Innova Zenix Boleh Futuristik, Innova Reborn Memang Tangguh tapi Keduanya Hanya Pecundang di Depan Innova Barong Tua yang Paling Paham Kenyamanan Penumpang

Innova Barong Bikin Reborn dan Zenix bak Mobil Pecundang MOJOK.CO

Ilustrasi Innova Barong Bikin Reborn dan Zenix bak Mobil Pecundang. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COInnova Zenix boleh futuristik, Innova Reborn memang tangguh tapi keduanya hanya pecundang di depan Innova Barong tua yang paling paham kenyamanan penumpang.

Saya tahu, belakangan ini dunia otomotif tanah air sedang ramai memperdebatkan 2 kutub yang saling tarik-menarik, yaitu Innova Zenix vs Innova Reborn. Satu pihak membela hybrid canggih yang katanya hemat dan futuristik, pihak lain membela si diesel tangguh yang sudah teruji lintas kota dan waktu. 

Tapi izinkan saya, seorang pemilik setia Innova Barong 2KD, ikut nimbrung dalam obrolan ini. Saya tidak ingin menambah ribut. Namun, di sini saya hanya ingin sedikit nostalgia sekaligus membela cinta lama saya.

Innova Barong, si tua yang penuh rasa dan cerita

Saya pakai Innova Barong tipe V Luxury Diesel Matic keluaran 2015, warna hitam metalik, yang masih kinclong sampai hari ini. Waktu itu, saya membeli mobil ini bukan karena ikut-ikutan. Saya yakin membelinya karena mobil ini adalah representasi terbaik dari keluarga Indonesia kelas menengah. Khususnya yang tahu arti kenyamanan dan fungsionalitas. 

Sebelum terlalu dalam, mari saya jelaskan dulu biar kita semua sepemahaman.

Innova Barong adalah sebutan untuk Toyota Kijang Innova generasi pertama facelift ketiga yang meluncur pada 2013. Julukan “Barong” ini berasal dari desain gril depan mobil yang menyerupai mulut Barong, sebuah karakter mitologi Bali. Ini menjadi generasi terakhir dari “Barong” sebelum digantikan oleh Innova Reborn.

Tipe-tipe utamanya ada J, E, G, dan V. Nah, tipe V Luxury adalah kasta tertinggi. Toyota melengkapinya dengan captain seat, wood panel interior, double blower AC digital, hingga armrest di jok belakang.

Beberapa waktu lalu, saya sempat test drive Innova Zenix Q Hybrid karena penasaran. Desainnya cakep, kabin mewah, sudah pake TNGA platform pula. Pas duduk, ngeliat panoramic sunroof yang menganga di atas kepala, saya nyeletuk ke sales-nya, “Wah ini cocok buat nonton meteor jatuh, Mas.” Dia cuma ketawa, mungkin dia mengira saya lagi meledek Innova Zenix.

Tapi serius, saya suka. Saya bahkan siap membela Innova Zenix kapan saja untuk berdebat dengan fanboy Innova Reborn. 

Buat saya, si hybrid lebih punya arah. Mau ke depan, mau berubah. Sementara itu, Innova Reborn kayak mantan yang nggak move on. Mesinnya diesel, sih, mantap. Tapi desain dashboard-nya ya ampun. Kayak ditinggal designer-nya pas setengah jalan. Suspensinya keras, joknya keras, bahkan bagasi belakang kayak cuma cocok buat koper anak kos.

Baca halaman selanjutnya: Innova tua, tapi paling paham kenyamanan.

Innova Zenix memang futuristik, Innova Reborn tangguh, tapi pulang tetap ke Barong

Tapi kemudian, saat saya balik lagi ke parkiran dan masuk ke dalam Innova Barong saya, rasanya seperti pulang ke “rumah”. Jok empuknya menyambut seperti “pelukan ibu”, wood panel-nya menyapa hangat, dan suara mesin 2KD-nya mendengung pelan, cukup untuk bilang, “Ayo, kita jalan lagi.”

Saya pernah bawa Innova Barong ini ke Jogja lewat jalur selatan. Kami bertiga, bersama istri dan adik ipar. Sepanjang jalan, tidak ada keluhan. AC dingin sampai ke baris ketiga. Captain seat di tengah jadi tempat tidur adik ipar saya yang tepar setelah semalam nonton konser almarhum Didi Kempot. Istri saya bahkan bilang, “Enak ya mobil ini, nggak kayak mobil kantor kamu yang keras itu.”

Dan ya, dia ngomongin Innova Reborn kantor saya. Kebetulan, kantor saya memang pakai tipe G diesel manual. Setiap dinas luar kota, rasanya seperti ikut lomba duduk paling tegak. 

Suspensi Reborn memantul tanpa ampun. Suara jalanan bahkan masuk kabin dan audionya, ya ampun, saya pernah kalah volume sama suara truk di jalur Pantura.

Innova Barong saya? Nyetel lagu Ebiet G. Ade di audio standar bawaannya saja sudah cukup membuat suasana hati tenang. Sering kali, saya dan istri ngobrol di dalam mobil ini lebih jujur dibanding saat duduk di meja makan. 

Kadang sambil ketawa-ketawa bahas masa lalu. Kadang debat kecil soal arah jalan. Tapi semuanya terasa lebih intim karena mobil ini mendukung percakapan.

Pernah suatu sore, teman saya yang baru saja ambil Innova Reborn bekas 2019 ikut numpang. Dia bilang, “Kok empukan mobilmu ya, Bro? Jok belakang gue keras bener.” Saya cuma senyum sambil bilang, “Makanya jangan ketipu umur muda. Tua itu belum tentu usang, Bro.”

Karena rasa itu tak tergantikan

Innova Zenix boleh lebih irit, Reborn boleh lebih bertenaga. Tapi Innova Barong punya sesuatu yang susah diukur dengan angka, yaitu rasa. 

Bukan berarti saya anti teknologi. Saya apresiasi Zenix, sungguh. Tapi saya belum siap melepaskan kedekatan yang saya punya dengan Barong. Setiap sudut interiornya menyimpan kenangan. Setiap dentuman halus mesinnya mengingatkan saya pada perjalanan-perjalanan panjang yang menyenangkan.

Saya paham, zaman berubah. Nanti mungkin saya juga akan beralih ke hybrid. Tapi saat itu tiba, saya nggak akan menjual Innova Barong saya. Mungkin akan saya simpan sebagai warisan. Atau minimal, jadi mobil buat pergi ke warung kopi belakang rumah.

Teman saya, si Irwan, pernah nyeletuk pas kami lagi nongkrong di parkiran sambil ngopi, “Lu ini kayak kakek-kakek, bro. Masih aja bela Barong. Dunia udah hybrid. Mobil listrik bentar lagi jadi standar.” Saya jawab, “Gue nggak anti perubahan, Wan. Tapi kadang, yang bikin tenang bukan yang canggih, tapi yang familiar.”

Irwan cuma cengengesan. Tapi, 2 minggu kemudian, dia pinjam Innova Barong saya buat bawa keluarganya jalan-jalan ke Puncak. Pas balik, dia langsung bilang, “Gue paham sekarang. Mobil lu tuh, kayak pelukan hangat waktu kecil.”

Innova Barong memang nggak bikin orang nengok 2 kali pas di jalan. Tapi dia bikin penumpangnya enggan turun pas sudah sampai tujuan. Dan menurut saya, itu kualitas yang lebih mahal daripada fitur head unit floating layar 10 inci.

Karena ya itu tadi. Mobil bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal rasa. Dan untuk urusan rasa, Barong masih juaranya.

Karena dalam hidup, kadang kita nggak butuh yang paling mutakhir. Kita cuma butuh yang bisa bikin kita merasa: “Ah, ini baru rumah.”

Dan bagi saya, rumah itu bernama: Innova Barong.

Penulis: Alan Kurniawan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Stop Membanggakan Innova Reborn Sambil Meremehkan Innova Zenix, Kenangan Boleh Indah tapi Masa Depan Selalu Tentang Adaptasi dan catatan menarik di rubrik OTOMOJOK. 

Exit mobile version