Kita meliyankan sesuatu hanya karena hal tersebut terlihat asing atau berbeda. Bila memelihara kerbau, anjing, kucing, dan burung berkicau adalah hobi pribumi yang HQQ, memelihara Tamagotchi yang merupakan hobi impor dari budaya aseng dianggap akan merongrong persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.
Tapi, nggak juga sih. Buktinya dulu anak-anak ’90-an Indonesia menggandrungi konsol mini dari Jepang ini tanpa peduli soal asing aseng. Padahal, negara anime tersebut belum genap 50 tahun hengkang dari Hindia Belanda. Apakah artinya mainan berwujud alien imut ini merupakan bentuk penjajahan gaya baru di bumi pribumi ini? Wallahualam.
Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang dijajah mainan ini. Saking gandrungnya, SD tempat saya sekolah dulu sempat menerbitkan peraturan yang melarang siswa-siswinya membawa Tamagotchi ke sekolah. Alasannya sungguh tipikal Orde Baru, tidak lain karena barang haram tersebut mengganggu kegiatan belajar mengajar!
Para guru dan orang tua sungguh tidak tahu, betapa menyenangkannya diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat sesuatu yang kita cintai. Dulu, saya sempat memelihara ayam sepuh, kemudian mati hanya karena saya tidak tahu konsep kandang ayam yang baik adalah kandang ayam memiliki lampu. Bagi saya konsep kandang ketika itu adalah sesederhana ember dibalik.
Begitupun saat memelihara kucing. Saya dilarang memelihara kucing karena di rumah ada anak perempuan. Ibu takut anaknya terkena virus macam-macam. Memelihara anjing? O tyda bisa, haram hukumnya, bisa-bisa rumah saya nggak disatronin malaikat lagi. Hadeh.
Ingatan saya yang paling membekas adalah saat memelihara bebek. Jujur, saya tidak tahu bahwa tidak selamanya bebek mampu hidup di air. Saya pernah menempatkan bebek di kolam. Lalu si bebek riang gembira mengayuh kakinya yang kecil berkeliling sebelum besoknya saya lihat lagi ia telah mengambang. Mati. Betapa nelangsanya diri ini membayangkan bebek tersebut kepayahan menggapai daratan yang tidak pernah ada, mengayuh kakinya terus-menerus hingga ia lemas dan tak mampu bernafas lagi. Njir, jadi horor.
Dari pengalaman-pengalaman yang tidak lucu itulah akhirnya Ibu memberi saya hadiah Tamagotchi, mainan yang jika dilihat dari kemaslahatan umat tak bakal merepotkan siapa pun.
Namanya sendiri berasal dari kata Jepang tamago yang artinya telur dan watch yang artinya jam tangan. Ia adalah mainan bergenre digital pet yang ditemukan oleh Akihiro Yokoi dan pertama kali dirilis oleh perusahaan mainan Bandai pada 23 November 1996.
Mainan ini hadir dengan warna beragam. Bentuknya serupa telur, kadang seperti angka delapan agak gemuk dengan tiga tombol dari karet yang lebih sering copot lantaran sering dipencet-pencet. Di atas deretan tombol tersebut terdapat layar 16 x 16 piksel berbentuk persegi yang menampilkan binatang imajiner yang akan kita pelihara.
Satu kelebihan Tamagotchi dibanding konsol lainnya adalah sifatnya yang portabel, mudah dibawa ke mana-mana. Ukuran Tamagotchi termasuk ergonomis, mudah digenggam telapak tangan bahkan bisa berfungsi sebagai gantungan kunci. Saya dan anak-anak sepantaran lainnya biasa menggantungkan Tamagotchi di tas sekolah.
Saya tak mungkin membawa konsol-konsol yang juga sedang booming ketika itu seperti NES atau Sega Saturn ke sekolah. Selain tidak ada TV, dimensi konsol yang besar tentu tidak memungkinkan konsol-konsol tersebut dimuat ke dalam tas yang sudah penuh dengan buku-buku pelajaran.
Konsol yang bisa dibawa ke sekolah sebelum Tamagotchi hadir paling banter adalah gembot (game boy) yang “katanya” berisi 999 jenis permainan dalam satu konsol. Kini saya tahu, gamebot adalah iklan mainan pertama yang berjargon clickbait pertama. Sebab, nyatanya permainan di dalamnya tidak sebanyak itu, beberapa bahkan hanya duplikasi. Hadeh.
Kehadiran Tamagotchi membuat saya bisa belajar memelihara dan menjaga sesuatu tanpa harus merepotkan orang tua perkara kubur-mengubur hewan yang mati karena salah asuhan. Kerepotan saat bermain Tamagotchi paling-paling hanya muncul ketika baterai habis, mengingat saat itu harga baterai jam yang dipakai Tamagotchi termasuk mahal. Dari segi gameplay, Tamagotchi bisa dibilang mainan yang sangat sederhana dan lebih adiktif dibanding game Clash of Clans atau Hay Day yang hadir di smartphone sekarang.
Pemain diberi kebebasan untuk mengeksploitasi tiga tombol, kiri untuk keluar atau kembali ke layar utama, tengah sebagai tombol YES, dan tombol paling kanan untuk memilih fitur. Tugas pemain tentu saja untuk memastikan agar peliharaannya tidak mati atau pulang ke planet asalnya lantaran ngambek. Ada beberapa menu atau ikon bergambar makanan, lampu, toilet, dan stik bisbol yang bisa dimanfaatkan sesuai kebutuhan.
Karena Tamagotchi sejatinya adalah jam, pemain yang baik haruslah mengatur waktu Tamagotchi sesuai dengan waktu di dunia nyata. Dengan begitu, siklus kehidupan Tamagotchi bisa diasosiasikan dengan kehidupan pemiliknya. Saya tidak mau Tamagotchi saya tiba-tiba berbunyi meminta makan pada pukul 1 dini hari lantaran keliru mengatur jam AM atau PM. Selain makan, Tamagotchi juga bisa rewel meminta tahinya diguyur dengan air atau mengajak bermain.
Jika mengingat masa itu, bermain Tamagotchi adalah kebahagiaan yang tak terperi. Di dalam lubuk hati, saya sebenarnya juga membatin, kok bisa-bisanya mainan seperti itu laku? Sudah bentuk piaraannya futuristik aneh, pun ia hanya hadir dalam bentuk garis-garis hitam yang nggak ada mirip-miripnya dengan bentuk kucing, bebek, atau anjing.
Bagaimanapun, kehadiran Tamagotchi adalah solusi bagi mereka-mereka yang ingin merawat hewan piaraan tanpa harus repot-repot ngopeni layaknya makhluk hidup. Kira-kira sekarang masih ada nggak ya yang main Tamagotchi?