Itulah tuntutan kondisi dari bus Rela agar penumpangnya rela alias pasrah. Ini baru kenyataan di terminal dan di dalam bus, lho ya. Ada lagi satu kondisi yang memicu puncak kerelaan kita sebagai manusia, yaitu performa supir.
Sopir bus Rela bagaikan memiliki cadangan nyawa. Malah jadinya kayak kucing. Ingat ya, jalur Solo Purwodadi itu nggak mulus. Selain lubang yang lama sekali tidak diperbaiki, kadang sering terjadi perbaikan jalan yang membuat jalur semakin sempit dan berbahaya.
Namun, nyatanya, kondisi ini tidak lantas membuat supir bus Rela kehilangan nyali. Kondisi berbahaya itu diterabas dengan kecepatan tinggi. Ada yang menyebutnya ugal-ugalan. Ada yang berujung kecelakaan. Alhamdulillah, saya selalu selamat kalau harus naik bus ini.
Trauma karena bus Rela
Saya mempunyai teman, yang hingga saat ini kalau melihat bus Rela, bahkan sekadar menyebut namanya, dia masih sakit hati. Trauma ini terjadi karena salah satu keluarganya menjadi korban kecelakaan bus Rela.
Waktu itu, keluarganya sedang menempuh perjalanan pulang dari Purwodadi menuju Jogja mengendarai Toyota Avanza. Kejadian nahas itu terjadi ketika Avanza tabrakan dengan bus Rela.
Kala itu sedang terjadi kemacetan panjang. Bus Rela mengambil jalur kanan untuk menerobos kemacetan. Karena harus segera memotong antrean macet, bus berjalan dengan kecepatan agak tinggi. Lalu, dari arah yang berlawan, datang mobil Avanza tersebut. Bus memang sempat mengerem, tapi jaraknya terlalu dekat. Maka terjadilah tragedi itu.
Kejadian itu tidak mungkin dia lupakan. Setiap ketemu saya, dia selalu membahas lagi soal tragedi itu. Dia selalu ingat bus Rela dan rasa sakit hati yang mungkin tidak ada obatnya. Saya jadi sungkan dan hanya bisa ikut mendoakan.
Rekam jejak bus ini memang terdengar kurang positif. Banyak kritikan, terutama dari penumpang ibu-ibu. Namun, supir bus juga punya dasar yang kuat ketika menjawab, yaitu dikejar waktu ketika melewati jalur Solo Purwodadi.
“Kalau tidak sampai tujuan tepat waktu, yang disalahkan supir,” adalah sebuah kalimat yang sempat mampir di telinga saya. Saya cuma bisa membatin, kalau nggak mau telat, ya jangan terlalu lama “menunggu penumpang di terminal” padahal bus sudah penuh.
Tidak ada pilihan lain
Yah, saya tidak bisa membenarkan maupun menyalahkan alasan itu. Kalau untuk alasan memuaskan pelanggan, kok saya tidak merasakannya. Selain ngebut, kondisi bus dari dulu ya begitu saja. Jok tempat duduk yang sudah kusut alias bolong terlihat busanya, jendela rusak, tidak ada AC, dan masih banyak lagi.
Terkadang, kondisi di lapangan yang membuat penumpang itu nggak punya banyak pilihan. Kalau naik motor melewati “rimba lubang” di jalur Solo Purwodadi, badan sakit semua dan potensi kecelakaan tinggi. Naik bus Rela, ngebut dan bahaya juga, tapi badan lebih tidak semenderita kalau naik motor.
Pada akhirnya, seperti nama bus ini, penumpang harus rela, pasrah, ikhlas. Mungkin ini termasuk salah satu alasan bus tersebut dinamakan Rela. Kok bisa pas gitu, ya?
BACA JUGA Melintasi Pantura Bersama Roda Lusuh Bus Sinar Mandiri dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.
Penulis: Ni’amul Qohar
Editor: Yamadipati Seno