Di Indonesia, ada dua posisi unik dalam ranah politik. Pertama adalah kaum yang kehidupan politik mereka hidup 5 tahun sekali, yakni ketika mau Pilpres. Harapan sebesar-besarnya dititipkan ke proses politik tersebut. Ketika Presiden mereka sudah terpilih, lalu mereka kecewa, maka yang dilakukan adalah menunggu pemilu selanjutnya untuk kembali menitip harapan. Begitu terus. Titipan harapan yang terus kandas itu tidak memberi pencerahan politik sama sekali. Ditipu elit politik berkali-kali tetap saja ikhlas. Luar biasa.
Kedua adalah kelompok yang setiap kali Pilpres telah menghasilkan Presiden terpilih, detik itu pula mereka ingin menjatuhkannya. Hampir sepanjang 5 tahun pula, hidup mereka diabdikan untuk menjatuhkan Presiden. Seakan tanpa isu penjatuhan Presiden mereka akan sesak napas. Terutama hal ini terjadi di era SBY. Tapi pada kenyataannya, SBY tetap jadi Presiden sampai masa jabatannya habis dan kemudian diganti Jokowi. Kini Jokowi yang ingin dijatuhkan.
Kedua kelompok unik tersebut sudah tentu perlu kita hormati. Bagaimanapun itu adalah bagian dari ekspresi politik anak bangsa. Bahkan saya ingin memberi sumbang saran terkait kelompok kedua, kelompok yang ingin menjatuhkan Jokowi.
Presiden Jokowi menurut hemat saya tidak terlalu sulit untuk dijatuhkan. Tidak seberat menjatuhkan SBY. Sebabnya ada dua.
Pertama, tidak ada partai politik satu pun yang benar-benar akan mempertahankan Jokowi menjadi Presiden jika dalam posisi agak sulit. Di mata para politikus partai politik, siapapun yang bisa menjanjikan keuntungan politiklah yang akan dibela. Kalau memang dengan menjatuhkan Jokowi berimbas pada keuntungan tersebut, mereka tidak akan keberatan.
Kedua, tingkat kepercayaan publik kepada Jokowi juga sudah menurun drastis. Sudah 7 bulan Jokowi berkuasa, tidak ada terobosan politik yang jelas, bahkan cenderung gagal memenuhi harapan politik rakyatnya dengan memilihmenteri yang tidak punya kapabilitas, membuat kebijakan BBM yang aneh, tidak punya sikap pada kasus KPK vs Polri, dan masih banyak lagi yang lain.
Tetapi menjatuhkan Jokowi tetap saja membutuhkan kiat yang tepat. Butuh panduan yang pas. Tidak bisa sembarangan. Setidaknya saya akan bagikan tiga tips penting.
Pertama, harus ada terobosan teknologi yang bisa menyabotase bunyi ‘klik’ di mesin rice cooker. Perubahan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang lapar. Dengan hilangnya bunyi ‘klik’, nasi tidak bisa tanak. Kalau nasi tidak tanak maka rakyat lapar. Kalau rakyat lapar maka mudah untuk bergerak menuntut perubahan nasib mereka, termasuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Kedua, ketika melakukan demonstrasi, gantilah molotov dan batu biasa dengan batu akik. Niscaya polisi yang dilempar batu akik tidak akan menyerang para demonstran, tapi malah sibuk memunguti akik-akik yang ada. Di saat itulah, barisan massa rakyat akan dengan mudah melewati blokade aparat.
Ketiga, harus ada kepanikan di dunia ekonomi. Rakyat harus bekerjasama dengan lembaga yang bisa membuat hal itu terjadi. Salah satunya adalah dengan tiba-tiba BRI membuat kebijakan tutup satu bulan untuk memancing penarikan uang besar-besaran oleh nasabah di semua bank. Kenapa harus BRI, selain karena daya jangkaunya sampai jauh ke desa-desa, BRI-lah satu-satunya nama yang ada kata ‘rakyat’-nya yang benar-benar berdaya dan kaya. Kata ‘rakyat’ jika dilekatkan kepada lembaga non-BRI lebih sering melempem dan tidak menyenangkan. Tidak percaya? Lihat itu DPR.
Dengan tiga kiat itu saja, saya yakin Jokowi bisa dijatuhkan. Kalau sudah Jokowi jatuh, belajar dari peristiwa 98, maka jangan biarkan rezim mengambil alih sesuai logika politik mereka. Kekuasaan harus benar-benar ada di tangan rakyat. Jangan buru-buru potong rambut kayak senior-senior kalian angkatan 98 itu. Mereka pikir dengan Soeharto jatuh sudah menang. Akhirnya beginilah yang terjadi. Serba kentang. Serba tanggung.
Selamat mencoba menjatuhkan Jokowi!