MOJOK.CO – Meski pindah, tapi saya masih kos di Kota Semarang. Dan, sampai sekarang, teror itu masih terjadi. Doakan saya bisa bertahan, ya.
Hari ini saya menulis sambil ditemani secangkir kopi saset. Di luar gerimis, udaranya agak dingin dan suasana sepi karena malam sudah semakin larut. Apalagi ini sudah masuk libur semester. Banyak tetangga kos pulang kampung.
Saya, sebagai mahasiswa tingkat akhir, terpaksa tertahan di sini, (yang untungnya) di tempat yang tidak seram-seram amat. Karena serius, meski hampir tiga tahun berlalu, saya masih tidak bisa lupa bagaimana sensasinya menjadi mahasiswa baru penakut, di kos itu. Di Semarang.
Menjadi maba di 2019
Saya memutuskan untuk merantau ke Semarang demi mendapatkan gelar sarjana. Yah, ini saya saja yang mendramatisir. Sebenarnya jarak antara kampus dengan rumah tidak terlalu jauh, kok. Cuma sekitar 30 kilometer.
Namun, karena yang takut naik motor sendiri, saya memilih untuk ngekos. Biar lebih dekat saja dengan fakultas dan tidak perlu capek nglaju.
Singkat cerita, sudah satu bulan saya menjadi anak kos di Semarang. Kamar saya berada di lantai dua, pintu nomor dua dari balkon. Ada satu jendela di bagian belakang kamar yang kalau dibuka saya bisa melihat atap kos sebelah yang hanya satu lantai.
Lantaran kos saya berada di gang buntu dan berhadapan dengan kebun kosong milik orang, suasana di kos cukup tenang dan sepi. Apalagi di tiap lantai hanya ada sembilan kamar yang kebetulan mayoritas penghuninya adalah mahasiswa semester akhir, nggak banyak bersuara, dan sering pulang ke kampung halaman. Meski masih di Semarang juga.
Jadi, selama satu bulan itu, tidak ada gangguan macam-macam. Semuanya aman terkendali. Mungkin juga karena saya selalu pulang malam untuk menghadiri acara kampus, dan setelah sampai kos, saya langsung tidur. Begitu seterusnya kehidupan saya di kos. Tapi, berbeda dengan malam itu. Untuk pertama kalinya saya merasakan ada yang tidak beres dengan entah, kosnya atau kamar saya.
Awal gangguan di kos
Saya masih ingat, waktu itu sudah masuk September dan kegiatan mahasiswa baru sudah tidak sesibuk bulan pertama. Saya pulang sore dan tidur lebih awal. Malamya, ketika terbangun, saya mendengar seseorang menyapu halaman menggunakan sapu lidi.
Suaranya cukup keras dan terasa mengganggu. Bahkan sampai membangunkan saya yang notabenenya susah dibangunin kalau sudah tidur nyenyak. Ketika melihat ke layar hape, terlihat jelas bahwa saat itu masih sekitar pukul setengah dua malam.
Apa mungkin ada yang menyapu halaman malam-malam begini? Pikiran saya mulai tidak tenang. Gimana, ya. Keganjilan di sebuah rumah, khususnya sebuah kos, biasanya dimulai dengan peristiwa seperti ini. Apalagi penghuni kos di Semarang ini kebanyakan cuek saja. Jadi, tidak ada tempat bagi saya untuk bercerita.
Selama beberapa saat saya memasang telinga baik-baik. Suara sapuan lidi ke tanah itu terus berlanjut memecah keheningan malam. Saya tidak berani memastikan dan hanya bisa diam sampai tahu-tahu tertidur lagi. Suara azan Subuh membangunkan saya.
Sebenarnya saya bukan pemberani. Saya hanya memaksakan diri untuk tidak takut dengan “mereka” karena tidak mau terus-terusan kalah. Saya mendengar, kalau kita takut, “mereka” akan senang dan semakin suka mengganggu. Maka dari itu, setelah jadi anak kos di Semarang, saya terus mendekatkan diri pada Tuhan dan yakin bahwa “mereka” tidak akan mampu mengganggu saya. Itu yang saya pikirkan, pada awalnya. Dan ternyata saya salah.
Kenyataannya, semakin berusaha untuk tidak takut, mereka justru semakin gencar mengganggu.
Baca halaman selanjutnya….