MOJOK.CO – Saya sudah jarang melihat bus Dahlia Indah di Jogja atau lewat Jogja. Saya lebih sering menemukan Dahlia Indah mangkrak di pinggir jalan.
Banyak legenda-legenda bus yang sering diceritakan. Minimal, pernah diceritakan. Tak peduli itu cerita positif atau negatif karena semua punya dua sisi itu.
Di Jawa Timur, banyak bus-bus legendaris yang masih bertahan hingga sekarang. Namun yang punah juga tak kalah banyak. Fisiknya mungkin punah. Nama dan ceritanya tetap abadi turun temurun. Salah satu legenda bus itu adalah Dahlia Indah. Sebuah PO asal Tulungagung.
Awal mula
Tahun 2004 menjadi awal mula saya merantau ke Jawa Timur menuju Kota Kediri. Bersama seorang kawan, perjalanan dimulai dari terminal Terboyo menumpang bus Apollo tujuan Solo. Kala itu Terboyo masih menjadi terminal paling sibuk meski kondisinya bisa dibilang buruk.
“Solo ke Kediri, nggak ada pilihan bus bagus. Hanya ada bus ini.” Saya yang masih culun dan pah-poh itu hanya manggut-manggut mengiyakan apa yang dikatakan kawan saya itu.
Sesampainya di Terminal Tirtonadi Solo, kami menuju shelter pemberangkatan arah timur. Masa itu, Tirtonadi masih dominan berwarna merah dengan keramik putih dan masih bayar retribusi sekitar Rp200 atau Rp500 rupiah, saya lupa.
Tahun itu, Tirtonadi jadi terminal tersibuk di Jawa Tengah yang hidup 24 jam tak pernah sepi bus dan penumpang. Calo dan copet juga berserakan di mana-mana.
Sampailah kami di shelter “Kediri, Blitar, Tulungagung” yang tertulis pada papan biru kecil di sebuah pilar bangunan terminal.
Sebuah bus kotak berwarna hijau lusuh terparkir. Debunya tebal, auranya menyeramkan. Tulisan bus Dahlia Indah berwarna merah muram bermotif naga membuat bus ini makin menyeramkan. Ditambah suara mesin bus yang meraung dari depan dan knalpot yang menggelegar di belakang, biasa disebut knalpot “wor”, membuatnya lengkap dengan kesan “brutal”.
Saya tertegun sejenak memandangi bus ini dari depan hingga belakang. “Hmmm ini menarik” kata batin saya sambil mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam kabin bus itu.
Bus Dahlia Indah itu sederhana, tapi tak semua bisa: Sebuah jawaban
Saya melangkah masuk ke bus Dahlia Indah. Hawa hangat khas bus bumel meresap ke dalam kulit. Aroma “keringat” mesin menyatu dengan teriknya Tirtonadi siang itu menjadi aroma yang akan sulit dilupakan.
Saya melihat plafon bus berwarna abu-abu di sisi samping dengan triplek putih mengilap. Di bagian tengah dilengkapi pegangan tangan memanjang dari depan dan berakhir di belakang dekat pintu keluar.
Jok berformasi 3-2 berbalut kulit sintetis yang agak keras ketika ditimpa bokong. Kami memilih duduk di baris tengah-tengah. Ada gorden yang melindungi terik matahari yang menembus jendela kaca bus Dahlia Indah berbercak air itu.
Saat duduk dan menyandarkan punggung. Ada hal yang sedikit mengganjal pikiran saya. Perihal satu ruang kosong tanpa jok di sisi kanan dekat pintu belakang. “Kenapa malah dikosongi?” Saya biarkan pertanyaan itu berputar-putar di kepala. Agak ganjil melihat ruang kosong tanpa jok.
Bus Dahlia Indah itu mulai bergerak di tengah terik matahari dengan penumpang yang nyaris rata bangku. Cukup mencengangkan untuk bus dengan fasilitas paling dasar. Tanpa AC, tanpa musik. Dengan kondisi interior mendekati interior tank T34 yang bagian empuknya hanya jok.
Pada era itu memang belum banyak bus AC Ekonomi. Sumber Kencono saja pada masa itu semuanya masih bumel (mlebu kumel) alias non-AC.
Melihat kehidupan di dalam bus Dahlia Indah
Bus Dahlia Indah melaju meninggalkan Tirtonadi, melewati Masaran menuju Sragen. Kondektur mulai menarik ongkos dan memberi karcis coret sebagai bukti pembayaran. Jujur saja saya lupa berapa tarif Solo-Kediri waktu itu sebab kawan saya yang membayar perjalanan kami.
Mendekati Sragen, banyak penumpang naik dan mengisi bangku-bangku kosong yang masih tersisa. Ada juga yang menaikkan karung-karung dagangan yang entah isinya apa. Barang-barang itu ditumpuk dan disusun di ruang kosong yang sempat menjadi pertanyaan di kepala saya.
Melewati Sragen bus melaju kencang. Mesin meraung, knalpot wor menggelegar seperti sambaran petir yang tak pernah berhenti bersahutan.
Sepanjang Sragen menuju Mantingan, penumpang bus Dahlia Indah naik dan turun. Ternyata banyak penumpang-penumpang meteran mengandalkan bus ini dan banyak pula yang membawa barang dagangan yang jumlahnya tak sedikit.
Di suatu tempat di sekitar Mantingan, bus berhenti dan menaikkan penumpang. Terdengar di belakang kondektur, kernet, dan penumpang gedebak-gedebuk menaikkan barang. Samar-samar terdengar suara mengembik. “Hah, masa kambing?” Kembali kepala saya disambar pertanyaan.
Suara embik itu makin sering. Saya pun setengah berdiri dan melihat apa yang terjadi di belakang. “Cookk, wedhus! Wedhus tenanan!” Ada kambing naik bus! Batin saya.
Selepas Ngawi ke timur, saya lebih banyak tidur. Sesekali terjaga hanya merasakan embusan angin yang menerobos jendela dan guncangan bus yang berlari kencang.
Tepat adzan Magrib, bus Dahlia Indah melewati jembatan Bandar yang berada di atas sungai Brantas. Kami turun persis di sisi timur jembatan sebelum lampu merah. Perjalanan yang benar-benar menyenangkan. Misteri ruang kosong tanpa jok itu terjawab.
Mulai me-la-yu dan mati
Saat SMA tahun 2004, saya masih cukup sering naik bus dari Kras menuju Kediri kota. Mulai Harapan Jaya, Seruni, Pangeran, Surya Indah, Sri Lestari, Pelita Indah pernah saya naiki. Termasuk bus Dahlia Indah juga tak ketinggalan. Semuanya bus-bus pelari dan menerima penumpang meteran termasuk anak-anak sekolah dengan tarif setengah harga.
Tahun 2006 saya pindah ke Jogja. Saya masih sering melihat dan ketemu bus Dahlia Indah di Ringroad selatan, Dongkelan, kadang melihat bus itu ngetem di depan Pasar Gamping.
Saya baru sadar setelah di Jogja kalau ternyata bus Dahlia Indah punya rute mulai dari Tulungagung hingga Purwokerto. Bahkan pernah menemukan Dahlia Indah dengan papan jurusan yang ditaruh di kaca depan “Jakarta”. Saya terperangah.
Mungkin 5 atau 7 tahun setelahnya, saya sudah jarang melihat bus Dahlia Indah di Jogja atau lewat Jogja. Saya lebih sering menemukan bus Dahlia Indah mangkrak di pinggir jalan. Beberapa kali saat naik bus ke Jawa Timur kerap menemukan di Mantingan, Nganjuk, Ngawi. Kalau saya tidak salah ingat.
Tahun 2012 ke atas, saya sudah tidak pernah lagi melihat Dahlia Indah. Bahkan namanya juga sudah tak lagi terdengar di terminal.
Kenangan bus Dahlia Indah
Hanya sekali saya menumpang bus Dahlia Indah dengan rute panjang. Sisanya menjadi penumpang meteran Kras-kota Kediri dan sebaliknya.
Solo-Kediri menjadi pengalaman pertama dan terakhir kalinya menumpang Dahlia Indah rute panjang dengan berbagai macam penumpang dan bawaannya. Dulu, di forum Bismania Kaskus ada cerita soal Dahlia Indah. Cerita ini masyhur di kalangan Bismania. Ceritanya begini:
Suatu hari bus Dahlia Indah sedang melaju dengan jok penuh muatan barang-barang dagangan di dalamnya hingga tampak dari luar. Kemudian dari sisi kiri muncul bus Rosalia Indah. Pengemudi Rosalia Indah membuka jendela dan berkata ke pengemudi Dahlia Indah.
“Mas, ngko montormu mlebu jembatan timbang?” (Mas, nanti mobilmu masuk jembatan timbang?)
“Awakmu nganggo sepatu karo klambi necis dibayar piro karo juraganmu?” (Kamu pakai sepatu dan baju rapi dibayar berapa sama bossmu?” Jawab pengemudi bus Dahlia Indah dengan nada F5.
wallahu a’lam bissawab.
Penulis: M. Mujib
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 PO Bus AKAP Terbaik Versi Kementerian Perhubungan dan catatan menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.
