Oleh Ayah, sejak kecil saya kerap diajak menonton road race berbagai kejuaraan di Batam, menonton sesi latihan balap motor tiap akhir pekan, dan kepo-kepo ke paddock dan terheran-heran. Itu kok bensinnya hijau? Kok olinya dimasukin ke tangki motor? Dst.
Kebiasaan itu berlangsung hingga saya berusia belasan tahun. Hingga suatu hari, saya bilang kepada Ayah, saya ingin jadi pembalap.
“Cukup Ayah aja yang balap motocross waktu muda, kamu jangan ya …,” jawab Ayah. Setelah semua ajakan menonton balapan, gairah kebut-kebutan itu dikebiri begitu saja. Indonesia kecewa, satu calon penerus Valentino Rossi baru saja hilang.
Kebiasaan menonton balapan roda dua itu membuat saya sangat menyukai motor 2 tak. Ayah dan saya punya pembalap unggulan yang sama di Batam, namanya Hendriansyah. Doski joki motor Yamaha F1Z-R underbound yang banyak fansnya. Suara knalpot dan bau asap motor racing-nya enak sekali.
Kesenangan itu membuat Ayah suatu kali menghadiahi saya hal terbaik sejak keinginan jadi pembalap ditolak, yakni motor pertama berupa Yamaha FIZ-R. Menjura!
Motor itu saya pakai dan modifikasi sampai saya lulus SMA. Motor garang, sudah beberapa kali dikejar polisi, masuk pos, ditahan razia, dan dipakai teman adu kecepatan di jalan raya. Berapa kali juga motor itu saya pakai membonceng cem-ceman yang swiwit~. Lakik banget. Apalagi knalpotnya saya ganti dengan knalpot racing punya F1Z-R Malaysia. Amboi, mantap soul! Siapa saja makin ganteng kalau naik motor itu.
Sayang seribu sayang, sewaktu lulus SMA saya kecelakaan. F1Z-R itu salto di aspal, setangnya bengkok dan membikin kenangan berupa retak di pergelangan tangan saya. Akhirnya motor itu beserta semua kenangannya saya jual.
Di tahun yang sama saya pinda ke Yogya untuk kuliah di UII, kampus yang suka dipelesetin orang jadi Universitas Insyaallah Islam, padahal harusnya Universitas Islam … Insyaallah. Di awal-awal kedatangan itu saya tak punya motor, ke mana-mana hanya bermodal nebeng teman.
Belum lama tiba di Yogya, Gunung Merapi meletus. Saya rasakan bagaimana tengah malam kami satu kosan harus kabur karena di Degolan, daerah kosan saya, termasuk zona yang kurang aman. Saya ingat betul, letusan pertama tengah malam itu bikin kami panik. Apalagi nggak punya kendaraan. Rasanya pengin nangis, tapi kok ya nggak mantap menangis di tengah cetak-cetok abu dan pasir jatuh di atap kosan.
Tiba-tiba ada seorang teman sesama mahasiswa baru asal Kalimantan yang menawari motornya. “Mas, pakai aja motorku, besok kembaliin. STNK-nya aku lupa di mana, pakai aja wis,” teriak anak itu sambil memboncengi temannya. Tanpa panjang lebar, saya geber Jupiter Z-nya.
Malam itu semua orang ngebut dari Jalan Kaliurang yang letaknya di “atas” alias dekat gunung, turun menuju Seturan yang berada di “bawah” alias jauh dari gunung. Di tengah pelarian itu, saya masih sempat-sempatnya membatin, kok motornya nggak sengebut motor 2 tak ya? Nggak tahu diri memang.
Hampir seminggu saya kejar-kejaran dengan abu erupsi. Malam lari ke bawah kalau ada letusan, siang balik lagi kuliah di atas. Di saat itu pula saya mantapkan niat pokoknya harus punya Kawasaki Ninja. Harus Ninja untuk antisipasi jika ada bencana lagi, dan sedikit-sedikit bisa buat gaya-gayaan nyari gebetan. “Ra Ninja, ora oleh dicinta,” kata NDX A.K.A dalam “Kimcil Kepolen”, yang sudah saya imani jauh sebelum lagu itu terkenal.
Satu bulan berlalu dari erupsi Merapi, ceritanya saya dapat acc dari Batam. Boleh beli motor apa saja, budget-nya 10 juta. Nah, gimana coba uang segitu dapet Ninja?
Puji Tokobagus! Di sana saya akhirnya dapat penjual Ninja dengan harga segitu. Tangan kedua, pelat Jakarta, posisi motor di Wonosari, Gunungkidul. Setelah mengontak, saya cus ke Wonosari bersama seorang teman.
Sebagai anak baru di Yogya, saya baru tahu Degolan-Wonosari itu jauh banget. Waktu di kosan saya sudah cukur habis semua jenggot kumis, sampai Wonosari sudah berewokan lagi. Untung Wonosari masih masuk Google Maps, jadi saya bisa ketemu rumah bapak yang jual Ninja itu.
Motor saya cek: minus di footstep, beberapa printilan, dan blok mesin. Nggak apa-apa, sudah jauh-jauh ke Wonosari nggak jadi beli itu merugikan saya secara emosional. Akhirnya saya selesaikan transaksi dengan si bapak. Motor dibeli tunai dengan harga 9,7 juta. Kembalian 300 ribu saya simpan untuk beli oli samping dan Pertamax. Oh ya, Ninja yang saya beli itu belum KIPS, masih yang RIS. Jadi enak banget buat kebut-kebutan jarak pendek. Ngangkat coy!
Si Ninja itu saya bawa sendirian ke Degolan, kawan saya mengekor di belakang dengan Satria FU-nya. Saya bawa kebut-kebutan, Ninja ini masih enak (meskipun blok motornya sudah harus di-service). Ya gimana, motor 150 cc, 2 tak, ramping pula body-nya.
Sampai di kosan, motor itu saya pamerkan kepada teman-teman. Maksud hati ingin dapat pujian, yang datang malah dikatai bego, mau aja beli Ninja harga segitu dengan kondisi pelat Jakarta, pajak mati, lampu sein mati, klakson mati, kunci tangki rusak. Saya ditanyain otak di mana, dll., dst., LDR, GGMU, YNWA, Forza Juve, Visca Barca, blablabla.
Alah berisik, motor saya kok ini. Yang penting 2 tak, Ninja pula. Spare part ori bisa dicarilah dan paling harganya murah, ini kan di Jawa.
Mbahmu kiper! Ternyata spare part Ninja muahaaal dan susaaah dicari. Sebagai mahasiswa yang masih mengandalkan kiriman bulanan, saya cuma bisa pasrah tiap bulan harus ngirit makan demi nyicil beli spare part.
Tapi, nggak apa-apa. Saya sudah cinta sama Ninja. Pelan-pelan saya bagusin kelistrikan dan karbunya pakai onderdil mahal, jadi bisa makin banter kalau kebut-kebutan saat ketemu orang sengak di jalan. Pokoknya yang penting lakik! Muka berewokan, bawanya Ninja 2 tak. Jos! Suangaaar! Tapi jomblo. Nangis lagi. Cuma sekarang minus hujan abu.
Karena kebanyakan gaya, suatu sore ketika pulang dari Malioboro, saya dipepet motor. “Selamat sore, boleh lihat SIM dan STNK-nya, Mas?”
“Mas, tahu kan kalau di jembatan Kali Code nggak boleh putar balik?” Pak Polisi bertanya sopan.
“Saya nggak tahu, Pak, mahasiswa baru. Maaf, Pak.”
Saya pun diajak ke pos polisi di Jalan Sudirman. Mampus. Pajak mati, lampu sein nggak ada, duit baru saja habis buat jajan di Malioboro. Saya sudah siap-siap ngutang duit teman yang saya bonceng.
Setelah menyerahkan SIM dan STNK, polisi itu bertanya lagi, “Mas, Ninjamu itu bawa dari Jakarta apa beli di sini? Beli berapa?”
“Beli di Wonosari, 9 jutaan, Pak. Kenapa?” jawab saya sambil heran, ini ditangkap karena melanggar rambu kok yang ditanya malah harga motor.
“Mas, kamu kuliah di sini semester 1 ya?”
“Iya, Pak, saya semester 1, ada apa? Ini langsung aja, Pak, saya kena denda berapa? Besok saya mau pulang ke Batam,” saya sudah mulai bingung.
“Lah, Mas, kamu ini di SIM C kelahiran 1989 tapi tahun 2010 masih semester 1? Nggak naik kelas ya? Terus, tadi Ninja belinya 9 jutaan? Padahal di Yogya harga Ninja pelat Jakarta itu bisa saya carikan harga 7 jutaan. Hahaha.”
Kayak gini ini risiko melihara berewok. Pak Polisi itu bakal lebih percaya kalau saya bilang, pas Nabi Musa membelah Laut Merah, saya lagi mancing di situ, ketimbang kalau saya bilang tahun lahir di SIM ketuaan tiga tahun.
Setelah membayar titipan uang denda untuk sidang, saya jalan lagi dengan dikawal polisi tadi sampai di sebuah pertigaan. Baru saja saya gas Ninja itu setelah sebelumnya mengucap terima kasih, Pak Polisi tadi berteriak, “Mas, besok dijual aja Ninjanya. Kowe pekok tuku motor larang tenan (kamu bego beli motor mahal banget)!”
NDX masih di lagu yang sama bilang, “Opo koyo ngene susahe wong kere, ameh nyandeng tresno kalah karo bondo (apa kayak gini susahnya miskin, mau mencintai, kalah karena harta).” Kata saya, ra mashok. Udah beli Ninja, kemahalan pula, tetap aja bikin susah. Haesh mbuh.