Sukses mungkin adalah kata yang melekat pada doa dan pengharapan banyak manusia. Tapi mungkin karena jarak yang begitu dekat dengan pengharapan, kadang kita tak sempat merenungkannya.
Kita tentu sering didoakan oleh orang yang kita sayangi dengan kata “sukses”. Saat Lebaran, saat kita sungkem pada orangtua atau orang yang kita tuakan, banyak di antara mereka yang mendoakan, semoga kita sukses dunia dan akhirat. Kalau kita mengakhiri pertemuan dengan kawan, baik kawan lama atau kawan baru, diakhiri dengan kalimat, “Sukses selalu ya, Bro!” Tapi apa sih sebenarnya sukses itu?
Jika kita bertanya pada banyak orang tentang definisi sukses, jawaban satu dengan yang lain hampir bisa dipastikan berbeda. Ada yang mendefinisikan sukses itu artinya dia bisa meraih apa yang diimpikan. Ada pula yang menyatakan diberi keluarga yang sehat dan sejahtera. Ada pula yang mengidentikkan sukses dengan pencapaian karier yang bagus. Dan seterusnya. Kebanyakan kata sukses akhirnya dilekatkan oleh sesuatu yang masih abstrak dan nisbiah alias relatif. Lalu kita akan bertanya lagi apa itu bahagia, sehat, sejahtera, karier, dll.
Saya termasuk orang yang sulit sekali mendefinisikan apa itu “sukses” bagi saya. Termasuk parameternya. Tidak tahu kalau Anda. Bisa jadi sukses itu bersifat temporer, jika satu hal kita capai, lalu variabel kesuksesan harus diubah lagi. Tentu kita sering mendengar betapa kesalnya seseorang jika ditanya sesuatu yang seolah selalu bergeser. Sering kita mendengar ini: Kapan lulus? Setelah lulus, ditanya kapan nikah. Setelah menikah ditanya kapan punya anak. Setelah memiliki anak satu ditanya kapan punya anak dua. Setelah punya anak dua, ditanya kapan menambah jadi tiga. Setelah itu mungkin ditanya kapan naik haji? Setelah itu mungkin ditanya kapan pensiun? Kenapa kerja terus? Apa nggak capek bekerja? Capek dan kesal, bukan?
Sementara di sisi lain, kita punya keterampilan mental untuk mencukup-cukupkan sesuatu. Membuatnya menjadi lebih mudah. Saya juga akan berikan contoh yang biasa dijadikan contoh bagi banyak orang. Jika kita ditanya, apakah kita bisa hidup dengan uang 200 ribu rupiah sehari, kita menjawab: cukup sekali. Bagaimana jika dengan uang 100 ribu sehari? Cukup kok. Bagaimana jika dengan uang 50 ribu sehari? Insya Allah cukup. Bagaimana jika dengan uang 25 ribu sehari? Ya, dicukup-cukupkan.
Sementara dalam praktek kehidupan, kita mungkin juga akan melakukan hal sebaliknya. Ketika tak punya kendaraan, mungkin berpikir punya sepeda motor sudah cukup. Asal bisa dikendarai kapan saja, dan mempercepat mobilitas kita. Begitu kita punya sepeda motor, kita pengen sepeda motor yang lebih bagus lagi. Supaya lebih nyaman, lebih tangguh, dan lebih enak dilihat. Bikin lebih percaya diri dan menyenangkan saat dikendarai. Begitu keinginan itu tercapai, pengen punya mobil. Yang penting kalau hujan tidak kehujanan, kalau panas tidak kepanasan. Mobil murah tak mengapa, yang penting bisa menampung seluruh anggota keluarga. Begitu hal tersebut tercapai, kita ingin mobil yang lebih baik lagi. Yang sentoran AC-nya lembut, yang sound-nya enak didengar, yang suspensinya nyaman, dll. Begitu itu sudah terkabul, kita butuh dua mobil. Satu mobil keluarga untuk jarak yang lebih jauh, satu lagi mobil untuk menjelajah jalanan perkotaan sehingga lebih gesit lagi. Begitu kembali sudah tercapai, mulai memikirkan mobil ketiga, yang bisa dipakai menempuh jalanan yang agak susah sehingga butuh model mobil SUV. Begitu terus. Tak ada selesainya. Hal yang sama mungkin dengan rumah, jumlah rekening, jumlah tabungan, deposito, dll.
Kita sering pula dibuai dengan kata-kata “cukup” dan “syukur”. Tapi percayalah, itu tidak mudah. Kita minimal punya tabungan 10 juta, untuk berjaga kalau ada anggota keluarga yang sakit mendadak. Akhirnya angka itu dianggap tidak cukup, harus ditambah menjadi 50 juta. Sebab siapa tahu usaha kita mendadak bangkrut dan karena itu butuh tambahan modal. Lalu bertambah lagi jadi mestinya 100 juta, untuk tabungan hari tua. Hari tua kok hanya punya tabungan 100 juta, kurang dong. Akhirnya harus ditambah lagi, lagi, lagi, dan lagi.
Kesadaran bahwa hidup ini tidak akan bisa kita penuhi sesuai dengan keinginan dan konsepsi sukses yang terus bergerak inilah, yang kadang membawa banyak mudarat, yang kemudian menghasilkan kata atau konsepsi yang sebaliknya. Dalam berbagai ranah kebijaksanaan. Mulai dari syukur, cukup, sakmadya, dll. Sampai ke jalan atau prinsip kehidupan seperti “menikmati proses”, “hidup minimalis”, “menghayati kesekarangan”, dan berbagai istilah serupa itu.
Di Jawa misalnya, salah satu orang bijak yang menjadi referensi tema soal keinginan manusia, kebahagiaan, dan juga kesuksesan adalah Ki Ageng Suryomentaram. Beliau pula yang dengan jitu, mendefinisikan keinginan manusia itu “mulur-mungkret”. Bisa mengembang dan mengerut. Tergantung pada situasi yang kita capai dan kita rasakan. Manusia memang punya kecenderungan selalu kurang, namun jangan keliru, manusia juga punya kemampuan untuk bisa merasa cukup alias “memungkretkan” atau meminimalkan atau membuat lebih kecil lagi berbagai keinginan kita. Itu semua adalah bagian dari “manajemen rasa”. Mengatur pikiran dan mental kita sendiri.
Merasa kurang, tidak pernah merasa cukup, parameter kesuksesan dan kebahagiaan yang senantiasa bergeser, justru bisa menjadi ancaman atas diri kita sendiri. Namun, rasa itu pula yang dipercaya banyak pemikir, yang menggerakkan peradaban. Peradaban dipercaya begitu dinamis bukan sekadar karena manusia bisa menanggulangi masalah yang dihadapinya, tapi sekaligus karena manusia dipenuhi oleh rasa tidak puas. Dan ingin lebih lagi.
Tampaknya, saya atau mungkin Anda, memang layak untuk hidup dalam kesadaran penuh. Melakukan harmonisasi. Kapan puas dan kapan tidak puas. Kapan bergerak, dan kapan diam sesaat. Bisa bersyukur tapi sekaligus juga bisa mengakomodasi keinginan untuk mendapatkan lebih. Tidak gampang tentu saja. Butuh banyak latihan. Kalau itu berhasil kita kendalikan, apakah itu yang disebut dengan sukses?
Mmm… ya, tidak tahu juga sih….
BACA JUGA 6 Investasi yang Sering Dilupakan Banyak Orang dan esai-esai Puthut EA lainnya di rubrik Kepala Suku.