MOJOK.CO – Ada banyak kritik yang lahir, namun kritik melalui video yang dibikin oleh Bintang Emon boleh dibilang menyasar lebih banyak orang.
Seorang guru SD didebat oleh muridnya, “Kok sudah setengah abad merdeka kita cuma punya dua presiden?”
Dengan datar dan sabar, Pak Guru menjawab, “Ah, nggak. Soeharto adalah presiden ke-enam republik ini, Nak. Kabarnya, presiden ke-tujuh nanti namanya sama. Tak tahulah nanti siapa presiden ke-delapan nanti.”
Itulah salah satu anekdot atau lelucon yang ada di buku Mati Ketawa cara Daripada…, sebuah buku kecil yang diterbitkan khusus sebagai media perlawanan terhadap rezim orde baru.
Karena digunakan sebagai sebuah alat perlawanan, maka semua komponen penyusunan di dalam buku tersebut pun mau tak mau harus dirahasiakan. Nama penulisnya dirahasiakan, nama penerbitnya disamarkan menjadi Penerbit Pustaka Goro-Goro, percetakannya pun ditulis Percetakan PT. Manakutahu. Yang paling unik tentu label hak ciptanya: “Hak cipta @rakyat Indonesa yang di tengah tekanan dn penderitaannya masih bisa berhumor ria.
Menurut penyusunnya, terbitnya buku berukuran kecil tersebut merupakan sebuah usaha tersendiri untuk membuktikan bahwa rakyat Indonesia masih bisa melawan rezim dengan perlawanan yang selemah-lemahnya iman. Sebuah bukti bahwa rakyat tak mau tunduk dan tak mau kalah oleh rezim yang semakin represif.
Humor dipilih karena memang itulah satu-satunya senjata (selain tentu saja, doa) yang masih bisa dilakukan dengan risiko yang paling minim.
Boleh jadi pers dibungkam, aktivis prodemokrasi dipenjara, organisasi kemahasiswaan dan pemuda dibonsai, wakil rakyat sejati di-recall, aspiirasi rakyat disumbat, tapi siapa yang bisa melarang orang bikin humor?
Humor adalah katarsis bagi orang yang sudah tidak bisa melawan di dunia nyata. Humor menjadi satu dari sedikit ruang bagi masyarakat untuk menghadapi kehidupan yang keras.
Sejak lama, humor memang menjadi entitas yang halus namun menusuk. Ia bersemayam di dalam ruang antara fakta dan tidak. Antara serius dan tidak. Dan karenanya, ia susah untuk dihadapi secara langsung.
Pada titik tertentu, ia mampu menjadi platform perlawanan yang tajam namun menyenangkan.
Lihatlah bagaimana pengelola akun-akun agama garis lucu mencoba mendobrak hegemoni keberagamaan yang entah kenapa terasa begitu kaku dan keras. Akun-akun agama garis lucu itu, membawa kelenturan dan kelucuan dari agama dan alirannya masing-masing. Dan itu menyenangkan.
Ia seakan mampu menjadi lawan yang tangguh bagi para pemeluk agama yang “garis keras”.
Atau lihatlah bagaimana akun capres fiktif Nurhadi-Aldo yang di Pilpres 2019 mampu menjadi penantang yang serius bagi dua pasangan capres resmi versi KPU. Nurhadi-Aldo, tak bisa tidak, mampu menjadi agitator bagi masyarakat bahwa dua capres yang ada bukanlah pilihan yang bagus dan layak.
Rasanya tak berlebihan jika menyebut banyak orang yang kemudian golput karena munculnya Nurhadi-Aldo.
Humor selalu berhasil melawan dengan caranya sendiri. Dan itu pula yang dilakukan oleh stand up comedian Bintang Emon saat mengkritik isu-isu sosial dan politik dalam video-video singkat yang kemudian ia unggah di akun sosial medianya.
Video kritik lucu yang dibikin oleh Bintang menjadi sangat populer bukan hanya karena konteks isu yang ia usung, lebih dari itu, konten humornya juga segar dan sangat relate dengan kehidupan sehari-hari.
Banyak orang menyukainya. Orang-orang yang ingin berteriak dan mengemukakan kemuakannya terhadap ketidakadilan yang terjadi merasa terwakilkan oleh video yang dibikin oleh Bintang Emon.
Ada banyak kritik yang lahir, namun kritik melalui video yang dibikin oleh Bintang Emon boleh dibilang menyasar lebih banyak orang. Sebabnya tentu saja tak lain dan tak bukan adalah karena ia lucu. Orang-orang menyukai kritik terhadap ketidakadilan, orang-orang juga menyukai kelucuan, maka ketika ada yang memadukan keduanya, hanya tinggal menunggu waktu sampai ia menyebar dengan sangat terkendali.
Video-video yang dibikin oleh Bintang Emon hampir tak pernah gagal.
Kita selalu menantikan kritik lucu ala bintang dalam setiap peristiwa sosial dan politik yang membikin kita geram.
Munculnya Bintang Emon sebagai “calon” corong perlawanan terhadap isu-isu yang menyangkut pemerintah pun menjadi semacam harapan dan kesenangan baru. Mungkin berlebihan menganggap Bintang sebagai lawan pemerintah dalam isu komunikasi publik. Namun pada kenyataannya, arahnya memang sedang menuju ke sana.
Ketika kemudian karakter Bintang Emon diserang oleh buzzer-buzzer dengan menyebarkan opini buruk terhadap Bintang, maka sebenarnya itu hal yang memang sudah bisa diprediksi. Akan selalu ada pihak yang tak senang dengan kritik yang licin seperti yang dilakukan oleh Bintang Emon, apalagi dengan impresi yang sangat besar.
Kita tak tahu, akan sejauh mana serangan kepada Bintang, apakah berhenti hanya sebatas serangan karakter di sosial media atau sampai ke arah serangan “pemidanaan”, yang jelas, perlawanan menggunakan humor akan selalu ada dan tak akan pernah bisa dikalahkan.
“Manusia mempunyai senjata yang tak perlu diragukan lagi keampuhannya, yakni tertawa,” kata Mark Twain, “Menghadapi serangan orang tertawa, tak ada yang bisa bertahan.”
BACA JUGA Langkah-Langkah Belajar Menjadi Lucu untuk Orang yang Tidak Lucu dan tulisan Agus Mulyadi lainnya.