Walau ini bukan pertama kalinya mendaki berdua, tapi tetap saja ada sensasi takut. Ditambah lagi, katanya, Gunung Pulosari itu dikeramatkan warga sekitar. Pokoknya waktu itu pemahaman saya, apapun sesuatu yang dikeramatkan pasti nggak jauh-jauh dari hal mistis. Sempat awalnya saya pesimis. Tapi setelah memantapkan hati, saya berjalan dengan semangat.
Di awal perjalanan, jalur Saketi ini cukup banyak persimpangannya. Jadi, saya dan Bambang mengikat seutas tali rafia sebagai penunjuk jalannya. Mengikuti arahan tadi, saya dan Bambang sibuk melihat-lihat sekeliling kami. Jalurnya juga tertutup banget jadi agak sulit, ditambah kita berdua cukup nekat karena nggak pakai guide lokal. Mohon untuk tidak ditiru ya, teman-teman.
Setelah berjalan cukup lama, kami akhirnya sampai di shelter parigi atau shelter satu. Kami memang sengaja berjalan pelan karena menikmati alam sekeliling. Ditambah lagi medan tanahnya itu tanah merah sehingga licin. Jadinya kami harus ekstra hati-hati.
Kami harus terus ngobrol supaya rasa lelah ini tidak membuat mental saya ambruk. Entah, saya cepat jadi lelah. Betul-betul lelah karena sedari tadi terus menanjak. Estimasi sampai di shelter itu memakan waktu kurang lebih satu jam.
Di shelter, kami juga bertemu beberapa pendaki lainnya yang sepertinya hendak turun dari Gunung Pulosari. Karena kami benar-benar baru menjelajah ke gunung ini, jadilah saya ngobrol dan bertanya-tanya sebentar mengenai jalur ke arah puncaknya.
“Neng, sama akangnya, kalau mau naik nanti hati-hati kesasar ya. Kalau bisa lihat tanda yang ditinggalin sama pendaki-pendaki sebelumnya saja. Nanti kalau udah ketemu gubuk gitu, belok kiri ya Neng, jangan kanan,” ucap salah satu pendaki laki-laki yang keliatan berumur 30 tahunan.
Kami beristirahat cukup lama di sana dikarenakan tadi pagi kami belum sempat makan. Maka dari itu, saya dan Bambang berniat untuk mengisi perut terlebih dahulu. Saat itu hari juga semakin siang. Akhirnya kami melanjutkan lagi perjalanan.
Persimpangan yang rumit
Beberapa lama berjalan, benar saja kami mendapati sebuah gubuk. Saya ingat betul petunjuk pendaki tadi untuk belok ke kiri.
“Eh, eh tunggu,” kata Bambang sembari menarik daypack saya. Dia menahan saya dan dahinya sedikit mengkerut.
“Ini beneran jalan ini? Kok gue nggak liat jalan setapak dah,” Bambang ragu melihat jalur di sebelah kiri yang masih dipenuhi oleh dedaunan dan semak belukar.
“Lah tadi kata pendaki yang kita temuin itu bener anjir lewat kiri, udah ah jangan banyak mikir sulit-sulit. Liat noh langit udah mendung,” seru saya mengarahkan jari telunjuk saya ke arah langit.
Cuaca mulai tidak bersahabat. Maka, buru-buru, saya dan Bambang tetap melanjutkan perjalanan. Saya sih sudah mengira ini pasti di tengah jalan bakalan turun hujan.
Hujan deras
Benar saja, ketika sampai di area hutan bambu, hujan turun tiba-tiba dan cukup deras hingga menghalangi pandangan kami. Ditambah di sekitar sana juga tidak ada tempat beristirahat atau berteduh. Saya langsung buru-buru mengeluarkan jas ujan. Sialnya, resleting daypack saya macet di saat genting. Jadi ya selama perjalanan nanti saya harus mengenakan pakaian basah.
Saat di area hutan bambu ini, kami sebenarnya agak cukup bingung dengan jalannya. Kenapa bingung, karena jujur ini persimpangan dan jalurnya itu cukup banyak membuat kami berdua harus lebih fokus, lebih ekstra mencari-cari tanda di tengah lebatnya hujan. Air hujan yang mengeroyok membuat pandangan mata menjadi terbatas. Suara hujan cukup deras membuat saya harus berteriak ke Bambang.
“Woy, ini gimana nih, gue belum nemu-nemu itu tanda jalannya,” ucap Saya berbicara cukup kencang. Bambang pun masih celingak-celinguk mencari tanda arah jalan hingga kami cukup lama mengelilingi hutan bambu itu. Singkatnya kita ini tersesat, karena sedari tadi kita selalu balik di tempat yang sama.
“Wah anjir gimana ya, coba deh bentar gue cari dulu. Lo tunggu sini,” kata Bambang yang sepertinya dia niat mencari tanda arah jalan sendirian meninggalkan saya di tengah bambu-bambu yang menjulang tinggi ini. Sontak saja saya menarik tangannya, hingga badannya sedikit tertahan. Bambang pun langsung menatap saya dan bertanya.
Nyali saya menciut
“Kenapa? Takut lo?” Tanya Bambang menebak saat melihat gelagat dan raut wajah saya yang agak sedikit takut.
“Lo tau kan, udah gue ikut aja. Gamau gue sendirian.” Pungkas Saya yang akhirnya berjalan mengikuti dia sembari memegang tali yang terikat di carrier miliknya. Kami berdua berusaha untuk mencari jalan dan juga tanda arah.
Ketika melihat sekeliling, saya jadi teringat kejadian di Alas Purwo waktu itu, di mana paman dan Dinda yang tiba-tiba menghilang secara misterius di hutan bambu. Semoga saja kali ini saya tidak perlu mengalami kejadian yang sama.
Saya dan Bambang merasa sudah terlalu lama di area itu. Melihat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, berarti kami udah dua jam berputar-putar di hutan bambu. Lama-lama saya jadi semakin emosi karena pertama lelah, ditambah mengenakan pakaian basah itu sama sekali tidak nyaman.
Lemparan batu dari belakang
“Hadeh, ini kenapa sih gue kadang suka begini. Salah gue apa sih? Perasaan tersesat mulu, eneg lama-lama,” ucap saya yang jujur menyesali keadaan ini. Tidak seharusnya saya ngomong sembarangan seperti itu. Bambang pun hanya diam dan masih fokus mencari tanda arah hingga hujan agak sedikit reda.
Setelah agak reda, kami baru bisa menemukan tanda jalan (panah berwarna biru) yang berada di batang pohon yang tumbang. Ketika kami hendak melewati jalan itu, saya merasa ada sesuatu yang melempar ke arah kami dari belakang. Sontak saja saya nengok ke belakang, tapi tidak mendapati apa-apa. Tanpa disadari, ternyata hal itu yang menjadi awal petaka bagi kami berdua.
BERSAMBUNG….
BACA JUGA Ekspedisi Alas Purwo: Lembut Suara Gamelan Menjadi Tabir Rahasia Gelap Alas Purwo dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno