MOJOK.CO – Jejak digital kita nih bahaya juga ya. Apalagi kalau jejak yang kita tinggalkan ini banyak yang memalukan. Udah mati-matian pencitraan, sekali aja jejak lama ketahuan, hancur sudah reputasi kita di mata teman-teman.
Waktu saya kuliah saya sering disuruh membuat poster untuk acara jurusan. Suatu hari, saya diminta untuk bikin poster tentang ucapan selamat kepada teman saya yang terpilih sebagai mahasiswa berprestasi. Karena di poster itu harus ada fotonya, dan pas saya chat dia nggak jawab dengan cepat padahal saya diminta segera menyelesaikan posternya, akhirnya saya inisiatif cari foto dia di internet. Saya lalu mengetikkan namanya di google.
Emang dasar teman saya ini misterius, Google ternyata nggak punya foto dia. Tapi di hasil pencarian namanya, saya menemukan akun Facebook-nya. Saya kliklah tautannya. Habis itu, scroll, scroll, scroll, lalu saya nemu foto dia yang cukup proper yang bisa dipakai buat poster.
Emang dasar saya suka iseng, bukannya saya tutup tab yang berisi Facebooknya dia, saya malah keasyikan scroll profil dia sampai bisa melihat aktivitasnya di awal-awal Facebook sedang booming di tahun 2010-an. Oh iya, untuk ngasih konteks, saya melakukan aktivitas stalking investigasi Facebook ini di tahun 2015.
Saya baca-baca statusnya dan diam-diam menilai teman saya nih dulu orangnya seperti apa. Saya baru berhenti ketika melihat sebuah foto yang diposting tahun 2009. Itu adalah foto yang membuat saya nggak kuat nahan ketawa karena saya baru tahu di balik (((penampakannya))) yang misterius di kampus, ternyata dia mau-mau saja berfoto dengan kostum kura-kura…Â Saya simpan lah fotonya, niatnya sih buat lucu-lucuan aja.
Setelah agak lama, saya baru sadar kalau keisengan saya itu, bisa jadi tindakan kriminal ketika saya menyebarkan foto-yang-em-cukup-memalukan itu, yang secara tidak langsung akan merusak reputasinya sebagai mahasiswa berprestasi. Sebelum hal itu terjadi, buru-buru lah saya menghapus foto itu dan bersikap seakan tidak pernah terjadi apa-apa ketika bertemu si teman.
Gara-gara keisengan saya tadi, saya jadi mikir kalau jejak digital kita nih bahaya juga ya. Apalagi kalau jejak yang kita tinggalkan ini banyak yang memalukan. Udah mati-matian pencitraan, sekali aja jejak lama ketahuan, hancur sudah reputasi kita di mata teman-teman.
Karena takut karma, sejak saat itu saya rajin bersih-bersih jejak digital saya. Memastikan kalau saya sudah menghapus semua status-status bodoh yang akan menjadi aib jika seseorang di masa depan menemukan itu semua.
Saya pikir, kalian juga harus segera melakukan hal yang sama.
Jejak digital alias rekaman/catatan yang kita tinggalkan ketika melakukan aktivitas di ruang online seperti aktivitas di sosial media sosial, info yang kita tuliskan di website pribadi, riwayat penjelajahan kita di Internet, foto dan video yang kita upload atau apa pun yang ada di internet dengan nama kita di dalamnya, adalah wajah kita di dunia maya.
Dan orang lain bisa mengetahui banyak hal tentang kita mulai dari sekolah di mana, jurusan apa, film apa yang kita suka, baju apa yang kita pakai sampai pandangan kita terhadap suatu isu spesifik.
Meskipun cuma dipakai dengan niat main-main aja, sosial media tanpa kita sadari jadi diri kita yang lain di dunia maya. Dan kita (hah, kita??) sering banget buka-bukaan di sana karena porsi kita bercerita: sambat, sedih, senang, kebanyakan ada di sana.
Dan orang lain, bisa melihat itu semua dalam waktu beberapa detik saja! Itu pun tanpa harus mengeluarkan usaha keras karena cukup dengan mengetikkan nama kita di sana.
Kalau kamu mikir, “Emang ada ya yang mau menelusuri jejak digital kita?”
Yha ada laaah.
Kamu pikir teman dan keluargamu itu nggak suka kepo apa? Mereka tuh yaaa, diam-diam stalking media sosialmu juga.
Dan sekarang, kalau kamu melamar pekerjaan, beberapa perusahaan sudah ada lho yang menelusuri jejak digital kita.
Teman saya baru-baru ini cerita kalau dia gagal di tahap akhir rekruitmen sebuah BUMN gara-gara status Facebooknya di tahun 2011 dianggap tidak pantas. Kata bagian HR, status Facebooknya itu menunjukkan bahwa dia tidak profesional dan membuat perusahaan khawatir kalau dia akan “ember” jika mengetahui rahasia perusahaan.
Ta-ta-tapi kan itu sudah 9 tahun yang lalu! Ditulis waktu masih bocah SMA ingusan, dan sekarang Facebooknya itu tidak lagi dia gunakan.
Lagian, jejak digital di masa lalu tuh udah nggak relevan! Orang kan berubah seiring berjalannya waktu. Lihat deh jokes para stand up comedian yang populer sekarang ketika mereka memulai stand up 5 tahun lalu, kalau ditonton sekarang, mereka pasti sangat tidak lucu. Ya, kan??
Tapi ya kita nggak bisa protes juga sih. HR di perusahaan pasti punya alasan kenapa sampai menelusuri jejak digital kita sejauh itu. Mereka pasti ingin tahu kita aslinya kayak gimana karena selama wawancara, kita selalu menunjukan versi terbaik kita.
Nah buat kalian yang belum tahu, sekarang, Jejak digital kita tuh jadi semacam CV kedua kita bagi perusahaan. Jadiii dikelola dengan baik lah biar nggak menyesal di kemudian hari.
Saran saya sih, rajin-rajin atur privasi. Kalau mau sambat, misuh, dan marah-marah, mending gunakan privasi “only me“. Kalau nggak, bikin akun alter aja. Jadinya, orang yang kepo pengin tahu aib jejak digital kita, nggak melihat betapa desperate/bucin/menyebalkannya kita di media sosial.
Oh iya, batasi juga apa saja yang kita bagikan di sana. Jangan semua hal kita update. Skrinsutan chat sama foto baiknya jadi koleksi pribadi aja.
Kalau mau tahu perspektif orang ketiga melihat jejak digital kita, sering-sering aja nge-googling nama sendiri.
Inget, jangan sampai di masa depan, ketika karier kita lagi moncer dan mau naik jabatan, masa lalu kita yang udah nggak relevan diumbar lagi untuk mempermalukan kita.
Ini yang paling penting nih, jangan sampai suati hari, ada nama skrinsutan sosmed kita yang omongannya bertentangan diposting di akunnya Bilven Sandalista!!1!!
BACA JUGA Google Memata-Matai dan Menjual Data Kita, Tapi Kita Merasa Baik-Baik Saja atau artikel lainnya di POJOKAN.