Membongkar Stigma Perempuan Pelakor, kok Laki-laki Nggak Disalahin?

Di tengah pusaran konflik perselingkuhan, lantas di mana posisi pelaku laki-laki berada? Laki-laki kerap terlupakan dan itulah masalahnya.

stigma pelakor mojok.co

Ilustrasi stigma pelakor (Mojok.co)

MOJOK.COPerempuan dalam kasus perselingkuhan sering kena “rujak” netizen. Mereka cenderung menyalahkan pihak perempuan, posisi laki-laki dilupakan. Kok bisa?

Beberapa kali topik perselingkuhan menjadi pembahasan di Twitter. Bersamaan dengan itu, istilah “Perebut Laki Orang” atau “Pelakor” biasanya melekat pada perempuan yang terlibat dalam perselingkuhan. Sepanjang 2023, tagar terkait pelakor dan selingkuh muncul silih berganti. Cuitan komentar yang menanggapi topik itu punya corak yang sama, seksis nan misoginis.

Biasanya, setelah heboh kena hajar pengguna Twitter, berita akan mulai berseliweran di Instagram. Lalu, portal media arus utama muncul dengan narasi yang menempatkan perempuan pada posisi yang tak menguntungkan. Baik secara dialog, visual, dan judul yang bias. Semua ini berujung pada langgengnya konstruksi terhadap perempuan sebagai pihak paling bertanggungjawab dalam kasus perselingkuhan.

Dampak dari narasi yang tidak menguntungkan ini sudah bisa ditebak. Netizen akan menyerang perempuan pelakor dengan komentar-komentar yang berkutat pada objektivikasi atas penampilan, tubuh, warna kulit, atau kehidupannya. Semua hal bisa jadi bahan bakar untuk hujatan, diskriminasi, hinaan, kalimat seksis, serta pelecehan simbolis dan verbal. Padahal pelakor sebenarnya juga korban dalam kasus perselingkuhan.

Perempuan yang menjadi korban, dalam hal ini istri atau pasangan dari laki-laki yang diakui secara resmi oleh publik, tidak luput dari komentar seksis seperti: terlalu mandiri, lebih kaya/mapan, mendominasi, tidak menarik, terlalu tua, atau tidak bisa mengurus pasangan. Anggapan-anggapan yang membuat orang-orang kemudian menuliskan komentar “pantas saja diselingkuhi!”

Tak sedikit juga bermunculan komentar yang membandingkan kecantikan atau penampilan kedua perempuan. Pada akhirnya  hanya menjadi pertarungan perempuan dengan perempuan lainnya.

Di mana posisi laki-laki dalam kasus perselingkuhan?

Pada kasus perselingkuhan, dapat dilihat bahwa dua perempuan yang berhadapan sama-sama berada pada lingkaran setan yang sama. Apa yang membuat laki-laki kemudian memilih berselingkuh pasti karena kesalahan dua perempuan yang terlibat dalam relasi tersebut.

Di tengah pusaran konflik perselingkuhan, lantas di mana posisi pelaku laki-laki berada? Laki-laki kerap terlupakan dan itulah masalahnya. Kita lupa bahwa peran laki-laki dalam situasi perselingkuhan juga krusial. Mereka yang kerap mendominasi, mengatur kondisi perselingkuhan, sebab mereka juga yang mengenal kedua perempuan dalam relasinya.

Laki-laki yang merupakan subjek utama tidak boleh dipinggirkan begitu saja. Konstruksi tentang maskulinitas dan peran laki-laki dalam masyarakatlah yang memengaruhi alasan laki-laki kerap menjadi pihak pertama yang memulai perselingkuhan. Label bahwa laki-laki adalah manusia kelas pertama memainkan perannya.

Konstruksi itu yang juga mengasumsikan kepada laki-laki pelaku perselingkuhan bahwa mereka memiliki kuasa lebih besar dalam hubungan, termasuk hak pada ruang seksualitas. Kemudian, pada akhirnya menciptakan situasi bagi laki-laki untuk memiliki kebebasan berselingkuh dan memanipulasi perempuan  tanpa perlu menerima konsekuensi sosial.

Pada situasi berita tentang perselingkuhan, narasi yang dihadapkan media pada kita – sebagai pengguna dan masyarakat – jarang berdasarkan fakta. Narasi media mengandung muatan yang memperkuat stereotip gender, yang tentu saja tidak mendorong dialog sehat dari pembaca.

Halaman selanjutnya…

Istilah pelakor berakar dari struktur patriarki

Istilah pelakor berakar dari struktur patriarki

Narasi media yang seksis membuat pembaca lupa bahwa setiap orang perlu membaca informasi tentang perselingkuhan tanpa melakukan generalisasi gender. Mengingat, isu ini bisa dilakukan oleh siapapun dan posisi korban perselingkuhan juga bisa ditempati oleh laki-laki atau perempuan.

Melalui konsep Monstrueux atau Monstrous Feminine, seorang filsuf feminis, Julia Kristeva menyampaikan bahwa perempuan kerap ditempatkan dalam posisi yang terkait pada representasi sosial dan simbolik terhadap tubuhnya. Konsep Monstrous Feminine memetakan tentang bagaimana identitas perempuan dalam ruang patriarkal sering menghasilkan pembagian gender yang biner, sehingga memunculkan cara pandang sebagai sesuatu yang ‘lain’ atau ‘mengerikan’ terhadap perempuan.

Pada konteks berita perselingkuhan, kaitan terhadap konsep Kristeva dapat kita lihat melalui interpretasi patriarkal nan seksis yang muncul di media. Meskipun tidak semua berita perselingkuhan melibatkan perempuan sebagai korban atau pelaku, namun narasi yang dibentuk cenderung mencerminkan stereotip dan penilaian negatif terhadap perempuan (sebagai istri atau selingkuhan).

Isu perselingkuhan sering menyoroti peran perempuan selingkuhan atau pelakor sebagai seseorang yang jahat, mengganggu stabilitas rumah tangga yang murni, merusak relasi suci, atau merusak tatanan hubungan heteroseksual yang ada. Kehadiran pandangan ini mencerminkan gagasan Monstrous Feminine dari Kristeva, sebab mengaitkan wujud perempuan dengan kekuatan yang mengancam, menjijikan, menyeramkan, biadab, dan sesuatu yang jahat.

Penting kita ketahui, pandangan-pandangan tersebut merupakan hasil konstruksi sosial yang berakar dalam struktur patriarki. Dengan kata lain, pelakor yang lekat dengan citra buruk bukanlah refleksi atas realitas objektif.

Perselingkuhan bisa dilakukan oleh siapapun – tanpa memandang identitas gender – dan menjadi isu yang tidak boleh dibenarkan, tetapi isu ini juga harus diberitakan dengan narasi yang adil, khususnya yang mampu mewadahi pengalaman perempuan. Sebab cara ini akan membuat banyak berita perselingkuhan dipahami dengan konteks yang lebih luas, juga tidak lagi meletakkan perempuan sebagai orang dengan peran paling negatif dalam isu.

Penulis: Ifah Magfirah
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA Film Barbie: Isu Feminisme Dibalut Komedi, Tertawa di Luar Merenung di Dalam

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version