Kayaknya Saya Jadi Korban Hipnotis Pas Beli Perahu

Kayaknya beli perahu itu keputusan bodoh. Tapi ya tetap saya beli pada akhirnya.

perahu sungai mojok.co

MOJOK.COKayaknya saya sudah terlalu banyak membuat keputusan bodoh terkait kendaraan. Termasuk ketika beli perahu belum lama ini.

Entah kenapa ya, sejak masih kuliah, saya sering melakukan hal-hal bodoh kalau berhubungan dengan kendaraan. Mulai dorong motor pakai kaki alias step dari Solo ke Jogja, naik motor Yamaha Mio tua ke Riau menempuh 2.100 kilometer drengan tujuan hemat tapi jatuhnya tekor karena motornya turun mesin sehingga saya jual murah, mengendarai Toyota Kijang tua dari Banjar Patroman sampai Jogja dengan ban yang ukurannya tidak sama ditambah setir yang cuma bisa berbelok ke kiri 20 derajat. Bodoh sekali saya.

Coba bayangkan betapa bahayanya kalau sampai ban tesebut selip. Perlu kalian tahu, di Banjar Patroman itu ada jalur pegunungan. Bayangin kalau selip dan mobil yang saya bawa berguling-guling menuruni jurang.

Tapi ya, bayangan itu masih kalah seram dibandingkan kenekatan saya naik motor dari surabaya tanpa berhenti selama enam jam menuju Jogja sambil menangis karena dicampakkan gebetan. Jarak tempuhnya, sih, biasa biasa saja. Namun, dengan hati yang patah, seorang laki-laki bisa melakukan apa saja. Termasuk mencium truk tronton yang sedang parkir di pinggir jalan. Sampai di kosan saya menenggak air rendaman Baygon… elektrik.

Tapi semua kejadian itu kan dulu ketika saya masih muda. Sekarang, ketika agak tua? Ya masih gobloknya.

Salah satu ide goblok yang tiba-tiba saja ada di dalam kepala saya yang diamaternya nggak lebih luas dibandingkan bola rugbi adalah menguras tabungan untuk berlagak seperti Jason Statham di film Spy.

“Seorang laki-laki sejati seharusnya pergi berlayar!”

Kalimat Jason itu tiba-tiba saja muncul di kepala….

Ketika masih menyandang status pengangguran paruh waktu gara-gara pandemi, saya memutuskan untuk membeli perahu! Kendaraan yang saya idam-idamkan sejak kecil. Bawa perahu sendiri, menyeberangi Selat Madura yang mungil itu. Gagah sekali. Nggak, ding. Lebih cenderung ke goblok. Tapi tetap saya beli itu perahu.

Jadi, di kampung saya, perahu kecil disebut sampan atau jukung. Cuma bisa diisi dua orang. Maksimal. Perahu yang saya taksir adalah perahu berkatir satu. Katir adalah bambu yang biasanya digunakan sebagai penyeimbang di sebelah perahu.

Eits, jangan salah. Ada pride dan vibe nenek moyang dari perahu. Meskipun perahu yang saya beli itu termasuk kecil, tapi ini alat transportasi pertama yang dipakai oleh manusia. Sekitar 10.000 tahun sebelum masehi, manusia lebih dulu naik perahu ketimbang kuda. Ya kalau lagi jalan di laut, sih.

Singkat kata, hari di mana saya ketemu pemilik perahu tiba. Kami janjian di tepi pantai untuk transaksi. Celakanya, setelah sampai di lokasi, saya agak kaget karena perahu yang mau saya beli itu tidak bisa dipasang mesin saking kecilnya.

Ukuran perahu nggak biasa. Jangankan dipakai berdua, dipakai saya sendiri saja ujung belakangnya hampir kemasukan air. Hampir saya batal beli sampai tetangga saya yang sedang butuh uang itu berhasil meyakinkan saya… kayaknya saya dihipnotis, deh.

Tetangga saya bilang:

“Nggak papa, Dik! Biar kecil, perahu itu terbuat dari kayu paling bagus ini. Pakai  kayu bindung, kayunya ringan dan kuat dan nggak mungkin tenggelam ketika air masuk. Bisa mengapung pokonya dibandingkan sampan fiber yang tenggelam kalau kemasukan air. Dulu ada, Dik, tetangga saya yang tenggelam perahunya karena pakai…”

“Iya, Cak, saya coba dulu! Jangan cerita tenggelam, Cak. Kan, saya malah takut.” Malah cerita tenggelam! Suram! Nyali saya berkurang separuh.

“Ini, Dik, pakai dayungnya. Bonus… hehehe,” kata tetangga saya malah sambil terkekeh. Suara kekehnya dia itu jenis yang menyebalkan pokoknya.

By the way, dayung bonus tersebut sebetulnya bagus. Di mata saya malah lebih bagus ketimbang perahu yang mau dijual. Dayungnya terbuat dari kayu jati dengan hiasan semacam ornamen.

Kayu jati dipilih jadi dayung karena yang sangat kuat. Sehingga ketika ada hiu yang mendekat, dayung itu bisa dijadikan senjata bertahan. Haaa! Maaf, itu saya mengarang saja. Lupakan.

Dayung sebuah perahu kecil yang juga disebut sampan memang harus kuat biar nggak gampang patah. Dayung patah itu nyawa taruhannya. Kendaraan laut bakal sangat menyeramkan kalau kehilangan penggerak utamanya. Kalau mesin motor atau mobil mogok, ya bisa tinggal berhenti.

Nah, kalau perahu “mogok”, ya sudah alamat tidak bisa bergerak. Bahkan sampai berhari-hari. Apalagi kalau nggak ada angin atau arusnya pelan. Tinggal berdoa saja. Nah, kenapa kayu jati yang kuat nggak dijadikan bahan untuk perahu?

Berikut penjelasan dari tetangga saya yang kekehnya menyebalkan itu:

“Kalau perahu dari jati ya kurang bagus, Dik. Kurang bagus di uangnya tak ye hehehe. Kayu jati mahal dan memang dasarnya kurang bagus kalau dibuat perahu atau sampan. Sampan di sini rata-rata dibuat dari pohon yang dilubangi. Kayu jati kalau dikasih lubang berisiko pecah. Jadi kayu jati itu cocoknya dipakai untuk perahu besar. Misalnya perahu selerek. Pohon jatinya dijadikan papan-papan kecil lalu disatukan kembali jadi perahu. Kalau kayu buat sampan terbaik di sini ya kayu bindung (sejenis randu) ringan dan kalau terkena air dia semakin padat.”

Kembali ke masalah perahu yang tidak bisa pakai mesin tadi. Buat saya yang terbiasa menggunakan pancer (istilah kemudi sampan sederhana yang biasanya hanya butuh diarahkan ke kanan untuk ke kiri dan ke kiri untuk ke kanan jika menggunakan mesin), dayung itu sangat menyusahkan.

“Nggak, kok, Dik. Nggak susah. Sederhana, Dik, sama saja pancer. Kalau mau belok kiri ya tinggal dayungnya di sebelah kanan, kalau mau ke kanan ya dayungnya sebelah kiri. Paling cuma lebih capek saja… hehehe.”

Sebagai lelaki yang bermimpi jadi sejati, bayangan Jason Statham muncul lagi. Masak gitu aja takut.

Dayung pertama aman. Perahu meluncur mulus. Dayungan keduanya juga mulus. Ternyata memang tidak terlalu sulit. Sebuah sesumbar yang berujung bencana.

Beberapa menit kemudian, angin laut datang dari sebelah kiri membuat ujung perahu berbelok ke kanan. Secara teori, kalau ingin melawan angin, biar perahu tetap lurus, berarti saya dayungnya di sebelah kanan. Tapi ya gitu, bukannya lurus, perahu malah berputar-putar. Saya mulai panik dan semakin kuat mendayung. Perahu makin cepat berputar. Goblok betul.

Segera saya tahan laju perahu menggunakan dayung di sebelah kiri. Usaha yang sia-sia. Tekanan air dan angin terlalu kuat dan byuuur, perahu saya terbalik.

Walaupun lumayan bisa berenang, tetap saja saya panik. Terbayang wajah anak dan istri yang pasti panik kalau melihat usaha sia-sia saya untuk mengendalikan keadaan.

Tetangga saya itu langsung tertawa bukannya menolong.

“Injak katirnya, Mas, biar bisa balik lagi.”

Tadi dak dik dak dik, sekarang manggil mas. Saya makin benci.

“Gimana, Mas, kok bisa kebalik? Modif aja biar gak kebalik lagi. Ganti katir-nya pakai paralon, terus dikasih katir dua, kanan dan kiri, terus dinding perahu dinaikin ditambahin papan kayu, jadi air nggak gampang masuk.”

Tetangga saya ini memberi analisis disertai tawa berderai setelah melihat saya kecebur laut. Suram.

Saya langsung menaikkan perahu ke darat tanpa peduli lagi sama omongan tetangga saya itu. Persetan jadi laki-laki sejati. Persetan sama Jason Statham.

Masih banyak yang harus saya pelajari dari kendaraan yang katanya sederhana tapi sangat berbahaya kalau sembarangan dipakai. Namanya laut, bukan kolam renang UNY. Pada saat itu, saya baru sadar sudah membuat keputusan bodoh lainnya.

Terus gimana soal perahunya tadi? Ya tetap saya beli… hehehe.

BACA JUGA Mau Gaji 20 Juta Lebih tapi Ogah Pesugihan? Kerja di Kapal Pesiar Aja Gih Sana dan ulasan kendaraan lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version