MOJOK.CO – Kelebihan punya ponakan online, kita bisa gemesin anak kecil tanpa perlu ada tanggung jawab buat ngasuh, ngurus, atau momong.
Kelahiran seorang anak kecil, ternyata dapat memberikan keajaiban bagi orang-orang di sekitarnya. Apalagi saat dia berusia 1-3 tahun, sebuah usia yang lagi lucu-lucunya. Apa pun tingkahnya, seabsurd apa pun itu, berhasil membuat orang-orang di sekitarnya tertawa—atau paling tidak, menyunggingkan senyum. Kata-kata yang berusaha dia eja, dengan ajaibnya, bisa memberikan energi positif bagi orang yang melihatnya. Kehadirannya yang menggemaskan tersebut, sering kali membawa kehangatan bagi orang dewasa yang sudah penat dengan rutinitas keseharian.
Oleh karena hal di atas, berinteraksi dengan anak kecil menjadi menarik. Dulu kita mungkin hanya dapat memperhatikan dan berinteraksi dengan mereka secara langsung saja. Namun, dengan gadget saat ini, maka kita dapat memperhatikan tingkah laku si anak kecil ini cukup lewat telepon genggam. Meski tak secara langsung, tapi kita dapat mengetahui aktivitasnya seharian—sejak bangun tidur sampai disuruh tidur lagi—yang membuat kita merasa dekat dengan mereka.
Dikarenakan ada perasaan merasa dekat itulah, akhirnya muncul istilah ponakan online. Istilah ini untuk menjelaskan tentang hubungan antara kita—yang sebetulnya netizen pada umumnya—dengan mereka yang kecil-kecil sudah berhasil jadi idola.
Bagaimana kebiasaannya, bagaimana celotehan cadel nan menggemaskannya. Asalkan hal-hal tersebut di-upload sama orang tuanya—baik ibu, bapak, atau nanny-nya—kita jadi tahu dan kemudian merasa dekat. Seolah-olah, semua tayangan tersebut dibagi hanya untuk kita.
Keberadaan para ponakan online ini, sebetulnya juga hasil dari usaha orang tua mereka—baik niat atau nggak niat—sering meng-upload aktivitas keseharian anaknya. Meski ada pula yang betul-betul niat ‘mengorbitkan’ anaknya dengan dibikinin akun Instagram khusus si anak. Dengan dalih sebagai ‘buku harian’, untuk kenang-kenangan ketika mereka besar nanti.
Apa pun itu. Meng-upload tentang aktivitas anak, nyatanya lebih menarik dan ‘lebih menjual’ dibandingkan sharing tentang aktivitasnya sendiri. Tentu saja, konten yang melibatkan si anak tersebut, nyatanya menghasilkan engagement yang lebih besar dari follower-nya. Keran rezeki pun terbuka, tawaran endorse pun bermunculan. Dengan catatan, produk endorse akan makin laku keras kalau di foto atau video ‘iklan’, ngajakin si anak—yang sudah cukup dikenal dan menarik perhatian netizen.
Jangankan si orang tuanya, nanny-nya aja yang rutin upload tentang aktivitas si ponakan online ini, follower-nya juga meningkat berlipat-lipat.
Perhatikan saja para ponakan online kita. Seperti Rafathar, Bjorka, Xabiru, Sekala, Jan Ethes, ataupun Gempi. Begitu banyak masyarakat yang betul-betul menaruh perhatian pada tingkah laku mereka. Menghafal setiap lelucon yang nggak sengaja mereka keluarkan. Langsung bisa tahu kalau mereka lagi sakit, tanpa ibunya ngasih tahu. Ikutan seneng kalau mereka berhasil mengucap sebuah kata baru. Bahkan, komentar, “Kasihan Gempi”, bisa muncul di mana-mana. Sebagai bentuk rasa sayang netizen terhadap ponakan online-nya, karena kasus perceraian bapak ibunya.
Perasaan memiliki ponakan online pun, menjadi tidak sekadar menyukai saja. Namun, juga menjadi sebuah solidaritas yang tak tanggung-tanggung. Bisa dikatakan, ini sebuah peningkatan dalam mengidolakan public figure. Lantaran, tidak cukup sebatas mengidolakan prestasi maupun kepribadian orang tuanya saja. Bahkan kekaguman ini lanjut hingga anak-anaknya. Atau lebih tepatnya, pesona si orang tua menjadi meningkat dengan kehadiran anak-anak kecil yang lucu, polos, dan tanpa dosa tersebut.
Selain itu, munculnya ponakan online ini mungkin sebetulnya untuk membantu diri kita sendiri dalam mengekspresikan kegemesan kita pada anak kecil. Bedanya, karena sifatnya online, jadi kita merasa tidak memiliki tanggung jawab apa pun. Serta tidak memerlukan basa-basi. Tidak seperti jika langsung berinteraksi ke anak orang lain.
Kalau mereka lucu, ya kita tinggal tertawa-tawa aja ngelihat tingkah laku mereka. Kalau nggak mager-mager amat, ya tinggal ngasih komentar tentang kegemesan kita. Nggak perlu basa-basi dengan menggoda si anak kecil yang menggemaskan itu.
Lalu sok basa-basi pengin gendong. Eh, ternyata dianya mau digendong. Terus pas digendong, dianya nangis atau malah ngompol. Atau justru, ibunya minta tolong kita untuk njagain si anaknya dulu. Sedangkan beliaunya mau jemur baju yang habis dicuci. Padahal kan kita awalnya cuma pengin menganggumi si anaknya doang. Kok, malah dapat tanggung jawab buat ngasuh? Kan jadi ribet dan panjang urusan, ya?
Atau yang lebih jauh lagi, dengan mencukupkan diri gemas sama si ponakan online. Kita nggak perlu mendapat basa-basi dari orang tua si anak semacam, “Wah, udah pantes gendong, nih. Jadi kapan mau bikin anak sendiri?” Heh? Gimana? Kapan punya anak sendiri? Mohon maaf, memangnya kita ini hermaprodit, gitu?