Mengenal Wasingatu Zakiyah, Aktivis Perempuan yang Konsisten Suarakan Bahaya Politik Uang

politik uang

Ilustrasi Wasingatu Zakiyah (Mojok.co)

MOJOK- Tidak banyak aktivis anti politik uang yang ada di Indonesia. Namun, jika harus menyebut satu nama, maka Wasingatu Zakiyah adalah satunya.

Politik uang atau money politic sendiri memang masih menjadi borok yang mengotori perpolitikan di Indonesia. Setiap kali menjelang pemilu, fenomena ini bahkan sudah menjadi wabah merajalela dan sebagian besar orang menerimanya. Zaki, sapaan akrabnya, adalah sosok yang secara vokal menentang praktik tersebut.

Sejak awal, perempuan asal Blitar ini memang dikenal karena aktivisme di ranah antikorupsinya. Zaki, yang kini menjadi pengasuh Pesantren Barokah Kalimasada Sleman, juga merupakan salah satu inisiator Desa Anti Politik Uang yang dideklarasikan di Desa Sardonoharjo, Sleman, pada 2019 lalu.

Akan tetapi, jika membahas mengenai pemahamannya mengenai aktivisme, ternyata itu sudah mulai terlihat sejak usia belia. Bahkan, ketika masih SMP dan SMA, ia memberanikan diri untuk mendaftar sebagai Ketua OSIS—dan terpilih. Langkah ini termasuk progresif, mengingat pada masanya, perempuan masih menjadi kelompok yang kurang mendapat ruang di ranah kepemimpinan.

“Ibu saya selalu mengajarkan bahwa perempuan tidak boleh lanjar [mengikut saja] ke laki-laki. Kita juga bisa memimpin,” ujarnya, dalam acara Putcast yang tayang di kanal Youtube Mojokdotco, dikutip Kamis (26/1/23).

Setelah aktif sebagai pemimpin di sekolah menengah, jiwa organisasionalnya juga berlanjut di kampus.

Saat menempuh studi S1 di Fakultas Hukum UGM, Zaki aktif di Senat Mahasiswa. Melalui lembaga ini pula, ia tak hanya aktif secara organisasi, tapi juga rajin “Turba” alias turun ke bawah untuk mengadvokasi masyarakat-masyarakat akar rumput yang mengalami masalah dengan hukum. Pendeknya, Zaki dan kawan-kawannya menawarkan layanan bantuan hukum gratis.

Ia mengingat, saat itu “kilen” pertamanya adalah salah satu keluarga asal Blitar yang terusir dari tempat tinggalnya akibat stigma Tragedi ’65. Perkara ini yang membuatnya harus bolak-balik Jogja-Blitar untuk mengadvokasi kliennya tersebut agar mendapat keadilan.

Setelah kasus pertama ditangani, sejak saat itu ia tercatat mulai aktif mendampingi kasus-kasus serupa. Seperti misalnya, yang paling ia ingat, Zaki juga pernah menangani kasus perampasan tanah di Gunung Kidul.

“Lembaga bantuan hukum yang kami inisiasi dulu jadi cikal bakal PKBH [Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum] UGM saat ini,” terangnya.

Demikianlah, pada akhirnya dari layanan bantuan hukum yang ia rintis, Zaki mulai berkenalan dengan diskursus antikorupsi. Mengingat dalam proses advokasi yang ia jalani, isu-isu korupsi ternyata berjalan seirama.

Akhirnya, pada akhir 1990 ia mulai aktif berdiskusi mengenai isu korupsi. Bahkan, saat masih kuliah, ia sudah ditawari bekerja di Indonesia Corruption Watch (ICW), LSM antikorupsi yang berdiri pasca reformasi. Sebagai informasi, pada awal 2000-an kantor ICW dan LBH Jakarta masih menjadi satu.

“Ruangan kantor saya bersebelahan dengan Almarhum Munir,” ujar salah satu penulis buku Menyingkap Mafia Peradilan ini.

Desa Anti Politik Uang

Pada masa Orde Baru, kata Zaki, “praktik korupsi cenderung tersentralisasi di pusat”. Sementara setelah era Reformasi yang melahirkan kebijakan otonomi daerah, ia menyambung, “praktik korupsi ini justru malah menyebar”.

Menurut Zaki, fenomena ini yang pada akhirnya memunculkan konsekuensi lahirnya “Raja-Raja Kecil” di daerah-daerah, seperti desa.

“Apa yang dahulu diajarkan oleh pusat, kini juga dilakukan oleh daerah-daerah. Dahulu, karena kekuasaan terpusat, korupsinya juga terpusat. Saat Reformasi, kekuasaan menyebar, korupsinya juga ikut,” ujarnya.

Lambat laun, praktik korupsi ini pun makin menjamur pula di desa-desa. Kepala desa atau lurah, yang diberikan kekuasaan besar untuk mengelola desa, bahkan jadi pihak yang melanggengkan praktik ini. Maka, praktik korupsi di lingkup desa pada gilirannya juga memunculkan politik uang di level pedesaan.

Bahkan, menurut peneliti di Chaksana Institute ini, yang menjadi tantangan di kemudian hari adalah masyarakat bersikap permisif dengan politik uang. Praktik ini seolah-olah sudah jadi kewajaran yang memang mesti ada tiap menjelang pemilu. Dalam bahasanya, politik uang di desa-desa “sudah menjadi banal”.

“Di desa, yang penting itu uang dulu yang diterima, tidak penting siapa yang bakal mereka pilih,” sambungnya.

Akhirnya, atas dasar inilah Zaki punya inisiasi untuk mengedukasi warga tentang politik uang di level desa, khususnya di Sardonoharjo, tempat tinggalnya.

Ia beranggapan, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengamanatkan pendidikan politik bagi masyarakat desa. Meski demikian, baginya hal ini belum diimplementasikan di Sardonoharjo. Padahal, politik uang di desa itu masih menjadi problem akut yang harus dikikis melalui gerakan yang sistematis

Akhirnya, sejak tahun 2017 Zaki mulai melobi Kepala Desa Sardonoharjo Harjuno Wiwoho untuk menerbitkan Peraturan Kepala Desa (Perkades) yang mendukung anti politik uang. Ia mengaku, dalam upayanya itu ada banyak tantangan yang harus dia hadapi.

Misalnya, inisiasinya ini ternyata ditentang oleh sejumlah warga karena “uang” yang ditawarkan sudah dianggap sebagai tambahan biaya yang biasa diterima warga setiap pemilu berlangsung. Bahkan, Zaki juga beberapa kali mendapat ancaman dari elite-elite politik yang merasa terusik atas inisiasi itu.

Yang paling melelahkan, adalah bagaimana ia harus melobi dan berdebat dengan perangkat desa yang mayoritas adalah laki-laki. Sementara posisi Zaki seorang perempuan, dan saat itu statusnya “hanyalah” pendatang di Desa Sardonoharjo.

Pun, pada akhirnya upayanya itu berbuah manis. Sejak 2019, sudah terbit Perkades Sardonoharjo Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Desa Anti Politik Uang. Bahkan, Bawaslu Sleman juga telah mendapuk Sardonoharjo sebagai “Desa Anti Politik Uang”.

Sejak saat itu, tiap kali menjelang pemilu, desa dengan 25.000 penduduk ini pun selalu konsisten dengan kampanye anti politik uangnya. Di sana, bakal dipenuhi spanduk-spanduk dan stiker anti politik uang, yang antara lain bertuliskan, “Tolak politik uang” dan “Ojo ndelok duitku“.

“Kita hidup cuman sekali. Jadi kalau kita tahu ada kezaliman dan kita hanya diam, maka pertanggungjawaban di akhirat sangat berat,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Masa Jabatan Kepala Desa Tak Masuk Akal, Hanya Lahirkan Korupsi dan Oligarki

Exit mobile version