MOJOK.CO – Magrib hari ini, 11 September 2019, Presiden Ke-3 Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia di Jakarta pada usia 83 tahun. Satu sosok terpenting Indonesia baru saja berpulang.
Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Ia anak keempat dari delapan bersaudara. Orang tuanya adalah pasangan Bugis-Jawa, Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.
Kedua orang tua Habibie berasal dari keluarga terhormat dan terpelajar. Kakek Habibie adalah ulama Islam terkenal. Ayah Habibie adalah lulusan sekolah pertanian di Bogor. Pada 1948, Alwi Habibie menjabat sebagai Kepala Departemen Pertanian Negara Indonesia Timur. Sementara ibunya datang dari keluarga dokter.
Pada 3 September 1950, ketika sedang mengimami salat Isya, ayah Habibie terjatuh. Sambil menangis, kakak tertua Habibie, Titi, berlari minta tolong ke asrama TNI di depan rumah mereka. Asrama itu didiami pasukan Brigade Mataram yang saat itu dipimpin oleh Soeharto, kelak presiden kedua RI. Bersama dokter brigade, Soeharto datang ke rumah Habibie. Namun, nyawa Alwi Habibie tidak tertolong lagi.
Sejak kecil, Habibie menyukai mesin. Menurut Titi Habibie, jika ditanya “kalau besar mau jadi apa?” ia selalu menjawab, “Insinyur”. Pendidikan menengahnya ditempuh di HBS (horgere burger school). Di tengah jalan, tahun 1950, ia pindah ke Bandung dan sekolah di Gouvernements Middelbare School sampai 1951. Lalu lanjut ke Sekolah Menengah Atas Katolik dari 1951 sampai 1954.
Selama sekolah, kepandaian anak Parepare ini di bidang ilmu alam dan matematika sangat menonjol. Dalam memoarnya, Ny. Suaedah Djumiril yang sekelas dengan Habibie di SMA bercerita,
“Dalam pelajaran Stereo, BM, Goneo, biar dua jam waktu yang diberikan, tidak akan ada yang bisa. Tetapi, Pak Habibie dalam waktu lima menit sudah menyelesaikan soal tersebut. Jika ujian diberikan 50 menit untuk tiga soal, maka jika murid lain bisa menyelesaikan satu soal saja, itu sudah bagus. Tetapi, Pak Habibie bisa selesai ketiga soal dalam 20 menit.”
Menurut Prof. Dr. K.L. Laheru, Rudy—nama panggilan Habibie—fasih berbahasa Belanda, pandai berenang, bernyanyi, dan bersepatu roda. Minatnya pada aeromodelling juga sudah tampak sejak SMA. Ia memiliki model pesawat terbang buatan sendiri yang selalu ia peragakan dan jelaskan.
Selepas SMA tahun 1954, ia masuk Departemen Elektro, Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung). Dengan biaya dari ibunya, pada tahun 1955 ia melanjutkan kuliah di jurusan Konstruksi Pesawat Terbang di Rheinisch Westfählische Technische Hochschule (RWTH), Achen, Jerman Barat. Ia menyelesaikan jenjang S-1 hingga S-3 selama 10 tahun. Pada 1965, ia meraih gelar doktor ingenieur (doktor teknik) dengan predikat summa cum laude. Kelak, menjelang kepulangannya ke Indonesia, seorang pemimpin perusahaan MBB menyatakan pengakuannya atas genialitas Habibie. Ia berkata bahwa untuk mendapatkan satu orang lagi seperti Habibie, Indonesia membutuhkan waktu seratus tahun.
***
Ketika datang ke Achen tahun 1955, Habibie adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak dibiayai beasiswa. Ibunya yang janda sepenuhnya membiayai kuliahnya. Oleh karena itu, mau tidak mau ia harus menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin.
Habibie juga menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Achen pada 1957. Di bawah kepemimpinannya, PPI menyelenggarakan “Seminar Pembangunan” yang mengundang semua mahasiswa Indonesia di Eropa. Acara ini berlangsung di Hamburg, Jerman Barat, pada 20-25 Juli 1959. Namun, Habibie sendiri tidak menyertai. Sejak dua bulan sebelum seminar, ia diopname di Bonn karena tuberkulosis. Habibie sempat koma selama 24 jam dan hampir meninggal. Di saat kritis itulah ia membuat sumpahnya yang terkenal.
Lulus diploma pada 1960, Habibie kemudian bekerja sebagai asisten peneliti di Institut Kontruksi Ringan RWTH. Pada awal 1962, Habibie cuti pulang ke Indonesia selama tiga bulan. Di Bandung, ia bertemu dengan teman SMA-nya, Hasri Ainun Basari. Tak lama kemudian, pada 12 Mei 1962, mereka menikah. Bersama Ainun, Habibie kembali ke Achen.
Untuk menanggung biaya hidup berdua, sembari bekerja di Institut Kontruksi Ringan, Habibie bekerja di perusahaan gerbong kereta api Talbot. Saat itu, Talbot tengah mengikuti tender gerbong perusahaan kereta api Jerman Deutsche Bundesbahn. Habibie ditugaskan untuk membuat prototipe gerbong kereta api. Ia lalu mengubah konstruksi konvensional yang sudah dipakai puluhan tahun dengan teknologi konstruksi ringan, seperti ada pesawat. Perubahan ini mengundang pesimisme. Kata Habibie, “Hampir semua berendapat bahwa perubahan yang saya usulkan akan gagal. Sikap mereka yang usianya rata-rata dua kali usia saya, sangat konservatif.” Pada akhirnya, tender itu dimenangkan oleh tim Habibie.
Setelah menyelesaikan pendidikan doktor teknik tahun 1965, Habibie mendapat dua tawaran. Pertama, menjadi pengajar di RWTH, kedua, bekerja di perusahaan pesawat Boeing. Setelah mempertimbangkan dengan istrinya, ia menolak keduanya.
“Dari kepentingan pribadi mungkin tawaran ini harus diterima namun dipandang dari kepentingan pembangunan bangsa, sebaiknya tawaran ini kami tolak dan berusaha bekerja di industri dirgantara untuk mendapatkan informasi dan pengalaman berkarya mengembangkan dan membuat pesawat terbang yang memang dibutuhkan untuk mempertahankan dan membangun Benua Maritim Indonesia,” tulis Habibie.
Habibie kemudian mendaftar di perusahaan pembuat pesawat Hamburger Flugzeug Bau (HFB) yang tengah mengembangkan pesawat Fokker F28 dan Hansajet 320. Setelah HFB berganti nama menjadi Messerschmitt-Boelkow-Blohm (MBB), ia diangkat sebagai Direktur Pengembangan dan Penerapan Teknologi, pada 1973. Jabatan tersebut adalah yang tertinggi di MBB yang pernah dijabat oleh orang asing.
Iklim demokratis di Jerman memengaruhi pandangan hidup Habibie. Ini tampak dalam satu dialognya dengan sang istri, Ainun Habibie, tak lama setelah setelah Presiden Soeharto memintanya mengembangkan industri manufaktur dalam negeri.
“Bukankah keputusan yang hanya didasarkan hanya pada pertimbangan seorang presiden saja merupakan kebijaksanaan yang otoriter dan tidak demokratis? Semuanya ini berlawanan dan tidak sesuai dengan perilaku dan sifat saya sendiri, yang telah ditempa dan berkembang dalam lingkungan intelektual, bebas, dan demokratis,” kata Habibie.
Iklim demokratis di Jerman membuka peluang Habibie untuk mengembangkan diri. Setelah dua tahun di Jerman, di usia 21 tahun, ia telah dipercaya sebagai ketua PPI Achen. Di usia 25 tahun, ia telah memimpin tim di perusahaan Talbot, mengatasi direktur dan kepala yang usianya dua kali lipat lebih usia Habibie. Dalam iklim demokratis, rasionalitas diutamakan. Seseorang dinilai berdasarkan kapasitasnya, bukan usia. Iklim ini pulalah yang ia upayakan tercipta semasa pemerintahannya sebagai presiden RI ketiga.
BACA JUGA B.J. Habibie, Bapak Demokrasi Indonesia atau artikel Prima Sulistya lainnya.