MOJOK.CO – Wafatnya dua master kuliner mi ayam Yogyakarta, Bu Tumini dan Pak Tupon melengkapi keambyaran tahun 2020. Keduanya pun kini resmi jadi legenda.
Baru jalan empat bulan, tahun 2020 disebut-sebut bakal jadi salah satu tahun paling ambyar untuk kita semua. Pandemi penyebab utamanya, serangkaian kepulangan artis maupun figur publik ke pangkuan Yang Maha Pemilik Nyawa tambahannya. Bahkan belum lama ini penyanyi kenamaan Glenn Fredly meninggal pula.
Tak hanya di dunia entertainment, di dunia kulinaria wabilkhusus dunia per-mi ayam-an Jogja pun ini jadi tahun yang berat. Soalnya bulan Februari lalu salah satu legenda mi ayam Jogja, Ibu Tumini berpulang.
Hari Rabu 15 April 2020 kabar duka lain juga datang dari Bantul. Bapak Tupon, penjual mi ayam yang juga legenda Bantul juga harus berpulang. Ini benar-benar jadi kesedihan paket combo kelas wahid.
Bagi para pecinta mi ayam garis keras, kepergian keduanya memberi rasa sawi di bibir, rasa sambel di mata, dan rasa taburan garam di hati. Bukan hanya perkara mi ayam dengan rasa Olimpiade yang mereka hadirkan, tetapi soal kenangan yang tak tergantikan pula.
Yah perlu situ tahu, Bu Tumini dan Pak Tupon ini—bisa dibilang—jadi tonggak awal bagi beberapa orang yang kemudian mencintai dan menggilai mi ayam di Yogyakarta. Untuk saya pribadi, keduanya adalah mula dari karier (hah, karier apaan?) saya sebagai pemburu mi ayam hingga detik ini.
Saya tak ingat betul bulan berapa, yang jelas perjumpaan pertama dengan mi ayam Tumini adalah ketika awal kuliah pada tahun 2011.
Sepulang kuliah dari daerah Bulaksumur, Sleman, menuju rumah saya di Bantul sering saya manfaatkan dengan muter-muter keliling Jogja dulu sebelum menginjakkan rumah.
Hingga pada suatu siang, di sebuah warung kecil di sudut utara Terminal Giwangan tampak keramaian yang menggoda rasa penasaran saya. Sebuah warung mi ayam sederhana tetapi pengunjungnya bejibun kayak lagi ada tawuran.
Tanpa banyak fafifu langsung saya parkir dan pesan satu mi ayam. Baru kemudian saya sadar kalau pergulatan cobain mi ini harus rebutan cari kursi pula. Padahal waktu itu Tumini belum ngehits—meski sudah ramai. Akhirnya, untuk duduk saya terpaksa nyempil di antara sela pantat dan paha pengunjung lain.
Tak sampai satu periode presiden kemudian, pesanan mi saya datang. Sebuah rupa mi ayam yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Kuah kental coklat menyiram mi-nya yang tebal. Baunya sedap dan kuahnya menggoda sekali untuk diaduk tanpa perlu mendatangkan perdebatan agama.
Rasanya juga agak manis—tipikal masakan Jogja. Meski begitu, mi ayam Tumini tetap menarik bagi mereka yang penasaran akan kuliner rakyat jelata, harga kere, tempat ambyar, tapi rasa juara.
Dengan situasi crowded banget gitu, rasa mi yang enak kayak emang kurang pas. Asli yakin, tempat makannya nggak enak banget. Udah kayak keramaian wukuf di Arafah. Tapi karena rasa mi ayamnya nagih, saya nggak kapok dan tetap mau kembali lagi ke sana. Mungkin kayak pengalaman haji gitu. Kangen lagi, meski antrenya dari generasi ke generasi.
Oke deh, secara teori warung yang nyaman bisa jadi pertimbangan orang untuk balik ke sebuah warung, namun kamu jangan lupa kalau namanya warung makan itu ya yang dijual makanannya. Yang utama ya hidangannya. Mau warungnya semewah rumahnya Harry Tanoe, kalau rasa makanannya sepet doang ya ngapain?
Lagian kalau kamu nyari tempat makan kok cari yang tempatnya enak, asyik, hommy, kamu itu mau makan apa mau cari rumah kontrakan? Buat nambah-nambah foto feed di Instagram lagi. Kalau itu mah nongkrong namanya, bukan cari makan.
Nah, dari pemahaman yang saya dapat dari mi ayam Bu Tumini, saya jadi punya pertanyaan fundamental. Apakah mi ayam-mi ayam lain yang terkenal juga mempunyai daya tarik serupa? Tempat ambyar tapi rasanya gahar?
Petualangan untuk mencari jawaban pertanyaan itu pun dimulai semenjak itu….
Perkenalan awal saya dengan mi ayam Pak Tupon, atau lebih dikenal dengan mi ayam Tupon sebenarnya lebih dulu daripada Tumini.
Maklum, mi ayam Tupon adalah jujugan utama ketika masih SMA, lha letaknya aja cuma 500 meter dari sekolah. Memang warung ini jadi semacam warung wajib buat anak-anak SMA saya dulu.
Bila mi ayam Tumini begitu jelas tampak di pinggir jalan raya, mi ayam Tupon ini letaknya tersembunyi di dalam desa. Hanya ada jalan kecil untuk masuk ke warung ini. Hati-hati kalau mau ke sana, karena kalau tak jeli dan hanya mengandalkan Google Maps, kamu malah bisa nyasar ke Teluk Guantanamo.
Mi ayam Tupon adalah perwujudan nyata dari istilah hidden gems alias permata tersembunyi. Ini kalau Harrison Ford tahu ada mi ayam Tupon, pasti dia langsung bikin ceritanya di Indiana Jones 6. Soalnya jalannya ke warung ini udah kayak wahana bermain sendiri karena saking pelosoknya.
Berbeda dari mi ayam Tumini yang dominan manis, mi ayam Tupon lebih gurih dan tampilannya tak jauh beda dari mi ayam lainnya. Tetapi ada satu menu yang membuat saya jatuh cinta semenjak kedatangan pertama, yakni mi ayam tanpa kuah.
Tetep dikasih kuah sih sebenarnya cuma buat nyampurin bumbu tapi nggak sampai jadi mie nyemek (mie dengan kuah setengah mangkuk atau kurang sehingga teksturnya agak berair).
Sebuah gaya mi ayam yang kalau sekarang dikenal dengan mi ayam goreng (ada yang digoreng beneran, ada yang sebatas kayak Indomie Goreng). Pada saat itu gaya mi ayam tanpa kuah ini belum ada di Bantul. Kalau pun ada ya paling belum banyak karena pakemnya mi ayam ya pake kuah. Bisa dibilang Pak Tupon ini adalah “Bapak Mi Ayam Tanpa Kuah” di Bantul.
Jika Tumini membuat saya penasaran akan mi ayam terkenal lain, maka mi ayam Tupon ya sesuai predikat hidden gems tadi, membuat saya tertarik untuk mencari mi ayam lain yang letaknya tersembunyi dan jauh dari radar Google Maps.
Malahan saya lebih suka mi ayam yang ndhelik di dalam desa seperti mi ayam Tupon ini. Karena di warung seperti itu akan ditemukan interaksi yang lebih banyak antara penjual dengan pembelinya. Tak jarang ada yang beli tapi utang, meski saya tidak merekomendasikannya.
Bahasa kerennya, warung-warung ini lebih humanis, tidak hanya sekadar transaksi aku makan-bayar-pergi. Di tempat inilah kehangatan mi ayam beradu dengan kehangatan interaksi ala warga kampung atau desa.
Mi ayam Bu Tumini dan Pak Tupon memang tak dikenal luas khalayak se-Indonesia. Tetapi bagi saya dan pecinta mi ayam garis keras, garis lunak, garis lucu dan garis-garis lain, keduanya adalah pahlawan.
Jadi penyelamat di kala kantong tipis tapi butuh asupan lezat, atau mungkin penyelamat pasangan muda saldo merana agar tetap bisa makan enak berdua. Bagi akar rumput, mereka adalah penyedia makanan rasa yahud tanpa bikin dompet menyusut.
Selamat jalan Bu Tumini, Pak Tupon. Terima kasih atas segala kelezatan rasa yang telah dihadirkan di dunia lewat mi ayam kalian. Jangan khawatir, habis tulisan ini dibaca orang-orang, selain mereka bakal doain sampeyan berdua, mereka pasti penasaran dengan warung mi ayam kalian.
Ketika harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, sedangkan kalian berdua—Bu Tumini dan Pak Tupon—wafat dengan meninggalkan mi ayam yang menjadi perwujudan nyata dari anekdot: “Warungnya boleh kaki lima, tapi rasanya jenderal bintang lima.”
BACA JUGA Berburu Warung Mi Ayam Enak di Jogja, Maknyus! atau tulisan soal Mi Ayam lainnya.