MOJOK.CO – Selama 10 hari di Jawa Timur, teror datang silih berganti. Mulai dari Surabaya, lanjut di Malang, Batu, Sidoarjo, lalu Banyuwangi.
Sekitar seminggu yang lalu, saya tiba di Jogja pukul lima sore setelah menyelesaikan tugas sebagai supir. Saya memecahkan rekor untuk diri saya sendiri, menyupir mobil selama 10 hari tanpa gantian. Kalau dirata-rata, per hari, saya menyetir mobil selama lima jam.
Saya bertugas mengantar tim produksi video yang meliput dan mewawancarai beberapa tokoh di Jawa Timur, tepatnya Surabaya dan Malang. Selama produksi itu pula, tiap dua hari sekali, kami berganti tempat tinggal, dari guest house, hotel, sampai villa.
Pembukaan teror Jawa Timur
Tidak usah lama-lama. Langsung ke bagian teror makhluk gaib saja biar kalian enak bacanya. Jujur ini masih menyisakan sedikit perasaan traumatis pascaperjalanan saya ke Jawa Timur.
Saya berangkat pukul satu siang dari Jogja bersama tim yang berjumlah lima orang, dengan perkiraan kami akan masuk Jawa Timur dan tiba di Surabaya sekitar pukul tujuh atau delapan malam.
Saya sudah membayangkan, kalau selama di jalan tol saya memacu kendaraan dengan kecepatan 100-120 km/jam, kami semua akan tiba tepat waktu seperti perkiraan awal, punya cukup waktu istirahat, dan tim produksi bisa menyelesaikan persiapan produksi keesokan harinya.
Namun ternyata, perjalanan kami sedikit tidak mulus. Saat senja, memasuki daerah Ngawi, kami disambut hujan deras. Kayaknya teror yang saya alami dimulai dari sini. Jarak pandang dari dalam kendaraan hanya berkisar lima sampai 10 meter saja. Mobil terpaksa saya pelankan hingga jarum speedometer ada di angka 60 km/jam. Bos, sekaligus host dalam tim itu duduk di depan bersama saya. Sesekali dia mengingatkan untuk berjalan pelan saja karena sedang hujan deras dan meminta saya pindah ke lajur kiri jalan tol.
Baru saja dia mengatakan itu, mobil kami terkena aquaplaning. Silakan cari di YouTube tentang teror aquaplaning dan seberapa fatal kecelakaan yang diakibatkan. Dengan kecepatan 60 km/jam saja saya bisa merasakan setir mobil mendadak terbanting cepat ke arah kanan. Kalau panik dan kaget, maka selesai sudah perjalanan kami saat itu. Mungkin tidak parah, tapi mobil akan menabrak pembatas jalan sisi kanan dan terseret cukup jauh. Dan bisa dipastikan saya adalah orang paling bersalah.
Beberapa saat setelah kejadian itu, saya memperhatikan satu per satu penumpang. Saya menoleh ke samping, melihat melalui spion dan saya pastikan mereka tidak ketakutan. Mobil kembali saya kendalikan dengan mengurangi lagi kecepatannya. Baru saja bernapas lega, tiba-tiba sisi kiri mobil terasa berat. Seperti ada yang naik. Tidak dengan tiba-tiba, tapi pelan seperti orang berbobot 100-125 kg yang duduk di bagian kiri belakang mobil.
Saya jelaskan singkat. Total, kami berenam di dalam mobil Innova. Di depan ada saya dan host, di tengah ada tiga kru, di belakang bagian kanan ada satu kru dan sisi kiri dipenuhi barang seperti kamera dan barang pribadi kami. Jadi, otomatis, selama perjalanan, sudah saya atur beban muatannya agar seimbang.
Begitu mobil terasa miring ke kiri, saya coba melepas setir untuk memastikan itu bukan ban kempes. Jalannya lurus, tidak terasa setir membanting ke kiri. Saya jalan lagi, dan lagi-lagi mobil seperti diarahkan ke kiri dengan beban yang terasa sekali bagi seorang supir. Saya pastikan ada yang tidak beres, dan kemungkinan besar ini ada bau-bau gaibnya. Segera saya putuskan untuk mencari rest area di jalan tol.
Sampai di rest area pertama, saya tidak menemukan jasa pompa nitrogen. Saya turun dari mobil dan mengecek ban belakang mobil dari kanan ke kiri. Semua normal. Tidak ada yang salah. Saya kembali naik dan host bertanya ada apa, saya hanya menjawab ban kurang tekanan atau kurang angin.
Setelah mampir di rest area kedua dan menambah tekanan angin, masalah “ban” saya anggap selesai. Tiba di Jawa Timur, menjelang exit toll Sidoarjo, saya langsung menghidupkan Google Map sebagai penunjuk arah menuju penginapan di daerah Rungkut, Surabaya. Manajer tim menyewa sebuah rumah di dalam perumahan yang relatif ramai, yang isinya tidak hanya 10 sampai 15 petak rumah saja.
Teror di Rungkut
Begitu sampai, saya masukkan mobil ke garasi. Tepat di depan rumah kami, ada dua bangunan kosong yang di pagarnya ditempel tulisan “Dijual”. Rumah yang persis berada di depan kami bentuknya seperti bangunan era 2000an awal. Sebelahnya, sudah tidak berbentuk bangunan lagi, hanya tersisa tembok dan atap depan yang terlihat sangat rapuh.
Saya tidak terganggu dengan bangunan kedua yang rusak itu, justru bangunan 2000an di depan tempat kami yang menjadi perhatian saya. Tidak gelap, tapi remang seperti hanya beberapa bagian rumah saja yang sengaja dihidupkan.
Saya duduk di ruang tamu guest house itu, menunggu pembagian kamar. Tidak lama, tiba-tiba dua orang kru turun terburu-buru dari lantai dua bagian belakang rumah. Mereka lewat di depan saya dan bilang, “Mas Irul, kamu tidur di kamar itu, ya.”
Saya hanya mengangguk. Pasrah. Saya tahu ada yang “salah” dengan kamar itu sampai dua kru tadi menyuruh saya tidur di situ. Setelah menghabiskan sebatang rokok, saya naik ke kamar.
Saat masuk, memang tidak ada yang aneh, tapi itu bagi mereka yang tidak takut dengan hal misitis. Ukuran kamar kurang lebih 3×4 meter, dengan pintu kamar yang langsung menghadap tangga ke lantai bawah.
Tempat tidurnya besar dengan sisi kanan langsung menghadap kamar mandi dan sebuah jendela kecil dengan kaca transparan di atas tembok kamar mandi berukuran 40-60 sentimeter yang menghadap ke tandon air di bagian luar. Sisi kiri tempat tidur ada kaca besar berukuran 1,2 meter yang menempel di tembok. Kaca itu sejajar dengan pintu kamar, jadi setiap masuk kamar, kita akan langsung menghadap kaca besar itu. Creapy.
Saat makan malam, saya memaki dua orang kru tadi. Dancuk. Kata saya. Kalian sengaja tidak memilih kamar itu, ya? Mereka hanya tertawa melihat saya sedikit panik.
Selesai makan, saya keluar untuk membersihkan mobil. Ini sudah SOP untuk supir. Saat mencuci mobil, pikiran saya masih terganggu soal bagaimana saya bisa tidur nyenyak malam ini di kamar itu. Saat menyikat ban mobil, ada suara barang jatuh yang tidak terlalu keras dari rumah di depan. Saya cuek.
Tidak berapa lama, suara itu terdengar lagi. Kali ini sedikit lebih pelan. Saya tidak peduli. Bodo amat Saya lebih memusingkan misteri apa yang ada di dalam rumah tempat kami menginap, terutama di kamar saya. Teror malam pertama di Jawa Timur, tapi sudah bikin gelisah begini.
Pukul satu dini hari, saya memberanikan diri masuk kamar. Saya memilih tidak mandi daripada saat mandi mendengar suara-suara yang tidak perlu dari luar. Saya habiskan sejam awal menonton Netflix. Entah dokumenter atau film, pokoknya pikiran berusaha saya alihkan ke hal lain. pukul dua, godaan dimulai. Suara cecak tanggung, yang hanya tiga sampai empat kali decakan berulang kali terdengar. Tidak dekat, tapi terdengar agak jauh. Kalian paham?
Sekitar 30 menit saya terus mendengar suara seperti itu. Makin lama saya seperti membayangkan sedang diintip dari jendela kecil di bagian atas yang saya ceritakan tadi. Sambil terkekeh-kekeh mereka memperhatikan saya yang telentang di tempat tidur di tengah panasnya Jawa Timur dan AC 16 derajat yang rasanya seperti 24 derajat. Saya kesal. Saya buka baju dan tidur telanjang hanya ditutupi bed cover. Saya membatin, “Nyoh, nek arep weruh manukku, sisan. Bajingan!”
Ajaib. Dan konyol. Suara cecak tiba-tiba hilang. Jembut! Apa maksudnya itu? Kenapa cecaknya tiba-tiba hilang? Apa cecak bisa melihat tembus pandang dan jijik melihat saya? Selesai urusan perempuan terkekeh, mendadak ujian berikutnya muncul.
Gagang pintu kamar saya berbunyi, seperti digerakkan dua kali. Walaupun kaget, saat itu saya berpikir mungkin Pak Bos naik ke kamar saya untuk mencari kunci mobil, mungkin ada sesuatu yang ingin diambil di mobil. Saya tidak merespons gerakan gagang pintu itu, sudah terlalu lelah dan mata yang mulai mengantuk.
Saya lanjutkan lagi menonton dokumenter Formula One di Netflix. Mata semakin berat, saya miring ke kanan ke arah pintu kamar mandi. Malam itu ditutup dengan suara laki-laki dewasa yang sedikit berteriak di telinga kiri saya: “Heeehh!”
Esoknya, hari pertama produksi di Surabaya berjalan lancar. Kami selesai sebelum Maghrib dan berencana makan malam di luar penginapan. Salah satu rumah makan belut yang terkenal jadi tujuan kami. Selesai makan malam, kami balik kanan menuju Rungkut. Selama perjalanan menuju penginapan, pikiran saya sedikit kacau. Berpikir bagaimana caranya tidur lebih cepat, nyenyak, tanpa gangguan.
Begitu sampai, saya langsung menuju kamar dengan pede. Terlalu pede, saat membuka pintu kamar saya disambut suara “Sssstttt!” yang bikin jantung kayak mau copot. Tapi ternyata itu suara penyemprot ruangan otomatis. Bajingan.
Saya terdiam di depan pintu yang terbuka. Saya menatap kaca besar di depan saya. Untuk sesaat, saya merasa wajah saya berbeda seperti yang saya lihat di cermin. Saya tidak peduli. Saya tidak mau mental saya jatuh karena itu.
Selesai ganti baju dan meletakkan beberapa barang, saya turun lagi untuk membersihkan mobil. Setelah selesai, saya berniat mandi lalu istirahat. Proses mandi berjalan lancar, tidak ada gangguan seperti yang saya takutkan.
Sekitar pukul satu malam, mata saya terasa mulai mengantuk. Kali ini saya ubah posisi badan miring ke kiri menghadap kaca besar. Mata semakin berat, selesai memanjatkan doa, spontan saya membatin, “Noni, temani saya istirahat, saya kurang tidur seharian ini. Atau bisakah kamu bilang ke ‘pemilik’ rumah supaya tidak usil.” Kamu masih ingat tulisan saya soal Noni Belanda yang selalu menemani saya, kan?
Tidak hanya itu, saya seperti berkata kepada sang penunggu rumah dan bilang; “Jangan hanya saya, dong yang kena teror. Dua orang kru yang usil itu juga perlu dikasih pelajaran.”
Seperti mendapatkan jawaban “Ya”, saya lalu tenggelam ke alam mimpi. Di mimpi, saya diperlihatkan seperti apa kamar saya seebelumnya. Sekilas saya melihat rooftop tanpa atap dan difungsikan sebagai tempat jemuran. Ada tandon air sedang berdiri di sisi kanan yang di dunia nyata ada persis di atas kamar mandi kamar saya. Anehnya, ada seseorang yang tidak jelas itu perempuan atau laki-laki, berdiri di ujung tangga dan menghadap ke arah saya berdiri di rooftop.
Teror di Malang
Hari kedua produksi di Jawa Timur. Sama seperti hari pertama di Surabaya, semua berjalan lancar. Sorenya, kami melanjutkan perjalanan ke Malang. Selama dua malam, kami menginap di daerah Lowokwaru. Lagi-lagi, kami dapat guest house seperti di Surabaya, bangunan bertingkat, masih baru, bergaya modern minimalis lengkap dengan perabotan yang cukup mewah bagi saya.
Bedanya, di Malang, penginapan kami dilengkapi kolam renang. Letaknya ada di bagian belakang rumah dengan penerangan seadaanya saat malam. Sore hari setiba di Malang, saya langsung berenang, senang sekali melihat kolam atau air yang banyak. Mungkin ini efek Mbak Kunti yang kadang nempel sama saya. Hiii….
Karena kepikiran seperti itu, saya lalu tersadar, kolam renang itu identik dengan “wanita” mandi dan suka membasuh rambutnya yang menyeramkan itu. Anjir. Setengah jam berenang, saya langsung naik ke lantai dua.
Kali ini saya tidak tidur sendirian. Saya bersama dua kru yang mengerjai saya soal kamar saat di Surabaya itu.
Setelah makan malam lalu leyeh-leyeh di kamar, salah seorang kru bercerita bahwa hari kedua saat di Surabaya, mereka melihat penampakan di depan guest house kami.
Sesosok bayangan hitam berjalan cepat di depan garasi saat mereka duduk-duduk setelah selesai makan tengah malam. Tanpa pikir panjang, mereka buru-buru kembali ke kamar dan tidak membahas soal itu. Kata mereka, itu terjadi sekitar pukul satu malam. Saya ingat, jam segitu saya belum tidur.
Teror malam pertama di Malang ditutup dengan suara decakan cecak yang nanggung. Hari pertama produksi saya lewati seperti biasa; sesekali melihat proses produksi, kembali ke mobil, mainan hape, tidur di mobil, terbangun, dan minum air mineral.
Kami kembali ke guest house di daerah Lowokwaru selepas Maghrib. Setelah mobil saya parkir menghadap ke arah jalan untuk kemudian dibersihkan, saya baru benar-benar tersadar bahwa rumah di sebelah kanan guest house kami cukup menyeramkan saat malam hari.
Rumah tingkat yang modelnya sama persis dengan guest house yang kami tempati itu sepertinya milik orang yang sama, hanya dibagi menjadi dua bagian rumah untuk disewakan. Bagian depannya hampir 80 persen menggunakan kaca dengan rangka-rangka kayu ala rumah modern minimalis.
Garasi depannya hanya diterangi lampu LED 20 Watt. Bangunan sebelah dalam hanya terlihat diterangi sebuah lampu, sementara bagian bangunan yang lain gelap. Saya cuek saja melanjutkan membersihkan mobil, sementara pikiran saya makin menjadi-jadi.
Dalam pikiran saya, di balkon bagian atas rumah kosong tersebut berdiri seseorang yang memperhatikan saya. Sementara dari ruang tamu bagian bawah berdiri sesorang lagi, usia remaja, yang berjalan mondar-mandir dan sesekali memalingkan muka ke arah saya yang sedang mencuci mobil.
Saya kadang bertanya-tanya, sebenarnya imajinasi saya ini memang efek takut atau justru itulah yang benar terjadi di sekitar saya?
Setengah jam berlalu, saya sudah selesai membilas dan lanjut mengelap mobil dengan kanebo. Sisi kanan mobil tepat bersebelahan dengan rumah kosong yang hanya dibatasi pagar tembok setinggi satu meter.
Saat jongkok mengelap ban, saya merasa ada sosok yang sedang memperhatikan saya, berdiri di balik pagar satu meter itu dengan kedua telapak tangannya diletakkan di atas pagar tembok.
Tangan saya yang sibuk mengusap bodi mobil mendadak berhenti. Saya membatin, “Halah, opo meneh tooo….” Tapi mendadak bokong saya seperti tergesek sesuatu. Karena kaget, saya berteriak, “Kontol!”
Lagi-lagi, entah sudah kejadian berapa kali, selalu ada kucing yang tiba-tiba muncul. Kali ini kucing yang entah dari mana lalu ndusel-ndusel pantat saya. Dancuk.
Malam kedua saya lewati dengan perasaan lebih gelisah dibanding malam pertama. Terlebih, saat masuk ke rumah selesai membersihkan mobil, di ujung mata saya, seperti ada orang berdiri di tengah garasi memperhatikan saya masuk rumah.
Saya tidak peduli, dan saya tidak mau menghiraukan hal seperti itu. Ditambah saat mencuci tangan di dapur, pandangan saya langsung menuju kolam renang, rasanya pengen nyemplung dan menenangkan diri menikmati malam. Ini pasti ulah Mbak Kun lagi yang pengin berenang malam-malam. Sempak.
Hari ketiga kami pindah ke daerah Batu, masih daerah Malang, Jawa Timur. Sebuah kawasan wisata yang terkenal dengan banyaknya bangunan lawas.
Sebelum berangkat, salah seorang kru memberikan lokasi penginapan kami. Kami menginap di hotel berbintang, yang saya lihat ulasannya di Google cukup konyol.
Salah satunya ada yang berkata begini: “Tempat nyaman, bersih, pelayanan baik, lokasi dekat dengan banyak tempat wisata dan salah satu hotel yang memiliki rooftop bagus untuk menikmati sunset. Bintang lima pokoknya! Tapi, vila kosong di sebelah hotel itu terlalu ramai saat malam. Jadi kalau mau balik ke kamar seperti diawasi puluhan orang.”
Selesai membaca itu saya hanya membatin. Cerita apa lagi yang bakal saya temui kali ini.
Teror di Batu
Kami sampai di hotel itu sekitar setengah lima sore. Host dan manajer tim berencana menikmati sunset di rooftop sembari mengevaluasi pekerjaan selama lima hari di Jawa Timur, tepatnya Surabaya dan Malang.
Saya diajak ngebir sore sambil mendokumentasikan evaluasi mereka menggunakan kamera. Saat check in, saya memperhatikan vila kosong yang dimaksud. Memang terlihat suram.
Saya kebagian kamar di lantai tiga, sementara kru yang lain ada yang di lantai enam dan dua. Posisi vila kosong nyaris sejajar tingginya kalau berada di lantai tiga.
Terlihat tangga spiral vila ke lantai dua karena tangga itu dikelilingi kaca besar dari atas sampai bawah. Bagian belakang vila ada kolam renang cukup besar lengkap dengan bangunan kayu seperti gubuk di dekat kolam. Sementara lebih ke belakang lagi ada halaman kira-kira seluas 10 sampai 15 meter yang sudah tidak terawat.
Saat itu saya sekamar dengan manajer tim. Kami memesan kamar besar yang muat untuk tidur enam orang. Ternyata dia salah booking kamar, pikirnya ukuran yang tertera di aplikasi booking hotel tidak terlalu besar. Tapi itu bukan masalah, yang jadi masalah adalah sebagian kaca kamar mandi kami menghadap ke halaman belakang vila kosong tadi.
Pembatas antara villa dan hotel kira-kira hanya setinggi tiga meter. Jadi kalau mandi atau berendam di bath tub dan meghadap ke jendela, akan ada dua sisi pemandangan. Satu sisi menghadap ke arah jalan dan lapangan rumput di sebelah hotel, sisi satunya menghadap ke vila kosong. Musnah angan-angan saya berendam air hangat, menikmati sore sebentar sambil ngopi dan merokok.
Malam itu, selesai evaluasi, saya kembali ke kamar bersama sang manajer, menunggu teman saya, Adi, yang sedang menuju Batu dari Jogja. Adi akan menjadi supir yang menjemput kru untuk kembali ke Jogja.
Sejak awal, sesuai jadwal, saya akan menemani Pak Bos liburan ke Banyuwangi, Jawa Timur, dan kru kembali ke Jogja bersama Adi. Sembari menunggu, saya mengobrol dengan manajer tim di balkon kamar yang menghadap ke kolam renang dan lobi hotel.
Dia bertanya kepada saya, apakah selama di Surabaya dan Lowokwaru saya “baik-baik” saja? Bangsat. Ternyata sang manajer sedikit peka dengan hal-hal gaib.
Dia mulai menceritakan apa yang dirasakannya saat kami menginap di Rungkut, dan kenapa dia tidak memilih kamar yang saya tempati. Lalu saat kami menginap di Lowokwaru, termasuk rumah kosong yang berada di sebelah guest house itu.
Menurutnya, di Rungkut, dia tidak memilih kamar saya karena merasa tidak nyaman saat pertama kalinya masuk. Dan bukan sekedar tidak nyaman, tapi sangat, dan sangat tidak nyaman. Udah merasa kena teror mentalnya.
Dia kemudian pindah ke kamar lantai dua bagian depan rumah dan tidur berdua bersama kru yang lain. Sementara di Lowokwaru, saat pulang dari ngopi bersama temannya, dia merasa diawasi oleh dua atau tiga orang dari lantai dua dan lantai bawah rumah kosong yang saya ceritakan tadi. Saya juga bercerita sebaliknya kepada si manajer, dan rasa-rasanya hampir mirip ciri-ciri sosok yang saya rasakan mengawasi saya yang sedang mencuci mobil.
Pukul delapan malam, Adi mengirim WhatsApp dan mengirimkan lokasi. Dia sudah dekat dengan lokasi hotel kami. Saya kembali melanjutkan obrolan gaib bersama sang manajer, sembari kami mencari tempat makan malam di sekitar Batu melalui Google dan rekomendasi lain.
Tidak berapa lama, bel pintu kamar berbunyi, ternyata Adi sudah sampai. Belum sempat saya bertanya bagaimana perjalanan dari Jogja, Adi sudah lebih dulu cerita soal vila kosong itu.
Saat berjalan ke kamar, dia tidak pernah bisa memalingkan wajah dari vila itu. Ada seorang nenek-nenek dan sekelompok “pocica mocthar” yang memperhatikan Adi berjalan. Dan menurutnya, di kolam renang hotel ada mbak-mbak yang sedang mandi tapi tidak terlihat basah. Hotel ini memang perpaduan bangunan 90-an dan separuhnya bangunan baru, seperti kamar yang saya tempati. Jadi saya maklum saja kalau ada mbak-mbak yang sedang mandi tadi.
Dari pertama saya menulis soal hantu di Mojok, sudah saya jelaskan kalau tanpa disengaja saya dikelilingi oleh orang-orang yang peka dengan hal gaib. Salah satunya Adi. Saya tidak menghiraukan kata-kata Adi saat masuk kamar malam itu. Saya lalu mengenalkan Adi kepada sang manajer dan menjelaskan beberapa hal mengenai perjalanan mereka besok pagi ke Jogja.
Malam itu saya lewati dengan mulus. Tanpa gangguan. Seperti biasa, kalau hantu sekitar usil, maka mimpi saya akan sangat buruk, karena sudah pasti bertemu mereka dan seringnya berantem.
Cuma malam itu ada kejadian kurang menyenangkan. Tapi itu dialami oleh dua orang kru yang tidur di kamar lantai dua. Selesai makan malam, mereka kembali ke kamar dan berniat istirahat. Tidak lama setelah mereka masuk, bel kamar berbunyi. Mereka berdua lalu membuka pintu tapi tidak ada siapa-siapa. Salah satu dari mereka bahkan mendengar suara orang berlari beberapa saat setelah teror bel pintu kamar tadi.
Kami check out dari hotel, kru mulai memindahkan barang-barang dari mobil saya ke mobil Adi yang akan cabut dari Jawa Timur. Di lobi, saat proses check out, kru yang menginap di lantai dua membahas lagi kejadian bel itu. Adi yang mendengar malah menjawab; seharusnya semalam sekalian uji nyali, berdiri di depan pintu lalu melihat ke sekitar vila. Mungkin akan terjawab siapa yang memencet bel dan siapa yang berlari-lari di lorong kamar hotel.
Ketika meninggalkan Batu, saya bernapas lega. Paling tidak teror yang saya rasakan bakal selesai. Saya dan Pak Bos menuju Sidoarjo, menginap semalam di rumah salah seorang teman sebelum keesokan paginya berangkat ke Banyuwangi, Jawa Timur paling timur. Pikir saya, paling tidak cerita-cerita atau teror horor sudah berakhir.
Sayangnya, dugaan saya salah….
Teror di Banyuwangi
Sampai di rumah sahabat Pak Bos di Sidoarjo, di sebuah komplek perumahan yang luas milik sebuah developer ternama, saya langsung mengeluarkan peralatan mandi. Saya berniat untuk istirahat sebentar lalu mandi. Tiba-tiba, selera saya untuk mandi hilang. Panasnya Jawa Timur mendadak saya lupakan karena salah satu bagian rumah yang menurut saya bakal bikin teror lagi.
Jadi, saya sudah memilih untuk tidur di depan TV, dan Pak Bos pun setuju dia akan tidur di dalam kamar bersama sahabatnya. Tapi saya terganggu dengan ruangan yang berada di lantai dua. Tepat berada di atas ruang tv, di sisi kanan tv ada tangga spiral menuju lantai dua, yang difungsikan sebagai gudang, ada lampu, tapi tetap saja, namanya ruangan kosong yang lembab adalah lokasi ideal untuk para “imigran” singgah berteduh.
Saya mengamati tangga spiral itu dari bawah sampai ke atas. Untuk naik dan masuk ke atas, hanya ada celah selebar dua meteran dan hanya cukup dilewati satu orang. Sepertinya dulu itu hanya difungsikan sebagai tempat jemuran dan dimodifikasi menjadi gudang.
Perasaan saya mulai tidak nyaman….
Benar saja, saya bermimpi buruk. Malamnya, sesaat sebelum tidur, saya merasa sedang diperhatikan dari lantai dua melalui celah tangga tadi, seperti kepala orang yang melongo ke arah saya, hilang, lalu muncul lagi. Berlanjut ke mimpi, saya ditunggu oleh seorang laki-laki yang duduk di tangga spiral dan membelakangi saya.
Bodohnya di mimpi itu saya bertanya, “Anda siapa, penghuni rumah ini kah, atau ikut jalan-jalan dengan kami? Dari tol? Rungkut? Atau dari Malang?”
Dia diam.
Sesaat kemudian dia mengangkat dan menyilangkan tangan kirinya ke pundak kanan, hanya terlihat telapak tangannya yang melambai seperti menjawab pertanyaan saya tadi dan berkata, “Bukan.”
Saya lalu menjawabnya lambaiannya dengan berkata; “Oh, ya sudah, terima kasih. Saya mau tidur. Silakan kalau mau nonton tv dan merokok.”
Goblok, ya? Kok bisa saya berkata seperti itu.
Walaupun tidur tidak nyenyak dan terbangun beberapa kali di pukul dua dan empat, pagi harinya badan saya cukup fit untuk melanjutkan perjalan ke Banyuwangi. Kisah horor selesai di Sidoarjo. Untuk sementara. Karena sepulang dari Banyuwangi, kami berencana menginap semalam lagi di Sidoarjo sebelum kembali ke Jogja.
Sepanjang perjalanan dari Sidoarjo sampai ke Probolinggo, saya masih sedikit bertanya-tanya dalam hati. Siapa laki-laki yang saya lihat di mimpi malam tadi. Apakah benar penghuni lama, atau dia pengikut dari salah satu lokasi kami selama produksi? Saya pernah menjelaskan di salah satu tulisan saya kalau saya ini magnet. Selain magnet kepada lawan jenis, saya magnet juga buat hal gaib. Sedih.
Sebelum ke Banyuwangi, kami mampir di Situbondo untuk menjemput tiga teman Pak Bos. Jadi, total kami semobil ada enam orang. Saya bertiga dari Sidoarjo, dan tiga orang lagi berangkat bersama kami dari Situbondo.
Kami tiba di sebuah cottage yang letaknya persis di pinggir pantai sekitar pukul delapan malam. Kalau tidak salah arah, lokasinya ada di arah timur melewati Pelabuhan Ketapang. Tempatnya luas, cottage apik berdiri di tengah pohon-pohon kelapa yang sengaja ditanam. Jarak antar-cottage sekitar lima sampai 10 meter, jadi cocok sekali untuk yang berbulan madu dan liburan keluarga.
Kenyamanan area cottage mendadak hilang saat saya masuk ke dalam kamar. Mata saya langsung mengarah ke kamar mandi hotel. Pintu geser dua sisi dan interior kamar serta kamar mandi era 90an.
Kamar luas berukuran 6×7 meter dan menggunakan lampu berwarna kuning yang tidak terlalu terang di beberapa sisi kamar. Kami menyewa dua kamar dengan tambahan dua tempat tidur, masing-masing diisi tiga orang.
Kali ini saya tidur bersama Pak Bos dan sahabatnya dari Sidoarjo. Dari awal saya sudah tidak nyaman dengan kamar kami dan terutama kamar mandinya. Mau bertukar kamar dengan salah satu teman Situbondo tapi saya sungkan. Maklum, hanya supir, nanti dipikirnya saya tidak suka tidur sama Pak Bos.
Kami tidur agak cepat, sekitar pukul 10 malam, karena besok pagi kami akan menyeberang ke dua pulau di sekitar Banyuwangi. Saya tidur sekasur dengan sahabat Pak Bos. Saya sebenarnya mau memperingatkan, kalau saya mengamuk saat tidur, itu biasanya teror mimpi buruk dan kalau sampai saya meludah dan memaki-maki itu tandanya si hantu usil luar biasa. Amit-amit.
Benar saja, baru saja saya tertidur dan menyamping menghadap pintu kamar mandi, tiba-tiba seorang laki-laki gempal dengan wajah keras-kejam seperti Thanos keluar dari kamar mandi. Dia membuka dua sisi pintu geser kamar mandi, menengok lurus ke arah pintu kamar lalu mendadak memalingkan muka ke arah saya yang sedang memperhatikannya.
Kali ini mukanya sudah tidak seperti Thanos. Matanya melotot melihat saya dengan muka marah. Saya hanya diam, berusaha mengingat apakah sebelum tidur saya berdoa? Wajahnya yang semula biasa untuk ukuran hantu (menurut saya), kini diubah menjadi wajah kawan-kawan lama saya. Aneh.
Kalau dia bermaksud mengingatkan saya punya utang kepada kawan-kawan saya yang wajahnya ditiru tadi, rasanya tidak. Tapi memang wajah-wajah itu sudah lama sekali tidak saya temui. Lama-kelamaan wujudnya makin aneh. Terakhir dia berwujud seperti tokoh-tokoh jawara jaman dulu yang hanya menggunakan kaos putih dilapisi blazer/kemeja hitam dan celana tanggung hitam lengkap dengan sabuk berwarna keemasan. Tapi kali ini wajahnya diubah menjadi buruk; kulit mengelupas seperti melepuh lalu dikuliti, dengan bola mata yang kadang ada kadang bolong dan terlihat berwarna hitam.
Badan saya terasa kaku. Padahal saat itu saya berniat menendang dia masuk kembali ke kamar mandi saking kesalnya tidur saya diganggu. Mungkin karena tahu niat saya, dia begeser ke pojok kamar, dekat sofa di sisi kanan saya.
Bukannya duduk dia malah duduk jongkok menatap saya. Dengan badan yang masih terasa kaku, seperti kesemutan dari perut sampai ujung kaki, saya bertanya sambil menunjuk, “Kamu, ada apa? Apa marah dengan saya yang membawa ‘teman’? Kalau iya, maaf. Tidak maksud seperti itu dan saya tidak bisa membatasi gerak mereka mau kemana. Saya ini bukan anak indigo atau semacamnya, Pak….”
Kampret. Bukannya berkomunikasi, dia malah berdiri, berjalan cepat ke arah saya lalu menarik-narik kaki kanan saya seperti ingin menjatuhkan saya dari tempat tidur.
Kebiasaan buruk saya, nggak cuma di Jogja atau Jawa Timur atau mana saja, kalau sudah bertemu hal begini di mimpi, bukannya berdoa saya malah memaki-maki dan berusaha melawan teror itu. Efeknya bisa saya terbangun kaget, atau memukul area di sekitar saya. Apes kalau ada orang yang tidur di sebelah saya.
Untungnya, malam itu, seingat saya teror itu berakhir dengan saya menendang bagian tubuh Thanos KW tadi. Saya kemudian terbangun dengan jantung yang berdegup kencang dan melihat dua orang lain di kamar saya masih tertidur lelap. Bermaksud untuk cuci muka dan kencing, di kamar mandi malah saya merasa diawasi oleh sosok lain lagi di belakang saya.
Kamar mandi hotel itu sedikit lebih panjang dari ukuran kamar tidur. Di sisi sebelah kiri saat masuk, ada toilet duduk dan sekat kaca dan shower untuk mandi. Tepat di tengah ada wastafel yang lurus dengan pintu geser. Di sisi kanan ada area terbuka yang sebagian atapnya hanya menggunakan kawat jaring dan difungsikan hanya sebagai tempat menjemur handuk serta sirkulasi udara luar ruang.
Jarak antara toilet duduk yang berhadapan dengan area jemur handuk tadi mungkin sekitar lima meter. Penerangan hanya ada di sekitar toilet dan wastafel. Jadi kalau boker malam-malam lalu berhadap-hadapan dengan handuk yang digantung, lama kelamaan muncul halusinasi kalau handuk putih itu berwujud pakaian putih yang berdiri mengawasi kita yang sedang boker. Bokernya ya nanggung, nggak tuntas karena merasa diawasi. Saking merasa diawasi seperti itu, hari kedua saya memilih untuk menumpang boker ke kamar satunya yang menurut saya lebih friendly.
Kembali ke teror Thanos KW tadi. Saya terbangun dan mencuci muka di wastafel sembari menyelipkan doa agar istirahat saya kembali tenang. Balik ke kasur dan melanjutkan mimpi, ternyata tidak sesuai harapan juga.
Kali ini dari balik pintu geser yang dilapisi kaca buram dan sudah saya tutup rapat, ada bayangan seperti perempuan yang berjalan dari jemuran handuk menuju arah toilet. Saya tunggu agak lama, tapi tidak muncul lagi. Tidak berapa lama, suara flush berbunyi. Bangke. Saya terbangun lagi, duduk di pinggir tempat tidur dan masih tidak habis pikir kenapa malam itu saya sampai bermipi buruk dua kali.
Beberapa hari setelah teror itu, setelah saya sampai di Jogja, saya kembali mengobrol soal bel pintu hotel di Batu ke salah seorang kru. Di tengah obrolan soal hotel di Batu, dia pun menjelaskan kalau di hari kedua kami di Rungkut, saat menaiki tangga menuju kamarnya dia mendengar seorang laki-laki dewasa sedikit berteriak di belakangnya dan mengucapkan, “Heehhh!” Saya hanya tersenyum mendengar cerita itu, paling tidak, saya tidak mengalaminya seorang diri.
Sedikit catatan, beberapa hari sepulang dari Jawa Timur, salah satu kru masih kena teror ketika tidur di kos. Dia tidak bercerita secara detail bagaimana gangguannya.
(Catatan editor: ketika mengedit tulisan teror di Jawa Timur ini, beberapa kali layar laptop redup sendiri. Saran editor, minum air putih setelah membaca tulisan ini untuk menetralkan. Dari apa? Ya silakan diimajinasikan sendiri.)
BACA JUGA Dari Cepu Semua Berawal, Ketika Saya Jadi Magnet Makhluk Halus Hingga Detik Ini dan teror makhluk halus lainnya di rubrik MALAM JUMAT.