Saya ingat betul soal Honda Jazz ini. Di awal kehadirannya mobil city car bergaya hatchback (saya pernah menyebutnya Si Pantat Buntung) tak langsung bisa diterima oleh masyarakat. Itu alamiah belaka kok ketika ada yang memulai sesuatu baru yang tidak biasa. Dan ketika model hatchback berhasil di Indonesia, Honda Jazz dikenang sebagai pelopornya.
Seiring waktu, saya pun mulai terpikat oleh mawujud Jazz yang girly. Tapi, itu bukan alasan saya membeli Jazz kemudian. Itu karena istri yang sudah kadung saya beliin Hyundai Atoz matic yang bentuknya seimut keong emas (sampai waswas saya, apa mobil beginian bisa nanjak di jembatan layang?) selang beberapa bulan kemudian minta Jazz. Tentu saja saya langsung iyakan. Selain karena harganya yang murah, juga pada dasarnya saya sudah jatuh cinta sama Jazz.
Jazz pertama yang saya beli bertipe DOHC matic, bukan VTec. Warnanya biru telur asin atau biru pinggiran laut menurut lidah orang Madura.
Ini memang mobil enaklah. Ya enak yang standar saja, sesuai spek jeroan dan piranti pendukungnya. Nyaman buat yang-yangan atau santai-santaian, tapi ramashook kalau buat kebut-kebutan.
Selang dua bulanan, istri saya nembung supaya mobilnya dimodif agar lebih unch-unch unyu girly. Catnya diganti ungu beserta seluruh interiornya. Sewarna. Sudah pasti saya penuhi dengan cepat meski sejak saat itu saya benar-benar malu untuk memakainya. Lelaki macam apa yang turun dari balik kemudi Jazz ungu lahir batin begituan?
Syahdan, di dalam pabrik Honda sendiri, berdinamikalah tampilan lahir batin Jazz dalam berbagai generasi dengan pelbagai facelift demi menyenangkan hati konsumen dan memperkaya boss Honda. Namanya juga bakul, sampai kiamat facelift akan terus diekspose. Alamiah. Jangankan mobil, Mak’e Ilyas yang bakulan sambel pun menerapkan teknik facelift kok. Minor change dan major change silih berganti ditembakkan.
Hingga lahirlah generasi kondang Honda Jazz RS.
Hikayat petualangan saya dalam jagat per-Jazz-an memang tak seheorik hubungan batin saya dengan CR-V dan Accord. Jika CR-V dan Accord yang mengeluarkan edisi major change, saya niscaya menebusnya. Untuk Jazz, hanya tiga kali saya pernah membelinya. Tak termeheklah. Biasa saja.
Setelah kemunculan generasi Jazz RS, mobil ungu tadi kontal. Dijual murah meriah. Dibeli oleh teman yang berkali-kali datang ke rumah dan benar-benar ingin memberi kado pernikahan buat istrinya berupa Jazz second. Saya menjualnya hanya 65 juta. Isi kepala saya saat itu bukan tentang rugi banyak, tetapi semata menyokong kawan dekat mewujudkan niat baik menggapai keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Semoga dosa kesombongan saya pada mobil-mobil lainnya diampuni oleh Allah dengan skema subsidi silang dosa-pahala tersebut. Amin.
Pasca Jazz ungu, sebuah Jazz RS matic merah saya pinang. Tak usahlah diutak-atik lagi, kapasitas jeroan dan piranti entertainment standarnya sudah oke banget. Tapi, ingat, keokeannya jangan dibandingkan dengan kemampuan akselerasi, laju, dan handling CR-V dan Acord, ya.
Coba deh jejalkan flashdisk berisi lagu bajakan “Kelayung-layung“, “Konco Mesra”, “Jaran Goyang”, dan “Nasib 3”. Niscaya sudah homy banget.
Jazz RS merah itu lalu dipakai istri dan memang sangatlah wangun dia dengan mobil modis itu. Tak salah sama sekali bila Jazz RS senantiasa diidamkan oleh para ciwik dan mamah muda. Faktanya, bersama mobil tersebut kualitas kecantikan akan melesat 50% dan kualitas kekatrokan akan rontok 50%. Jika Anda tergolong ciwik syar’i, percayalah bahwa kualitas kesyar’ian anda akan melonjak pula 50%. Bersama Jazz RS, Anda layak untuk makin yakin bahwa separuh hak syar’i Anda pada surga kian nyata. Ragu? Posting-lah gaya-gaya syar’i iyig di Instagram. Surga ada di situ sekarang ….
Ihwal melonjaknya 50% kekerenan dan merosotnya 50% kekatrokan bersama Jazz ini bukan mengada-ada. Saya punya cerita nyata saat lagi meeting di sebuah restoran.
Kami sengaja nongkrong di bagian bawah pada suatu sore. Biar bebas ngudud. Juga ngisis. Di tengah jalannya meeting yang sok-sokan serius biar tampak profesional kayak pengusaha-pengusaha lain, masuklah sebuah Jazz RS putih ke parkiran disusul turunnya sesembak berambut panjang tergerai agak kemerahan. Setara sama Dek Nella Kharisma.
Ribut yang orangnya iseng sontak nyeletuk, “Ancene wangun ya ciwik cakep sama Jazz RS.”
Hinu menimpali, “Mencerminkan ciwik berkelas, terdidik. Kalau cuma pakai Avanza, apalagi Ninja dan Satria, ya jangan menyapalah.”
Sesembak itu melintas di dekat kami sambil menelepon. Mungkin temannya, mungkin bapak asuhnya. Bhaaa ….
Ternyata kami salah! Dari tangkapan kami, terdengar bahwa ia sedang janjian sama seseorang yang dia bayar untuk menyelesaikan skripsinya. Oh my God! Oh, dunia!
Ketika skripsi pun membayar orang, yang jelas itu mencerminkan kekatrokan mutu intelektuil generasi penerus masa depan bangsa, Jazz RS menjadi penyelamat sesembak tadi. Lahiriah memang, tapi zaman ginian apa masih penting hal-hal yang batiniah?
Sesembak ber-Jazz RS putih itu tetaplah sesembak yang berkelas, keren, bojoable, intelektuil. Mau bilang apa lagi, bukankah memang demikian pandangan umum kita, Broh?
Belum setahun berlalu, saya kembali meminang Jazz RS hijau—biru dalam lisan orang Madura. Bukan apa-apa, hanya karena saya terpesona sama warnanya yang unik, plus anak kedua saya mulai masuk SD Muhammadiyah yang agak jauh lokasinya dari rumah sehingga butuh mobil khusus antar-jemput sekolahnya.
Finalnya, maaf kata, dalam driving experience saya, tak ada hal istimewa sih untuk Jazz ini. Boleh jadi karena saya telah kadung punya gunungan pengalaman pembanding bersama CR-V dan Accord yang tak bisa dijangkau sedikit pun oleh kekuatan Jazz. Di hadapan CR-V dan Accord, Jazz jelas debu. Tetapi, saya sepakat satu hal: Jazz jenis mobil yang pas banget buat kaum ciwik muda.
Lalu terbitlah Honda Jazz Facelift terbaru yang sekarang nangkring di dealer Honda. Seperti biasa, Mas Tomi, sales salah satu dealer Honda di Yogya menawari saya test drive. Sungguh saya malas aslinya, mendingan ke Blandongan, beli kopi seharga lima ribu sambil nulis apa saja. Tapi, demi menghormati tawaran sahabat, saya pun memenuhinya.
Beli? Tidak! Lalu apa komentar saya?
#Yawesngunukuilah.
Perubahan-perubahan minor yang disematkan Honda kepada edisi facelift alias repro itu sama sekali tak ubahnya dengan buku-buku Seno Gumira Ajidarma yang kondang, sebutlah Sepotong Senja untuk Pacarku, diganti sampul lalu dijual dengan harga lebih mahal.
Klaim marketing Honda bahwa Jazz terbaru lebih keren dengan grill lebih kekar, emblem Honda lebih besar, plus setetes krom, lampu utama rada gelapan, juga bentuk bemper lebih lebar dilengkapi foglamp bulat, serta lampu rem bergaya garis tegas ala-ala mobil sport, semua itu hanya bumbu fana yang sangat bisa ditebus murah di toko aksesori mobil. Ingatlah, yang abadi tetaplah pundi-pundi bos Honda.
Apa, teknologi Honda Sensing?
Hmmm, kata brosurnya, itu fitur teknologi canggih terbaru Honda untuk paket keselamatan aktif Jazz terbaru (sounds so great yes). Ingat, Konsumen, keselamatan itu sangat utama!
Dengan sematan teknologi gres itu, kata sales Honda, Jazz anda akan lebih aman karena mencakup keamanan berkendara ala-ala Pedestrian Collision Mitigation Steering System, Collision Mitigation Braking System, Lane Keeping Assist System, Adaptive Cruise Control, dan Traffic Sign Recognition.
Semua istilah keren itu asli seasli-aslinya percuma total untuk jalanan kita. Alih-alih mikir keamanan berkendara, parkir saja ruwetnya minta ampun. Jadi, itu semua hal yang sia-sia di sini, yang tetap kudu Anda bayar bila kepincut kampanye bakul Jazz Facelift.
Buktikan saja, kelak Honda bakal kembali melakukan facelift dengan kampanye-kampanye “lebih aman, lebih aman, lebih aman”. Persis! Honda tahu persis cara “mendaur ulang” stok sembari mengeduk uang konsumen.
Weslah, jika mau dan punya uang, cukup beli Jazz RS, itu sudah lebih dari cukup. Pilih All New Yaris sebagai alternatif juga setara kok nyamannya. Kebetulan saya barusan membelinya. Setelah dianugerahi Mojok Award.