Yamaha Fazzio Cuma Sebatas Skutik Spek Orang Manja

Bagi saya, rupa dan bentuk Yamaha Fazzio ini artistik, unik, dan menarik. Meski begitu, motor ini jadi motor manja yang hanya nyaman digunakan melewati jalan yang mulus-mulus saja.

Yamaha Fazzio Cuma Sebatas Skutik Spek Orang Manja MOJOK.CO kredit motor yamaha

Ilustrasi Yamaha Fazzio Cuma Sebatas Skutik Spek Orang Manja. (Mojok.co)

MOJOK.COYamaha Fazzio adalah motor manja yang hanya nyaman digunakan melewati jalan yang mulus-mulus saja. Selebihnya, bikin pegal. 

Jadi begini, saudara. Saya beri sedikit cerita soal skuter matik bikinan Yamaha yang belum lama ini lahir di Indonesia. Ya, Yamaha Fazzio namanya. Sekilas kalau menyebut nama itu, langsung terbayang sosok bocah kecil yang cerdik, gesit, dan bandelnya minta pukul. Itu cuma bayangan saja. Tak perlu dianggap serius. 

Sudah sebulanan saya mengendarai Yamaha Fazzio hasil dipinjami Kepala Suku Mojok. Skutik yang konon adalah saingan Honda Scoopy ini memang agak jarang muncul di jalanan. Namun, bukan berarti motor ini tak layak untuk jadi bahan gunjingan hadirin sekalian. 

Rupa dan bentuk

Setiap mengamati motor ini dari segala sisi, yang ada di kepala saya adalah seekor siput bernama Theo dalam film animasi berjudul Turbo. Siput yang bercita-cita menjadi siput tercepat di muka bumi. 

Dari penampilan, Yamaha Fazzio memang mirip siput. Berbodi ramping, langsing, tampak lincah dan gesit. Dengan lekukan-lekukan yang menurut saya lebih artistik (baca: nyeleneh) dibanding skutik lain sekelasnya. 

Namun, penampilan unik dan menarik itu tak berbanding lurus dengan performa mesin dan kenyamanan yang didapat. Itu adalah hipotesis setelah menjalani hari ke hari dari KM 400 menuju 1000 pada odometer Yamaha Fazzio. 

Bagi saya, fitur-fitur sematan seperti catu daya atau bagasi yang luas itu hal yang biasa. Bukan sesuatu yang wah. Keyless, memang cukup memberikan rasa aman dari incaran maling. Kemudian fitur Y-Connect juga nggak penting-penting amat. Kecuali bagian “lokasi terakhir parkir”. 

Justru yang terpenting seperti performa dan kenyamanan menjadi hal yang diabaikan oleh Yamaha saat menetaskan Fazzio. 

Performa dan kenyamanan

Saya punya alasan kuat kenapa mengatakan demikian, Pertama, Yamaha Fazzio mempunyai tarikan yang lemot. Tarikan awal gas dengan laju motor memiliki jeda yang cukup lama. 

Saya tidak tahu apakah itu performa mesin, atau setelan rasio CVT-nya yang diatur lemot, namun mempunyai “napas” yang panjang di trek lurus? Lagipula, di Jogja, yang macetnya sudah mulai mirip Jakarta ini, mau seberapa jauh, sih, untuk membetot gas dan menarik tuas rem? Sedangkan di jalan raya antarkota dan antarprovinsi, napas panjang itu juga hampir nggak berguna. 

Sejauh ini, saya belum pernah mengendarai Yamaha Fazzio melebihi kecepatan 90 kilometer per jam. Sudah keburu menarik tuas rem. Sebab, motor ini tak bisa diajak berakselerasi. Perlu kesabaran untuk meningkatkan kecepatan setelah menarik gas, dan tak bisa dipaksa tarikan pertama langsung membetot gas dalam-dalam. Mesin berteriak, tapi tarikan motor tak menjambak. Sia-sia. 

Kedua, saudara harus punya punggung dan pinggang yang kuat jika meminang, meminjam, mengendarai, atau membeli motor ini. Sebab, saya merasa suspensi belakang Yamaha Fazzio terlalu keras. Getaran itu terasa di bokong, merambat ke pinggang, hingga tiba di punggung. 

Kemudian, ketidaknyamanan suspensi belakang itu benar-benar saya buktikan saat melakukan perjalanan antarkota-antarprovinsi dari Sleman menuju Demak. Rutenya, dari Sleman masuk ke Jalan Magelang tentu saja Menuju Magelang, lalu Kopeng, Salatiga, Bringin, Kedungjati, Gubuk, dan sampai di Demak.

Sejak keluar Sleman untuk menuju Magelang, saya masih bisa memacu Yamaha Fazzio dengan kecepatan rata-rata di 60 hingga 70 kilometer per jam. Saya memang berniat ingin fun riding, bukan mengejar jam seperti Sugeng Rahayu atau Eka. Akhirnya ya riding santai karena motor ini nggak bisa diajak sat-set seperti tukang tagih koperasi simpan-pinjam. 

Misalnya ketika melewati jalan aspal Jogja sampai Magelang. Saya jalan santi, nggak ngebut. Gitu aja badan rasanya seperti diombang-ambing. 

Mulai memasuki jalan Magelang-Tegalrejo, jalanan sudah mulai menanjak dan banyak aspal bergelombang dan beriak, alias aspal kasar. Dengan kecepatan rata-rata di 50 kilometer per jam, Yamaha Fazzio masih mampu menanjak dengan putaran mesin yang tak terlalu mengejan. Bisa mendaki dengan pelan, namun pasti. 

Saat membelah aspal kasar di jalanan Tegalrejo-Kopeng, getaran yang menjalar ke badan rasanya seperti menerima telepon menggunakan handphone Nokia 3310 beroda yang bisa kamu tunggangi. Punggung serasa tervibrasi dan terguncang. 

“Siksaan” itu masih belum usai. Lepas kota Salatiga menuju Bringin-Kedungjati, jalanan bergelombang semakin menjadi-jadi. Jalan berkelok, naik-turun, aspal kasar dan jalan beton bersambung menjadi jalanan yang saya lewati sepanjang membelah setengah Jawa Tengah dari selatan ke utara. 

Hal yang sama terjadi di jalur Kedungjati-Gubuk hingga Demak. Semua jalanan sudah menggunakan beton bersambung bergelombang, aspal kasar dan kroak-kroak yang menambah keyakinan saya kalau motor ini tak cocok untuk medan-medan seperti ini. 

Suspensi belakang Yamaha Fazzio tak bisa meredam gejlukan roda yang menumbuk aspal kasar, kroak, dan beton bersambung bergelombang. Lebih parah, jalan berlubang akan menambah penderitaan motor, juga pengendara. Kalau mau melewati jalan-jalan seperti itu, banyak-banyak minum susu kaya kalsium supaya tulang lebih kuat. 

Konsumsi bahan bakar

(dok: M. Mujib)

Sekarang saudara saya ceritakan persoalan paling sensitif soal motor ini. Bukan mau sombong atau bagaimana. Jujur saja, motor ini WAJIB Pertamax dan HARAM minum Pertalite. 

Ingat, kan kalau harga Pertamax saat ini lumayan mahal apalagi untuk ukuran UMK Jogja. Hehe. Lalu, berapa uang yang saya habiskan untuk perjalanan Sleman-Demak dengan rute yang sudah saya ceritakan sejauh kurang lebih 140 kilometer?

Saya menggunakan metode full to full untuk menghitung konsumsi Pertamax yang dihabiskan Yamaha Fazzio. Saya mulai mengisi bensin di SPBU Medari. Di dalam tangki masih ada empat balok (dari enam balok) indikator bensin. Saya isi penuh sampai bibir tangki seharga Rp29.000. Kira-kira kalau diliterkan ya 2,08 liter. Saya tak meminta nota pembelian pada petugas SPBU.

Odometer saya set di angka 0 sebelum melakukan perjalanan. Saya berangkat sekitar pukul 11 siang dengan langit yang mendung merata. Setelah perjalanan panjang yang penuh “siksaan” itu, saya tiba di Demak sekitar pukul 3 sore, mampir makan sate kambing di depan Pasar Bintoro, lalu menuju rumah. Sebelum sampai rumah, saya kembali mengisi bensin. 

Indikator bensin menunjukkan sisa bensin masih ada empat balok. Ada dua balok berkurang. Saya isi full tank lagi hingga mencapai bibir tangki. Kali ini saya menghabiskan Rp29.800. Kita bulatkan saja menjadi Rp30.000. Bensin yang saya peroleh 2,15 liter. Odometer menunjukkan angka 139,5 km. 

Jadi, untuk perjalanan sejauh 139,5 kilometer, saya menghabiskan Pertamax sebanyak 2,15 liter, atau uang sebesar Rp30.000. Rata-rata, per kilometer Pertamax yang dihabiskan Yamaha Fazzio ialah 64,9 kilometer per liter, atau setara Rp215 per kilometer. Odometer saya reset kembali ke angka 0. 

Di rumah, motor hanya digunakan untuk jarak dekat dengan odometer berjalan (dari 0 setelah isi bensin penuh). Rute kembali dari Demak ke Jogja, eh, Sleman maksud saya. 

Saya agak sedikit mengubah rute yang lebih jauh memutar. Tujuannya ya supaya jalan datang berbeda dengan jalan pulang. Biar nggak bosan saja. Saya mengambil rute dari Demak masuk Genuk, lalu ke Pedurungan. Setelah itu, menuju Majapahit, Gombel, Ungaran, Bawen, Salatiga, Kopeng, Ketep, Muntilan, akhirnya Sleman.

Saudara bisa membayangkan kondisi jalan yang saya lewati, kan? Berbukit-bukit, berkelok-kelok, dan selama perjalanan Kopeng-Ketep-Muntilan banyak melewati jalan desa yang berbukit, berkelok, dengan aspal beriak, bergelombang, dan kroak-kroak. Bayangkan kalau punggung saudara adalah punggung saya.

Perjalanan pulang ini sejauh 183,4 kilometer sesuai petunjuk odometer. Saya lupa berapa balok sisa bensin dalam indikator. Yang saya ingat, saya mengisi full tank hingga bibir tangki sebesar Rp42.000, setara 3,02 liter Pertamax. Perjalanan sejauh 183,4 kilometer menghabiskan 3,02 liter Pertamax, atau setara Rp42.000 rupiah. Pertamax yang dihabiskan Yamaha Fazzio untuk perjalan pulang ini ialah 60,8 kilometer per liter. Tak begitu jauh selisihnya untuk perjalanan berangkat. 

Jadi, menurut saudara, Fazzio ini tergolong skutik dengan BBM yang boros atau irit? Bagi saya, boros atau irit itu tergantung seberapa banyak uang yang saudara punya.

Simpulan

Overall, pertama, ini masalah selera. Bagi saya, rupa dan bentuk Yamaha Fazzio ini artistik, unik, dan menarik. Meski begitu, motor ini jadi motor manja yang hanya nyaman digunakan melewati jalan yang mulus-mulus saja. Nggak cocok untuk saudara yang setiap hari melewati jalanan beton bersambung bergelombang, aspal kroak, beriak dan bergelombang. Akan menambah anggaran konsumsi susu berkalsium tinggi, serta ongkos pijat dua minggu sekali. Saudara tak mungkin menambah anggaran untuk itu. Apalagi sekarang sedang ramai dibicarakan perihal resesi dunia. 

Kedua. Bagi saudara-saudara yang bekerja dengan mobilitas tinggi, Yamaha Fazzio tidak disarankan untuk saudara karena tak mampu mendukung kebutuhan berlaku agresif, stop and go dengan cepat. Skutik ini lemot. 

Namun, Fazzio bisa saudara gunakan untuk jalan-jalan santai sore, malam mingguan yang-yangan, beradu helm bersama pasangan, dan ngomong hahhoh-hahhoh berteriak di tengah jalan. 

Ketiga. Dengan hitung-hitungan BBM berdasarkan pengalaman perjalanan yang saya lakukan, Yamaha Fazzio bisa jadi pertimbangan saudara dalam hal anggaran bensin untuk kendaraan. Tapi kembali lagi, boros dan irit itu tergantung seberapa uang yang saudara punya. 

Keempat. Yamaha sebaiknya melakukan uji coba lebih dulu sebelum meluncurkan produk ke pasar. Semacam memberikan dummy untuk test ride sebelum benar-benar diluncurkan untuk membenahi kekurangan. Karena bagus menurut insinyur dan desainer Yamaha, belum tentu bagus menurut kehendak pasar, apalagi pengguna.

BACA JUGA Yamaha Fazzio kok Diburu, sih? Bukankah Desainnya Wagu? Dan analisis menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Penulis: M. Mujib

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version