MOJOK.CO – Golkar merupakan partai lawas, melegenda, dan punya basis massa yang besar. Sayangnya, kini mereka telah kehilangan daya gedornya.
Bisa dibilang, sejak Reformasi 1998, Golkar menjadi partai yang sama sekali berbeda daripada saat masih di era Orde Baru. Sejak reformasi pula, atau setidaknya dalam lima edisi pemilu berlangsung, tren elektoral partai berlambang pohon beringin ini juga terus mengalami penurunan.
Meskipun Golkar dapat bertahan di 2-3 besar partai politik nasional, perolehan suara dan kursinya di DPR cenderung anjlok.
Misalnya, dalam pemilu terakhir, yakni pada 2019 lalu, Partai Golkar hanya meraih 12,3 persen suara yang kemudian dikonversi menjadi 85 kursi di DPR RI. Padahal, jika dibandingkan prestasi Golkar pada pemilu awal reformasi, yakni Pemilu 1999, Golkar masih bertengger di 22,4 persen suara dengan merebut 120 kursi DPR RI.
Perolehan suara “paling mending” Golkar pasca-reformasi justru dibuktikan dengan raihan suara dan kursi di Pemilu 2004. Saat itu, mereka kembali menjadi pemenang pemilu dengan meraih 21,6 persen suara dan 127 kursi.
Sayangnya, tren negatif justru terus berlanjut hingga saat ini. Konflik internal, krisis kepemimpinan, hingga hilangnya identitas partai, harus diakui bikin Golkar hilang pamor di kalangan pemilihnya.
Lantas, seperti apa tren penurunan suara ini dialami oleh Golkar? Berikut ini Mojok telah merangkumnya dalam lima babak.
#1 Pemilu 1999, kekalahan pertama Golkar
Pemilu 1999 menjadi tonggak baru bagi Partai Golkar, untuk pertama kalinya, mereka menjalani politik elektoral pertama setelah Orde Baru. Momen ini sekaligus mengenalkan ketum pertama dari kalangan nonmiliter, Akbar Tandjung.
Sayang, pemilu kali ini sekaligus menjadi yang pertama kali Golkar tidak memenangkannya. Pada Pemilu 1999, Golkar meraih 23 juta suara dan “hanya” berhak atas 120 kursi DPR RI. Artinya, mereka kehilangan total 205 kursi dari pemilu sebelumnya di 1997.
Mereka pun kalah dari PDIP yang meraup 35 juta suara (33,7 persen) atau yangs setara dengan 153 kursi di parlemen.
#2 Pemilu 2004, menang tapi tetap di ‘trek’ negatif
Partai Golkar dipastikan memenangkan Pemilu 2004 setelah berhasil meraih 21,58 persen suara. Mereka pun berhak atas 128 kursi di parlemen.
Partai yang saat itu dinahkodai Akbar Tandjung ini unggul atas PDIP yang meraih 18,53 persen (109) kursi di posisi. Namun, yang menjadi kejutan saat itu adalah partai baru yang digawangi mantan Menteri Pertahanan Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat, yang meraih 7,45 persen (57 kursi) dan menempati peringkat 5.
Meski menag di pemilu legislatif, sebenarnya Golkar tetap berada di trek negatif. Pasalnya, secara presentase kursi mereka turun dibanding pemilu sebelumnya. Hadirnya kekuatan baru, seperti Partai Demokrat dengan SBY-nya, juga dianggap bakal jadi tantangan bagi Golkar untuk mengembalikan hegemoninya.
Benar saja, dalam Pilpres, calon presiden Golkar yakni Wiranto (berpasangan dengan Salahuddin Wahid) hanya mampu meraih 22,15 persen dan gagal melaju ke putaran kedua. Mereka kalah dari pasangan Megawati-Hasyim dan SBY-JK.