Salah satu kakak saya yang sudah bertahun-tahun hidup di Pekalongan, setiap kali berkunjung ke Solo selalu menyempatkan untuk makan soto. Di pekalongan ndak ada, katanya.
Tentu saja ada soto di Pekalongan, tapi beda. Soto di kota pesisi utara Jawa itu menggunakan mie su’un. Sedangkan di Solo, yang namanya soto nyaris melulu kuah dan daging. Salah satu favorit kakak saya, yang kemudian juga menjadi favorit saya adalah sebuah warung di depan sebuah gereja mewah di Widuran. Setiap kali pulang ke Solo saya pun selalu meluangkan waktu untuk makan di situ. Kepada teman-teman hipster saya dari Jakarta, warung soto itu juga selalu saya rekomendasikan. Bagi saya, itu adalah soto terenak se Asia Tenggara. Namun, ada cerita lain ketika suatu kali saya mengajak kakak perempuan saya yang tinggal di Solo untuk makan soto di situ.
“Ora enak!” katanya.
Saya terperanjat sampai nyaris keselek sate brutu. Ketika dengan penasaran saya kejar, apa alasannya menilai menilai soto kebangaan saya itu “tidak enak”, dengan enteng dan lugas kakak perempuan saya menjawab, “Kakehan (kebanyakan) tempe bosok!”
Anda tahu tempe bosok? Dalam khasanah masakan Jawa, terutama Jawa Tengah wabil khusus lagi Solo-Jogja dan sekitarnya, tempe bosok adalah salah satu elemen terpenting bumbu dasar. Sesuai dengan namanya, bosok (artinya busuk), tempe bosok adalah tempe yang sengaja dibikin busuk. Baunya menyengat dan wujudnya tentu juga cukup menjijikkan. Tapi, jangan salah, inilah salah satu rahasia di balik kelezatan masakan-masakan Jawa, termasuk soto. Daun bayam yang disayur bening menjadi jauh lebih bercita raya bila ditambahi dengan secuil tempe bosok ini. Ajaib bukan, bahwa sesuatu yang sudah busuk -artinya mestinya dibuang- justru menjadi faktor penyedap sebuah masakan?
Tentu saja, komentar kakak perempuan saya tadi mengejutkan saya bukan karena ia menyebutkan tempe bosok, yang dinilainya terlalu mendominasi rasa soto favorit saya itu. Melainkan, saya terkejut lebih karena kakak saya itu mementahkan begitu saja citarasa dan kepekaan selera saya. Apa yang selama ini saya yakini sebagai enak, favorit dan saya rekomendasikan kepada teman-teman saya di Jakarta, oleh kakak saya yang sejak lahir hingga berkeluarga tinggal di Solo dinilai sebagai “tidak enak”. Artinya, tentu saja ada dan bahkan mungkin banyak soto lain yang (jauh) lebih enak daripada yang selama ini saya unggulkan itu.
Lalu, kakak perempuan saya itu bercerita, bahwa soto paling enak ada di sebuah warung di dekat Pasar Legi. Itu tak lain warung milik ibu dari teman sekolahnya di SMP dulu. “Pulang sekolah saya sering diajak makan di situ, enak, lauknya komplit,” kenangnya. Sekarang warung itu sudah tidak ada.
Menilai sebuah masakan memang gampang-gampang susah; bisa dilakukan dengan serius penuh perbandingan dan referensi, tapi juga bisa ‘seringan’ dan sepersonal apa yang dilakukan oleh kakak perempuan saya itu, yakni dengan mengaitkannya dengan memori tertentu. Kalau sudah begini, urusannya menjadi sedikit agak rumit, karena menyangkut romantisme dan bukan lagi sekedar soal lidah dan selera akan citarasa. Perdebatan mengenai mana yang (lebih) enak menjadi tidak terlalu perlu karena semua jadi relatif. Saya sendiri, yang telah lama “menjadi orang Jakarta”, kemudian juga menyadari bahwa kadang-kadang (atau sering) melihat (kembali) berbagai kekayaan kuliner di Solo lebih berdasarkan romantisme masa lalu semata. Semua yang telah menjadi kenangan itu terasa lebih indah ketimbang hal-hal yang baru.
Euforia kuliner belakangan ini melahirkan kebanalan yang luar biasa mengenai apa yang enak di suatu tempat. Saluran-saluran komunikasi dan berbagi informasi media sosial menjadi tempat yang luar biasa bising akan pertanyaan semacam itu. Ketika tengah berkunjung ke suatu kota, maka pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang tempat makan yang enak. Dan, hal itu dilontarkan di Twitter, sehingga respons yang muncul kemudian menjadi semacam pasar informasi mengenai makanan apa yang khas di kota itu, dan di mana warung yang paling tepat untuk mendapatkannya. Jawaban dan rekomendasi tidak selalu datang dari “narasumber lokal” dari daerah/kota yang bersangkutan, melainkan bisa dari siapa saja yang memiliki pengetahuan akan popularitas sebuah tempat makan ataupun masakan tertentu. Dunia kuliner telah menjadi “pengetahuan umum”, dan bukan lagi “pengetahuan lokal”.
Saya sendiri sampai lulus kuliah di Solo tidak pernah tahu-menahu tentang srabi notosuman. Sejauh itu, saya juga belum pernah makan nasi liwet (di) Keprabon. Tapi, teman-teman Jakarta saya selalu bertanya setidaknya tentang dua hal itu dalam kaitan dengan Solo, kota kelahiran saya. Sementara kami, anak-anak kampung yang tumbuh pada awal dekade 80-an, hanya mengenal srabi pasar oleh-oleh dari ibu sehabis belanja, dan nasi liwet dari acara hajatan tetangga. Warung nasi gudeg ceker yang buka jam 2 dinihari? Tengkleng depan pasar klewer yang selalu diantri sejak belum buka dan langsung ludes dalam 20 menit? Bagi kaum traveler dan petualang kuliner, dua sensasi yang identik dengan kota Solo itu demikian populer. Namun, tanyakan pada warga Solo sendiri, sebagian besar pasti hanya akan terbengong-bengong, entah karena belum pernah mencoba atau bahkan belum pernah mendengar keberadaannya! Saya pernah terheran-heran dengan seorang teman, “seleb ibukota”, yang histeris ketika makan tahu bacem yang menurutnya “enak banget” di warung wedangan dalam kunjungannya ke Solo. Bagi kami, tahu bacem (tentu saja yang “enak banget”) telah menjadi sesuatu yang sangat membosankan karena nyaris selalu tersaji di meja makan kami.
Seorang bapak-bapak memborong karak gendar mentah di Toko Orion Solo di musim libur Lebaran kemarin, sepertinya untuk oleh-oleh sekaligus persediaan ketika nanti kembali ke kota tempat tinggalnya. Saya langsung teringat masa kecil dulu, ketika kami saling menertawai dengan getir ketika melihat di antara kami makan nasi dengan “lauk” karak gendar. “Nasi lauk nasi,” demikian komentar yang akan terdengar, tentu saja dengan nada sinis menghina tanpa ampun ala Jawa. Di toko oleh-oleh, di Zaman Kuliner ini, karak gendar telah kembali dalam kemasan yang berbeda, sebagai makanan bergengsi, dan tentu saja harganya mahal, dari kampung halaman.
Saya merenungkan semua itu, ketika kemarin mudik ke Solo dan pada suatu pagi kakak perempuan saya menyuguhkan jongkong dan sawut di meja, sebelum saya bangun dan membikin kopi seperti biasa. Lalu, dengan gaya kelas menengah Jakarta yang genit dan ketimpringan, saya foto makanan itu dan saya tweet.
“Koyongono wae mbokfoto!” komentar kakak saya, antara tak percaya, geli dan heran.
Saya hanya tertawa. Ada yang tak diketahui oleh kakak saya: bagi “orang Jakarta” seperti saya, momen-momen seperti saat mudik ini, ketika berbagai makanan “muncul kembali”, penting artinya untuk “nge-charge” kembali cita rasa lidah saya. Ini semacam ‘napas tilas rasa’ terhadap kesenangan-kesenangan kecil pada makanan, pada zaman ketika makan “belum” menjadi “wisata kuliner” yang banal, dan masih “sekedar” laku kewajaran yang melibatkan memori dan emosi.