[MOJOK.CO] “Kalau mahasiswa baru rata-rata bergaya dengan kendaraan roda dua atau empat, maka saya memilih jalan sunyi sebagai supir bentor.”
Tahun 2010 dulu semasa awal kuliah S1, saya justru menaruh hati ke kendaraan roda tiga. Sebuah kendaraan, yang bagi saya punya sisi filosofis dari 3 esensi ajaran Islam; Rukun Iman, Islam, dan Ihsan.
Bentor namannya, singkatan dari becak dan motor, hasil kawin silang antara becak kayuh dan motor bebek. Hasil tangan dingin Fery Hasan ini tercipta tatkala krisis moneter menerpa Indonesia.
Bentuk awalnya bisa dilihat dari bentor-bentor di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bisa dibilang, kendaraan yang berwara-wiri dengan torsi pelan dan asap tebal khas mesin motor jadul itu dulunya merupakan bentuk versi BETA dari Bentor Gorontalo.
Sekarang, bentor di Gorontalo telah berevolusi. Punya jok yang nyaman, kap (atap) yang luas, dan melindungi penumpang serta pengemudi. Dilengkapi sound system, dan punya bumper aerodinamis ala-ala bumper mobil. Catnya kadang dipenuhi goresan seniman airbrush lokal. Malahan, ada yang berevolusi ekstrem: kemudi motor diganti dengan kemudi mobil. Lengkap dengan tv mini yang diletakkan di bawah kap.
Saya memiliki bentor bermula dari keinginan untuk menggantikan motor bebek Honda Supra Fit yang sudah menemani masa SMA saya dulu.
Orang tua saya punya inisiatif yang brilian, yaitu mengubah Supra Fit menjadi bentor. Alasannya, uang hasil dari narik, nantinya akan digunakan untuk menyicil kredit Honda Vario keluaran pertama yang saya pilih. Sungguh, saya sudah ditempa menjadi entrepreneur sejak dini oleh kedua orang tua saya.
Tetapi begitulah. Semandiri apapun saya dalam menghasilkan pundi-pundi rupiah, toh nasib asmara saya tak semulus mahasiswa yang menunggangi motor keluaran terbaru. Agaknya, kredo pria yang mandiri dalam berpenghasilan itu tak berlaku bagi mahasiswa yang nyambi jadi pengemudi bentor.
Mengapa? Strata pengemudi bentor menduduki kelas sosial terbawah, kasta sudra, dalam dunia kampus. Saking bawahnya, nasib tukang ojek masih dianggap lebih keren dari pengemudi bentor.
Malahan, kalau ada pasangan, terutama mahasiswi, yang mau berpacaran dengan pengemudi bentor, akan dianggap aneh. Ada semacam cemoohan yang tercipta: “Imam itu di depan, masak makmumnya yang di depan sih?” Pedih banget coba.
Meski begitu, sebagaimana lazimnya seorang entrepreneur yang cenderung mengejar profit, kadang saya lebih jemawa ketimbang mahasiswa yang rela menjadi “ojek gratisan” bagi pacar-gebetannya itu.
Toh, saya kerap mengantar mahasiswi-mahasiswi pulang dari kampus dan mendapat ongkos yang lumayan untuk sekadar membeli bensin atau rokok. Tapi yah, itu tadi. Seakrab apapun saya dengan mereka, relasi yang tercipta hanyalah sebatas supir dan penumpang. Tidak lebih! Percayalah, FTV yang sering membubuhi judul: “Cinta Supir Angkot” hanyalah hiper-fiksi semata.
Saya juga sering turut andil membantu teman-teman yang ngekos saat derita akhir bulan mendera keuangan mereka.
Jadi, ketika saya ikut perkuliahan, ada beberapa kawan kuliah yang meminjam bentor saya untuk mencukupi keuangan mereka. Sebagai imbalan, kadang saya meminta ongkos sewa sesuai hasil pendapatan mereka.
Jujur, di situ saya merasa naik kelas menjadi “borjuis kecil-kecilan”. Punya “pekerja” yang memanfaatkan alat produksi berupa bentor, untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di sini kadang saya merasa sombong. Astagfirullah!
Pernah sekali waktu, saya menguji seberapa kuat kapasitas bentor untuk membawa beban. Semisal, ketika mangkal di depan sebuah SMP, saya mengangkut penumpang sampai 7 orang dengan formasi 5 orang di depan dan 2 berboncengan di belakang.
Sungguh, prestasi tak terpuji ini menjadikan saya sombong sesaat. Ketika mendapati “kelakuan cabe-cabean lawas” untuk berbangga diri, berboncengan 4 orang melebihi kodrat daya angkut penumpang.
Pernah juga, saya mendapat orderan orang mau pindah kos. Dan eksperimen pun tercipta.
Lemari saya angkut di atas kap bentor. Tas berisi pakaian di kursi penumpang, sedangkan kasur diletakkan di jok belakang. Hasilnya, saya was-was ketika hendak berbelok. Kap bentor yang hanya ditopang besi berdiameter kecil itu bergoyang-goyang kecil, ringkih, seakan-akan protes dengan beban bawaan berlebih.
Bagaimana dengan polisi?
Untungnya, di masa itu, pak polisi belum serajin dan setegas seperti yang kerap saya temui di pertigaan Gejayan UNY atau di depan UIN SUKA. Jadi, tidak ada adegan tilang-menilang di jalanan, atau, main petak umpet dari aparat. Apalagi sampai berakhir dengan aksi menggigit tangan aparat dan memamerkan uang sejuta.
Masa kampanye lain lagi. Bentor menjadi alat kampanye aktif bagi beberapa pasangan calon. Spanduk wajah-wajah politikus, jargon, pun lagu-lagu politik, siap berwara-wiri di jalanan kota.
Kadang, para pengemudi dilibatkan dalam aksi konvoi jalanan, atau kampanye-kampanye yang membutuhkan mobilisasi massa. Walaupun juga, uang seringkali (atau bahkan paling sering) menjadi faktor penentu untuk turut berpartisipasi dalam pesta rakyat ini.
Bentor juga punya andil besar dalam memopulerkan lagu-lagu di masyarakat. Rata-rata memang, yang kelas atas, yang biasa dipanggil BMW, akronim dari “Bentor MeVVah”, memang punya sound system besar di balik jok penumpang.
Makanya, lagu-lagu semisal “Harlem Shake”, “Gangnam Style”, “Tobelo”, atau lagu milik Ecko Show, rapper Gorontalo yang menciptakan lagu “Kidz zaman Now”, siap berwara-wiri meramaikan jalanan.
Rasanya, para musisi harus berterima kasih kepada pengemudi bentor. Sebab mereka telah ikut mendistribusikan lagu tanpa perlu pusing membayar biaya promosi di radio atau aplikasi musik daring.
Dengar-dengar, beberapa hari ini, aplikasi ojek online sudah merambah wilayah Gorontalo. Saya tak tahu persis seperti apa nantinya reaksi para pengemudi bentor dalam menanggapi kemunculan aplikasi ini.
Tapi dengar-dengar, pihak pengembang nantinya akan menolerir dengan mengizinkan pengemudi bentor untuk mendaftar sebagai driver baru. Kalau ini bisa direalisasikan, sih, bagus. Asalkan, kalaupun nanti akan ditambah ke dalam item aplikasi, namanya mesti keren.
Kan gak lucu, kalau nanti nama yang di pilih adalah BEOL, akronim dari “Bentor Online”.