Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Musik Terbaik untuk Joko

Oktadiora Pratama oleh Oktadiora Pratama
29 November 2016
A A
festival musik warnet raka ibrahim generasi 2000an nostalgia mojok.co musik warnet playlist warnet

festival musik warnet raka ibrahim generasi 2000an nostalgia mojok.co musik warnet playlist warnet

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Joko, seorang pemuda tanggung dari desa, baru saja merantau untuk menempuh gelar sarjananya di salah satu kota besar di Indonesia. Dengan bangganya, sebagai salah satu penggemar berat Pee Wee Gaskins dan Lyla, Joko berbagi referensi musik dengan kawan-kawan barunya. Namun, bukannya mendapat pujian karena pilihan musiknya, justru sikap sinis teman-temannya yang dia terima.

“Ah, Jok! Pilihan musik lo itu kampungan banget, apalagi itu Pee Wee Gaskins dan Lyla. Cuma alay yang dengar lagu kayak itu,” kata teman-temannya.

Joko heran, musik seperti apa yang kemudian menjadi representasi kaum urban, apakah berbeda jauh dengan musik-musik yang justru didengar oleh kaum rural seperti Joko.

“Coba dengerin musik-musik kayak Barasuara, Payung Teduh, Float, Banda Neira, dan lainnya. Musik-musik seperti itu sekarang lagi digemari banyak orang,” kata temannya yang lain, pria yang baru-baru ini menangis bahagia setelah menonton langsung Mocca untuk kali pertama di Bandung.

Joko kemudian mencoba mendengarkan berbagai jenis musik yang direkomendasikan temannya sembari mulai meninggalkan Lyla dan PWG yang sering Joko dengar sebelum tidur. Efeknya luar biasa, Joko mulai benci dengan musik-musik yang sebelumnya sering dia dengar, karena tidak ingin lagi dianggap norak.

Setelah satu tahun Joko mengikuti berbagai perkembangan musik lokal, dengan mantap, Joko kembali ke kampungnya untuk memberikan warna baru untuk teman di kampungnya soal musik berkualitas dari kaum urban. Joko beranggapan, teman-teman di kampungnya akan keluar dari jurang “kenorakan” dan bisa bergaul dengan kaum urban, sebab Joko yakin, salah satu yang mampu menaikkan derajat kaum rural adalah lewat musik berkualitas. Joko pernah sekali-dua kali ngamen untuk dana usaha acara di kampusnya dengan membawakan lagu dari Monkey To Millionaire dan dapat banyak uang.

Sesampainya di kampung, justru Joko kembali mendapat sikap sinis dari teman-temannya. “Senar Senja atau Silampukau ini enak sih, Jok. Tapi yakin kamu ndak sekadar ikut-ikutan dengerin ginian? Aku ndak ngerti apa bedanya cara menikmati lagu ini sama Noah dan Kerispatih,” kata temannya yang juga Sahabat Kotak.

Joko bingung, siapa yang sebenarnya punya selera musik buruk. Joko memaklumi temannya berasal dari dua kaum yang berbeda. Joko sendiri merasa baik itu Lyla atau Barasuara sebenarnya menarik untuk didengar. Toh, Joko merasa semua musik yang dia dengar cocok di kupingnya yang tidak terlalu ngota tapi tidak terlalu ndeso pula.

Perpustakaan dalam otak Joko setelah satu tahun bergerilya mencari musik terbaik untuk kaumnya cukup besar meski belum lengkap terisi oleh berbagai musik. Joko menikmati dentuman hyperblast dari musik dengan aliran slamming brutal death metal yang bahkan Joko kadang tidak mengerti apa yang mereka nyanyikan, hingga senangnya melihat kecantikan yang seragam dari aliran pop Jepang dan Korea, seperti LinQ dan F(X).

Tapi, yang tidak bisa Joko pahami adalah apa yang membuat karya musik punya indikator abstrak terkait ‘buruk’ dan ‘baik’ terutama dalam masalah sosial.

Polemik yang dihadapi Joko juga sering saya alami. Kadang, saya sering dilontarkan pertanyaan musik seperti apa yang saya suka. Pertanyaan seperti ini biasanya berakhir dengan jawaban sinis, “selera lo gitu amat” karena saya kadang juga menjawabnya dengan “Pee Wee Gaskins dan Lyla”.

Saya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan saat bertanya kenapa saya harus membenci dua musisi tadi. Khusus PWG, yang juga punya basis haters dengan nama APWG (Anti-PWG) sepertinya dibenci tanpa alasan yang cukup kuat, hanya karena penikmatnya sering mendapat titel ‘alay’ akibat banyaknya musuh PWG di skena Jakarta kala itu. Buktinya, teman saya yang dulu sempat menggilai PWG, hingga punya berbagai merchandise khas mereka dengan tega membakar seluruh koleksinya hanya karena banyak yang mengejeknya dengan titel yang sama. Sama halnya dengan Lyla, saya bahkan punya playlist khusus untuk lagu-lagu milik Lyla, Kotak, Samsons, Seventeen, dan lainnya di Spotify karena toh buat saya lagu mereka tidak jelek-jelek amat.

Malah, saya yakin dengan satu hal; kebanyakan yang mendengarkan Barasuara, Payung Teduh, Banda Neira, dan lainnya adalah orang-orang yang mengalami bias kognitif. Saya tentu menghargai yang memang sampai bergerilya menikmati Barasuara, tapi tidak yang kemudian bersusah payah hanya untuk mencerna substansi lirik milik Efek Rumah Kaca pada setiap albumnya. Sederhananya, bias kognitif menjadikan seseorang membuat penilaian yang tidak masuk akal hanya karena persepsi dan masukan lainnya mereka peroleh dari orang lain yang dianggapnya lebih berpengaruh. Bahasa kerennya, mereka mengalami sebuah teori bernama bandwagon.

Sesuatu yang saya pahami adalah, bias kognitif ini meliputi berbagai aspek. Payung Teduh tidak jauh beda dengan Letto yang punya lirik romantis, atau justru saya malah melihat substansi komposisi musik Vagetoz lebih jelas dan sederhana dibandingkan Banda Neira atau Senar Senja yang butuh dua hingga tiga kali dicerna sebelum akhirnya paham maksud komposisinya.

Iklan

Toh, saya yakin jika D’Masiv mengubah namanya menjadi Abhipraya dan membuat musik dengan lirik layaknya The Trees and The Wild tanpa orang tahu mereka ada dibalik nama Abhipraya, tentu banyak yang akan sukarela mendengar musiknya.

Saya pun meyakini hal lainnya; akan banyak yang protes saat saya menyatakan pendengar Barasuara itu alay, sedangkan tidak ada yang protes saat saya menyatakan pendengar Wali dengan hal yang sama.

Saya menganggap tidak elok rasanya jika kemudian memberikan indikator abstrak terkait bagus dan tidaknya sebuah musik hanya karena masalah kelas-kelas sosial yang diciptakan oleh kita sendiri. Hanya karena fansnya bukan berasal dari kaum menengah atau urban yang terbiasa mengonsumsi lirik yang lebih kompleks, kemudian merendahkan musik yang sebenarnya tetap menarik untuk dinikmati, sayangnya musik mereka milik kaum rural dan marjinal. Toh, kelas-kelas sosial ini juga diciptakan lewat satu medium yang sama; pasar.

Efek Rumah Kaca juga menekankan, pasar bisa diciptakan. Pasar yang berbeda untuk kelas urban dan rural bagi saya tidak layak menjadi sebuah indikator kuantitatif dan kualitatif terkait karya musik.

Saya toh tidak malu menyetel musik-musik tadi di tempat umum karena memang masih layak untuk didengar, sedangkan tidak sedikit pula yang malu untuk menyetel lagu yang sama hanya karena masalah socio-labelling dari orang-orang di sekitarnya. Sama halnya saat saya menyetel lagu Kesempurnaan Cinta milik Rizky Febian yang direspon, “wah, bagus ini lagunya, punya siapa?” yang kemudian direspon berbeda saat tahu itu lagu anak dari salah satu komedian ternama Indonesia (Hasyah, sebut saja Sule).

Saya benci jika harus menjadi seperti Joko, yang kebingungan ingin terlihat seperti kaum urban hanya untuk diakui selera musiknya bagus meski dasarnya kupingnya lebih cocok mendengar lagu-lagu yang dinikmati kaum rural. Tapi, saya juga ingin bisa seperti “Joko”, yang bisa menikmati hampir semua lagu, mulai dari slamming brutal death metal, pop korea-jepang, sampai koplo-jaranan ala-ala OM Sagita.

Assololeeeey

Terakhir diperbarui pada 10 Maret 2020 oleh

Tags: barasuaraMusikpayung teduh
Oktadiora Pratama

Oktadiora Pratama

Artikel Terkait

down for life.MOJOK.CO
Panggung

“Wall of Love”, Merayakan Lebaran Metal dengan Berpelukan di Tengah Moshpit Down For Life

25 November 2025
pabrik semen, pracimantoro, wonogiri.MOJOK.CO
Aktual

Dari Panggung Rock in Solo untuk Pegunungan Sewu: Suara Musik Keras Menolak Pabrik Semen Pracimantoro

4 November 2025
captain jack.MOJOK.CO
Panggung

Captain Jack: Antara Debu, Air Mata, dan Anthem Masa Muda

19 September 2025
Kukuh Prasetya: Merangkai Nada dari Hidup yang Biasa-Biasa Saja
Video

Kukuh Kudamai Pencipta Lagu Mendung Tanpo Udan Berbagi Perjalanan Hidupnya Menjadi Aktor dan Musisi

24 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.