[MOJOK.CO] “Ratapan motor kantor lebih menyedihkan daripada ratapan anak tiri.”
Jika digambarkan dalam sebuah piramida, saya yakin gengsi motor operasional kantor akan menempati strata paling bawah di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Bahkan saking nistanya motor kantor, saya merapal doa semoga tulisan tentangnya ini dikuatkan.
Sungguh, tak ada motor yang paling menderita dibanding motor operasional kantor. Jika dia bisa mengetik dan bikin email, hakulyakin dia pasti sudah kirim curhat ke Mojok.
Bagaimana saya berjumpa dengan motor operasional kantor bermula seminggu lalu, motor dari kantor istri. Karena ada urusan kantor, istri terpaksa pulang mengendarai motor kantornya. Ketika ia hampir sampai rumah, saya dengar suara mesin yang begitu kasar, mirip penggiling padi. Tadinya saya kira istri pulang naik ledok.
Mendengar suara mesinnya seperti mendengarkan lagu “Ratapan Anak Tiri” yang pernah ngehits tahun ‘70-an sampai ‘90-an. Kalau tidak pernah dengar, mungkin kamu lahir di zaman Mimi Peri. Lagu itu, Dik, sungguh bikin pedih hati.
Setelah telinga dibuat berdarah-darah, hati disayat-sayat, siksaan berikutnya berlanjut pada indera penglihatan. Betapa pandangan saya tak kuasa menyaksikan ketika motor sudah memasuki halaman rumah. Istri begitu anggun turun dari motor sambil melepas helm dengan mengibaskan rambut yang tergerai ditiup angin. Persis adegan sinetron anak motor.
Bukan adegan mirip sinetron yang membuat mata saya sakit, namun kondisi fisik motor yang begitu memprihatinkan. Sama sekali tak good looking, apalagi sparkling, dan jelas pontang-panting.
Pikiran saya langsung jauh menerawang, apa yang selama ini diperbuat para pengendaranya terhadap si motor?
Jika kalian termasuk golongan yang gelisah ketika mendung datang karena teringat motor di parkiran tak tertutup kanopi, pfft… saya pastikan itu tak berlaku untuk motor kantor. Hujan dan panas tetap dia terjang. Sudah telanjur kulit badak.
Kalian para pecinta motor kinclong yang kalau ada genangan dihindari, melewati aspal basah habis hujan motornya akan diangkat kalau perlu, pffft… itu tak berlaku bagi motor kantor.
Trek kering, basah, berlumpur, berlubang, semua dilibas. Dia bukan tipe motor princess. Tuntutan profesi mengharuskan dia tegar. Shockbreaker bocor adalah bukti medan tempuhnya. SAG, Luuur.
Sungguh hati ini tak kuasa menyaksikan tampilannya yang seperti itu. Bak Kak Seto Mulyadi yang tak kuasa melihat anak terlantar, saya tergerak untuk mensleding mencuci motor itu sekadar menjadikannya tampak lebih fresh.
Namun, rasa-rasanya semprotan keran air PAM tak kuasa meluluhlantakkan lumpur dan kotoran yang menempel. Pompa air Shimizhu yang terkenal semburannya kenceng pun saya sangsi. Lagi pula kotoran-kotoran itu menempel hingga di sela terkecil. Pengin rasanya saya cuci dengan detergen Easy kekuatan sepuluh tangan, biar rontok semua. Tapi, akhirnya saya putuskan untuk membawa ke cucian motor saja.
Ulasan tampilan fisik, kelar. Lalu bagaimana kondisi dalemannya? Di sinilah cerita kita mencapai klimaknya.
Motor saya naiki menuju tempat cucian. Rasanya? Ambyaaar, buosss. Jarum speedometer bergetar tak beraturan. Caranya menunjuk persis jarum amperemeter kala praktik pelajaran elektronika saat SMP. Jelas ada yang tidak beres dengan kabel speedometernya.
Masih ingat dengan mesin yang suaranya tak keruan tadi? Performanya ternyata lebih luar biasa. Sekali tarikan gas buat nyalip, ngangkatnya seperti nanjak pakai gigi 4. Semakin sempurna kalau paginya tak melalui proses pemanasan. Kunci on, langsung gas.
Cerita masih panjang: lampu depan jarak pendek padam, entah sejak kapan. Dan yang paling spektakuler, rem tromol belakang sudah mirip rem kereta. Hari ini ngeremnya, lusa baru berhenti.
Duh, Gusti… saya rasa hanya orang-orang terlatih yang dapat mengendalikan motor ini. Avatar Aang saja malas ikut campur.
Belum lagi kejadian yang memalukan ketika motor akan dicuci, petugas cucian tak punya tenaga untuk menstandar tengah meskipun sudah mengerahkan berbagai daya dan upaya. Asem, saya yang kena, lha wong saya yang bawa. Setelah ditarik ramai-ramai, baru motor itu bisa standar tengah.
Sumpah, ini motor kalau mau diruwat sungguh memerlukan ubarampe di atas rata-rata. Bagaimana tidak, standar tengah saja macet, seretnya nggak umum. Ini pasti gara-gara standar tengah tak pernah difungsikan sampai-sampai engselnya seret.
Para pemakainya pasti tak pernah membaca buku pedoman kendaraan. Jelas-jelas di buku sudah tertera: jika motor terparkir dalam jangka waktu yang lama, gunakan standar tengah. Haish… apa iya sempat baca? Buku pedoman penggunaan hape saja bablas kok.
Terlepas dari seluruh penderitaan bertubi-tubi itu, motor kantor adalah motor tangguh. Bayangkan, sudah berapa banyak surat dinas yang diantar olehnya? Sudah berapa banyak nasabah yang berhasil digaet para marketing? Dan tentunya, berapa banyak pengendara yang pernah menaikinya dengan berbagai macam style berkendara? Walau kekurangannya, bagi mereka prinsipnya adalah ora nduweni ning melu numpaki.
Kalau motor kantor bisa ngomong, saya yakin dia akan berujar, opo kuwe kuwat dadi aku?
Usia motor ini sebenarnya relatif muda, sekitar lima tahun. Tapi, pengalamannya jangan ditanya. Ibarat anak manusia, yang lain masih asyik ditimang orangtua, dia sudah harus menaklukkan kerasnya jalanan.
Dia adalah preman di antara motor lainnya. Dia adalah alasan bagi kita untuk menghargai mata pencaharian suami, istri, atau siapa pun yang berkendara di atasnya.