Mengendarai Honda Grand 1997 dengan Jiwa Harakiri

[MOJOK.CO] “Diperlukan jiwa harakiri untuk bisa mengendarai Honda Grand saya ini.”

Keakraban saya dengan si Honda  Grand 1997 dimulai pada tahun 2014, ketika masih menjadi mahasiwa-aktivis-unyu-lusuh, pun kere.

Honda Grand warna hitam yang dibeli cuma 2 juta rupiah oleh almarhum simbah memang bukan diperuntukan buat gaya-gayaan oleh seorang mahasiswa untuk menaikan gengsi. Blas enggak cocok.

Saat itu, entah siapa yang menjadi pembisik, penghasut, dan penjerumus, yang sakses membujuk almarhum simbah membeli motor reot, mangkrak, kusam, dan tak pernah dipakai itu. Apalagi setelah mendengar pilunya kisah masa lalu dan proses jual-beli Honda Grand lehendaris ini.

Banderol awal Honda Grand ini adalah 2,5 juta rupiah. Surat-surat, STNK dan BPKB, lengkap. Namun, di tengah proses negosiasi yang embuh itu, almarhum simbang tiba-tiba dicukupkan membayar 2 juta euro, eh rupiah, saja. Emangnya transaksi pemain sepak bola pakai mata uang euro.

Kenapa banderol motor itu turun 500 ribu rupiah? Konon, kata penjualannya, BPKB ketinggalan di rumah si penjual. Jika nanti BPKB sudah diantarkan, maka sisa 500 ribu rupiah baru dibayarkan.

Namun, nampaknya, rumah penjual ada di Gurun Gobi sana. Sudah tiga tahun, sekai lagi: tiga tahun, BPKB tak kunjung diantarkan. Si Honda Grand dan saya sudah berkelana selama tiga tahun tanpa kejelasan, tanpa status kepemilikan. Pedihnya digantung. Pun hanya ada selembar STNK yang saya kantongi. Itupun dengan status pajak sudah habis. Tembeleq!

Mengendarai motor bodong terasa seperti warga ilegal yang tidak diakui negara sendiri. Konsekuensinya, mata ini harus jeli melihat sudut-sudut jalan, waspada akan kehadiran polisi lalu-lintas yang tiba-tiba bisa njedul tanpa peringatan. Apalagi kalau ada cegatan di tikungan jalan yang tak tertangkap oleh panca indera.

Usut punya usut, ternyata sang penjual sudah mendekam di dalam penjara dengan tuduhan penipuan. Mungkin dipenjara di Gurun Gobi tadi sampai tiada kabar terdengar. Nahas memang nasib saya, mengendarai motor dengan bekas kejahatan. Penuh drama. Apa boleh bikin, saya hanya bisa pasrah dan berserah diri kepada Allah.

Saya sendiri tak menyesal mengendarai Honda Grand ini. Meski mengendarai sepeda motor bodong, saya tetap bahagia. Uhuk. Saya anggap ini sebagai batu loncatan menuju tangga kesuksesan.

Pertama, sukses akademik karena menjadi alat perjuangan beraktivitas selama perkuliahan. Kedua, sukses dalam karier aktivis dan menjadi oli pergerakan mahasiswa. Ketiga, sukses dalam asmara dengan harapan mendapat pacar yang bisa diajak boncengan keliling kota pas sore-sore. Syahdu, ndess!

Namun, harapan dan rasa bahagia itu perlahan memudar seiring si motor yang kehilangan “jiwa kemotorannya”.

Kata orang-orang bengkel, Honda Grand saya ini termasuk motor yang canggih pada masanya. Motor ini sudah menawarkan transmisi 4 gigi ketika sepeda motor bebek Honda lainnya masih mengandalkan 3 transmisi.

Maka tidak heran, melihat kualitas “pada masanya”, Honda Grand ini disebut-sebut termasuk sepeda motor yang bandel. Mesinnya awet, suspensinya empuk, dan ditunjang body yang ramping. Sudah pasti bakal lincah dan gesit di jalanan. Namun, penilaian itu tidak berlaku bagi Honda Grand milik saya ini.

Jadi, pemilik terdahulu ini membuat si Honda Grand ini menjadi kelewat bandel. Nampaknya, mereka berdua sudah menghabiskan masa muda yang kelewat batas, di jalanan yang keras. Astagfirulah!

Ya hasilnya gini. Seperti orang tua sakit-sakitan. Suspensi depan bengkok, mesin merembes, shock breaker belakang pecah, lampu-lampu mati semua. Alhasil, ketika mengendarai motor ini, saya harus menyiapkan mental Harakiri.

Perasaan ingin ganti motor tentu meletup-letup. Namun, mengingat kisah dan drama yang mengiringi, maka saya bertekad untuk merestorasi Honda Grand saya ini.

Langkah ini saya lalukan bertahap. Mulai dari turun mesin, mengganti suspensi, hingga memasang kelistrikan. Modal yang saya keluarkan, jika dihitung-hitung, sudah sepadan dengan harga motornya sendiri.

Alhamdulillah. Sekarang si Honda Grand sudah lebih ramah terhadap manusia.

Proses restorasi saya sesuaikan dengan kondisi pabrikan semula. Suspensinya menjadi empuk, punya tenaga yang mayan mantep walau cuma dengan kapasitas mesin 100 cc.

Terbukti, si Honda Grand cukup percaya dirinya saya bawa menyalip truk di tanjakan Nagreg dengan membawa beban 2 orang yang masing-masing memiliki berat badan 50 kiloan, walaupun dengan kondisi padat merayap. Sedangkan di jalan lurus, performa si Honda Grand jangan dipandang sebelah mata. Tarikan gasnya masih sedaaap untuk dinikmati.

Jika dilihat dari konsumsi bensin, motor saya jelas sangat irit. Bahkan saya sering lupa untuk isi bensin. Motor yang sadar peribahasa: irit pangkal kaya raya, lur!

Jika isi bensin 10 ribu rupiah saja, saya bisa menggeber motor ini selama 3 hari dengan pemakaian kurang lebih 12 km per hari. Sedikit tips supaya si Honda Grand ini tetap sehat, kata mamang bengkel, jangan sampai telat ganti oli. Namanya juga motor tua. Yang tua-tua biasanya butuh asupan minya ikan dan Entrasol Gold, biar terus (cik) Prima.

Walaupun dengan kondisi yang sudah lebih baik, namun tidak lantas hati ini nyaman. Ingat, tiada BPKB dan STNK mati membuat hati ini selalu semelang, harus selalu mencari cara agar tidak kena tilang. Terakhir kena tilang sekitar satu tahun yang lalu ketika saya dalam perjalanan hendak mengisi kajian mahasiswa. Beruntung, dengan diplomasi ala aktivis, hanya STNK saja yang digaruk polisi.

Si Honda Grand memang teman perjuangan yang cocok mengantarkan saya menjadi sarjana. Tapi sayang, tiada sangat cocok untuk mencari calon istri idaman.

Exit mobile version