesia karena netizennya memang terlalu bar-bar dan bertindak sporadis suatu waktu. Saya sendiri pernah melakukan tindakan itu terhadap beberapa film yang saya rasa mencederai dunia perfilman Indonesia, azeeek (pakai nada Kekeyi). Mulai saat itu saya nggak mau nonton apa pun yang diproduksi oleh suatu PH -yang punya artis itulah- karena dari awal filmnya nggak pernah bagus. Heran banget. Saya juga jadi nggak mau lihat film-film yang aktornya biasa nongol di PH itu.

Kebencian pun menggerogoti. Tanpa sadar saya sedang praktik cancel culture, padahal bisa jadi suatu hari PH tersebut lebih niat bikin film. Tipis banget bedanya cancel sama kritik.

‘Membuang’ seseorang ketika mereka melakukan kesalahan memang hal yang begitu menyenangkan. Ada SJW XX yang ngomongin soal Papua dan nggak tepat, langsung, cancel. Ada selebtwit menanggapi kasus XX dan opininya sangat bodoh, langsung, cancel. Kadang walau sudah minta maaf dan menyadari kalau apa yang mereka katakan itu salah, tetap saja di masa depan opininya dianggap masih bodoh. Padahal bisa jadi si seleb udah baca buku satu lusin sebelum ngetwit.

Tanpa kalian sadari budaya ngawur begitu bisa bikin kita terbiasa untuk menyalahkan dan menghakimi orang bodoh tanpa fokus pada konteks ‘mencerdaskan’ yang dari awal kalian ingin perjuangkan. Kambing hitam mudah dicari, tapi perbaikan moral siapa yang peduli. Kasus pelecehan seksual yang sering dibikin thread di Twitter selalu fokus pada menghakimi pelaku dan menggembor-gemborkan betapa cabul sosoknya. Memang benar kadang perlu.

Tapi saking asyiknya bikin pelaku ‘babak belur’ kita melupakan korban dan kasusnya yang lebih menuntut banyak perhatian untuk diseriusi. Jika memang sudah layak ditindaklanjuti secara hukum, kenapa masih menguliti kehidupan pelaku hingga ke sum-sum tulangnya?

Perlu diakui cancel culture adalah cara pandang subjektif dengan melihat kesalahan pada seseorang. Perdebatan saintifik sekalipun bakal berujung ad hominem ketika orang-orangnya sudah terjangkit cancel culture. Karena fokus kalian sudah beralih dari objek ke subjeknya.

Budaya macam ini walau ngawur dari segala level dan aspek tapi susah banget dihilangkan karena memang begitu menyenangkan. Ketika perbuatan seleb dan orang terkenal lainnya sudah kelewatan, publik bakal langsung benci, cari teman, lalu ganyang ramai-ramai. Mirip sama kebiasaan ngeroyokin maling sampai mampus.

Budaya ini makin tumbuh subur karena media sosial adalah wadah ideal untuk menampung kebencian dan membagikannya dengan orang-orang. Sikap-sikap macam begini paling pas ditanggapi dengan meme “Iri bilang bos!” yang gambarnya Upin ngajak gelut.

Kebencian yang juga dirasakan oleh orang lain adalah sebuah konfirmasi yang bikin tindakan kolektif untuk meng-cancel seseorang makin menyenangkan dilakukan. Hadeeeh, gotong royong kok dalam kenbencian.

BACA JUGA Menebak Karakter Orang berdasarkan Media Online yang Mereka Baca atau artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version