Malam Jumat: Cerita Horor dari Alas Purwo dan Pulosari yang Dibongkar Simbah Putri (Bagian 2)

Simbah menjelaskan kalau saya adalah “anak bertulang manis”. Intinya, dari penjelasan simbah, sejak lahir, saya disukai oleh makhluk halus. Jadi, yang simbah maksud oleh-oleh adalah makhluk halus yang mengikuti saya dari Alas Purwo dan Gunung Pulosari.

Malam Jumat: Cerita Horor dari Alas Purwo dan Pulosari yang Dibongkar Simbah Putri MOJOK.CO

Ilustrasi Malam Jumat: Cerita Horor dari Alas Purwo dan Pulosari yang Dibongkar Simbah Putri. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COCerita horor di Alas Purwo dan Pulosari dibongkar oleh simbah putri. Ini salah satu kisah Malam Jumat yang paling berat untuk saya tulis.

Baca dulu bagian 1 di sini: Bisikan yang Menghantui Sebuah Desa mirip KKN Desa Penari (Bagian 1)

Cerita horor ini dimulai dari dalam kamar rumah simbah. Ini salah satu kisah Malam Jumat yang bikin dada ini terasa sesak.

Lagi-lagi, saya tidak bisa langsung tidur. Lelah yang membuat mata ini tak mau terpejam. Makanya, saya hanya bisa sibuk memandangi langit-langit kamar. Rumah ini benar-benar terasa sepi batin saya. Menjelang Maghrib, apalagi kalau hujan seperti ini, tidak akan ada aktivitas warga.

Karena bosan, saya membuka jurnal dan mulai menulis lagi. Begitu jurnal saya buka, hawa dingin terasa menusuk tengkuk saya. Rasa tidak nyaman datang tanpa diundang.

Hawa dingin itu juga seperti memaksa saya untuk menengok. Tepat saat itu, suara bisikan yang mulai terasa akrab terdengar lagi. Sumber bisikan itu dari luar kamar. Suara yang pelan, lembut, dan seperti menghipnotis. 

Kisah Malam Jumat yang terasa berat

Saya memejamkan mata, namun malah semakin menjadi. Pada akhirnya saya bergegas menutup jurnal dan bangkit dari tempat duduk. Saya berusaha untuk tenang walaupun sudah ketakutan setengah mati dan tidak mau cerita horor yang lalu terulang kembali. 

Saya berjalan menuju ruang tamu di mana keluarga saya sedang berkumpul. Mata saya sedikit bisa melirik arah jendela kamar. Sekilas saya melihat sosok berdiri di sana. Kaget, saja memilih berlari sekuat tenaga. 

Melihat saya yang terengah-engah, pakdhe menanyakan kenapa saya seperti orang terburu-buru. Saya hanya melayangkan senyum palsu, berusaha terlihat baik-baik saja. Padahal saya tahu, cerita horor masa lalu seperti berkelebatan dalam benak saya.

Sesampainya di ruang tengah, saya duduk di lantai, tepatnya di sebelah kakak. Saya mengatur napas dan menyeka keringat di kening. Kakak saya berbisik di telinga saya.

“Kamu diganggu lagi, ya?” Tanya Kakak saya yang seakan itu sudah menjadi hal yang biasa baginya. 

“Diganggu apa, ya? Nggak ada yang ganggu, kok. Cuma tadi emang buru-buru ke sini.”

“Nggak usah ngeles. Kayak sama orang lain aja.”

Saya menjawab dengan mengangguk pelan. Kakak saya memberi isyarat untuk diam saja. Tapi tetap saja, saya merasa tidak nyaman akhir-akhir ini. Rasa deg-degan dan bisikan yang hilang-timbul membuat saya jadi parno sendiri apalagi kalau lagi sendirian. 

Cerita horor yang mengikuti

Malam itu, sekitar pukul 11 malam, kami mengakhiri obrolan di ruang tamu dan bersiap untuk istirahat.

Ibu lebih dulu menuju kamar dan saya mengikuti dari belakang.

“Agnes.”

Suara simbah itu memanggil nama saya. Saya menengok ke arah beliau yang masih duduk di kursi kayu tua.

Nggih, Mbah. Ada apa?”

“Duduk dulu sini, Nduk,” ucapnya pelan

Entah kenapa rasanya saya agak sedikit takut. Seperti ada tekanan di sekeliling ruangan ini. 

Saya duduk di kursi, berhadapan dengan simbah. Kalau diperhatikan, simbah ini cantik banget, ya. Mungkin definisi wanita Jawa yang anggun itu cocok untuk mendeskripsikan simbah putri. Pembawaannya yang tenang dan tidak banyak omong membuat banyak orang segan dengannya, termasuk saya.

Oleh-oleh dari cerita horor di Alas Purwo dan Pulosari

“Ada apa, Mbah?” Tanyaku lagi

Simbah tidak menjawab. Dia masih mengaduk-aduk kopi hitam panas yang sudah disediakan oleh pakdhe. Setelah menyeruput kopi hitam itu, simbah menatap saya  tajam-tajam.

“Kamu bawa oleh-oleh lagi dari gunung?” 

Pertanyaan simbah putri langsung membuat saya kaget. Dalam hati saya berpikir, saya tidak pernah menceritakan pergi ke gunung akhir-akhir ini kepada keluarga. 

“Maaf Mbah. Aku nggak paham. Aku nggak bawa oleh-oleh dari gunung.”

Saya menjawab dengan agak terbata-bata. Saya malah khawatir dimarahi karena nggak bilang ibu kalau naik gunung.

Simbah putri tersenyum, lalu tertawa kecil. Setelah itu simbah menjelaskan kalau saya adalah “anak bertulang manis”. Intinya, dari penjelasan simbah, sejak lahir, saya disukai oleh makhluk halus. Jadi, yang simbah maksud oleh-oleh adalah makhluk halus yang mengikuti saya dari Alas Purwo dan Gunung Pulosari.

Diusir simbah

Ketika saya diam saja, ya karena bingung mau merespons apa, simbah putri beranjak dari kursi dan menghampiri saya. Simbah menepuk pundak kiri saya. Pelan saja tepukan dari simbah.

Setelah itu, saya bisa mendengar simbah seperti merapal sesuatu. Tiba-tiba saja badan saya jadi sangat berat. Sedetik kemudian, saya memuntahkan isi perut. Cukup banyak.  

Simbah seperti tidak peduli saya muntah. Saya masih bisa mendengar simbah merapal dalam Bahasa Jawa halus yang tidak bisa saya pahami. Lama-lama, suara simbah terdengar seperti sedang mengobrol.

Selain suara simbah yang terdengar halus, samar-samar ada suara geraman. Suara itu seperti merespons, atau mungkin menjawab, dari kalimat-kalimat yang diucapkan simbah.

Setelah semuanya selesai, simbah putri meminta pembantunya untuk membersihkan muntahan saya. Sementara itu, saya hanya bisa duduk bersandar di kursi. Lemas. Rasanya ingin segera rebahan.

“Mbah, itu tadi aku kenapa? Abis ditepuk begitu tiba-tiba muntah.”

“Ada yang ngikut kamu. Agak sedikit ganggu. Lebih baik Mbah minta dia pergi.”

“Waduh, kok serem, sih. Aku nggak tahu selama ini ada yang ngikut.”

“Kamu bukannya nggak tahu, tapi tidak pernah ingin tahu. Sudah, sekarang tidur,”

Saya manut dan bergegas kembali ke kamar. Setelah tadi sangat berat, sekarang badan saya agak sedikit enteng. Malam itu saya tidur nyenyak sekali.

Bu Sar yang gusar

Keesokan paginya, saya dan kakak diajak pakdhe berkeliling desa. Kami berjalan kaki sembari menikmati sejuknya pagi di pedesaan dengan pepohonan rimbun. Cerita horor tadi malam seperti tersapu hilang. Namun, tetap saja, menuliskan kisah Malam Jumat ini tetap agak berat.

Saya mengangkat tangan tinggi-tinggi, meregangkan tubuh dan menghirup udara segar yang sangat jarang saya rasakan. Pakdhe sibuk menerangkan ini dan itu hingga suatu ketika saya melihat Bu Sar sedang memunguti buah-buah yang berserakan di tanah.

Melihat itu, saja tergerak untuk menghampiri dan membantunya. Kehadiran saya yang memang agak tiba-tiba membuat dia kaget. Mungkin dia agak marah karena kaget. Bu Sar jadi ngomong sendiri.

Saya sendiri nggak terlalu mendengarkan omongan Bu Sar. Selain nggak paham, saya memilih fokus memungut buah-buahan dan memasukkannya ke dalam keranjang milik Bu Sar. 

Saya tersenyum dan menawarkan bantuan membawakan keranjang buah beliau. Tapi sayangnya, niat baik saya ditolak mentah-mentah. Tatapan sinis dan tajam membuat saya jadi agak sedikit kesal. Ya, saya pikir, sudah dibantu tapi malah disinisin itu nggak enak banget, sih. 

Bu Sar pun pergi meninggalkan saya begitu saja. Dia berjalan menuju hutan di luar desa. Pakdhe yang melihat itu segera menghampiri dan menanyakan ada apa. 

Saya menjelaskan tadi sempat membantu Bu Sar, tapi sepertinya beliau marah karena hal itu. Pakdhe menepuk pundak saya dan menjelaskan memang begitu sifat Bu Sar. Jadi, pakdhe meminta untuk saya memakluminya. 

Air terjun

Ya sudah, kami memilih untuk pergi ke ladang pertanian saja. Di sana ada sebuah saung kecil untuk beristirahat. Jarak dari pedesaan sampai ke ladang itu lumayan jauh sih. Di sana Pakdhe masih sibuk menjelaskan tentang desa.

Perhatian saya malah tertuju ke sebuah jalan kecil dengan sebuah petunjuk arah. Di papan itu tertulis “Air Terjun”. Saya penasaran dan ingin dijelaskan oleh pakdhe. Malam Jumat bakal lebih seru, pikir saya waktu itu.

Raut muka pakdhe langsung serius. Dengan singkat, pakdhe menjelaskan bahwa di sana memang ada air terjun kecil. Dulu, air terjun itu dipakai untuk ritual pesugihan. Namun, karena sudah dipercaya sebagai tempat keramat dan jalur menuju air terjun itu berat dan berbahaya, pakdhe meminta saya dan kakak tidak sembarangan menuju ke sana.

Mendengar hal itu saja, saya dan kakak langsung sepakat untuk tidak mau coba-coba. Namun, ketika hendak balik pulang, bisikan itu muncul lagi. Saya tahu bisikan itu berasal dari jalan menuju air terjun. Sayangnya, setelah saya amati, tidak ada orang di jalan itu.

Anak kecil di tepi hutan

Kalimat simbah putri terpanggil lagi. Kalau saya memang disukai oleh makhluk halus, mending saya cepat-cepat pergi dari tempat itu. Saya nggak mau ketemu yang aneh-aneh. Lagian pakdhe harus segera pulang dan meluncur menjemput Uncle Jack. Saya langsung mengajukan diri untuk menamani.

Selama perjalanan, pakdhe sibuk menyetir dan saya sibuk makan cemilan. Karena bosan, saya coba menyalakan radio di mobil tapi ternyata masih belum ada sinyal. Jadilah saya matikan lagi radio tersebut.

“Bosan ya. Kok lama banget sih, Pakdhe?”

“Ya mau gimana, soalnya jalanannya begini kan jadi mesti hati-hati daripada nanti jadi malah membahayakan kita.”

Makanya saya hanya bisa memandangi pepohonan yang tingginya hampir sama terus menerus hingga saat itu saya sekelebat melihat sosok anak kecil berdiri di pinggiran jalan. Sekali lagi, saya dikagetkan dengan hal-hal tidak terduga.

“Eh!”

Mata saya segera mengikuti alur pinggir jalan yang kami lewati. Namun, saya nggak melihat anak kecil di sana. Setelah itu, saya menyandarkan punggung dan bengong. Waktu itu, saya berpikir kalau hidup saya memang disesaki cerita horor. Sebuah bumbu Malam Jumat yang sebetulnya menggugah untuk terus saya tulis.

“Kamu kenapa, Nes? Tiba-tiba bengong.”

“Enggak, Pakdhe. Cuma tadi kok aku kayak liat anak kecil di pinggiran jalan, deh.”

“Masa iya? Ini tengah hutan. Nggak ada desa dekat sini. Nggak mungkin ada anak kecil.”

“Tapi tadi beneran lihat. Tapi pas mau mastiin malah nggak ada.”

Pakdhe tidak menyahut dan hanya diam. Suasana yang hening itu membuat saya jadi tidak nyaman.

Akhirnya, Uncle Jack

Siang harinya kami sudah sampai di kota. Uncle Jack bersama keluarganya sudah menunggu di sana. Saya bergegas keluar dari Mobil dan menyambut Uncle Jack dengan senang. Sudah agak lama kami nggak ketemu karena paman sibuk banget.

Maka jadi sudah, di dalam mobil, paman cerita pengalamannya di berbagai negara. Termasuk soal Maharani, anaknya yang baru saja menyelesaikan tesis.

“Wah, Maharani ambil S2 jurusan apa?” 

Maharani itu pendiam banget. Jadi kalau kumpul keluarga susah banget buat diajak ngobrolnya.

“Aku ambil S2 Antropologi, Mbak,” jawab Maharani dengan wajah datarnya. 

Rasanya kayak ngobrol sama kakak kalau berhadapan sama Maharani. Sebagai informasi, Maharani adalah anak akselerasi. Usianya masih 21 tahun, tapi sudah mau kelar S2. Memang level otak kami beda banget. Isi otak Maharani adalah belajar, kalau saya isinya cerita horor untuk Malam Jumat hahaha.

Sedikit tentang keluarga Uncle Jack 

Pembaca tentu masih ingat Uncle Jack. Silakan baca kisah saya di Alas Purwo kalau lupa. Nah, Uncle Jack ini punya istri, namanya Aunty Salma. Mereka anaknya ada dua, yang pertama Maharani terus yang kedua namanya Ezhar. 

Saya sendiri lebih dekat dengan Maharani, meski dia agak ngirit bicara. Di mobil, kami membahas soal kultur di Indonesia. Pembahasan yang agak berat, tapi untung saja kami satu frekuensi.

Anak kecil bertangan buntung

Ketika sampai jalur hutan menuju rumah simbah putri, lagi-lagi saya melihat anak kecil yang tadi. Tapi entah kenapa kok saya melihat anak kecil itu tidak sama seperti tadi. Penampakan yang saya lihat kali ini cukup mengerikan. Anak kecil itu persis berdiri di tempat yang tadi dan kali ini terlihat berdarah-darah dengan tangan buntung. 

Saya mengucek-ucek mata, memastikan bahwa sosoknya nyata. Ketika saya melihat lagi, anak kecil tersebut menunjuk ke arah timur, tepatnya ke air terjun. Kali ini, cerita horor di film KKN Desa Penari yang saya ingat.

Saya masih ingat saat itu mengucap sesuatu tanpa sadar. Saya meminta pakdhe berhenti.

“Pakdhe. Berhenti.” Saya sendiri kaget dengan kalimat tegas itu.

Pakdhe yang kaget langsung menginjak rem dan memelankan mobilnya. Semuanya heran. Saya berusaha menjelaskan soal penampakan anak kecil di sana.

Lagi-lagi pakdhe tidak mau menjawab. Dia juga enggan menghentikan mobilnya.

“Nggak, Nes. kita harus jalan terus. Hari sudah semakin sore, kita nggak boleh lama-lama di hutan. Bahaya!”

Pakdhe yang ikut gusar

Uncle Jack hanya terdiam, penumpang yang lainnya juga diam. Mungkin, mereka menganggap saya sebagai orang aneh. Setibanya di rumah, pakdhe bergegas mengangkut barang bawaan Uncle Jack ke dalam rumah dan setelah itu dia izin untuk istirahat karena lelah. Ada apa sih dengan pakdhe? Jangan-jangan dia marah lagi sama kejadian tadi?

Simbah menyambut hangat kedatangan Uncle Jack dan kami masuk. Tak lama, Magrib tiba.

Lantaran sedang datang bulan, jadilah saya tidak ikut salat berjamaah di ruangan khusus untuk ibadah. Saya hanya duduk sendiri di ruang tamu sembari minum segelas teh panas dan membaca buku. 

Kehilangan kesadaran

Iya, tadinya suasana sepi dan menyenangkan. Namun, kembali lagi, bisikan itu datang mengganggu. Kali ini saya mendengar suara perempuan sedang menyinden. 

Suara itu seperti merasuk ke dalam otak saya. Membuat pandangan saya jadi buram. Saya seperti mengalami trans dan susah mengontrol diri sendiri. Saya baru tersadar ketika ibu saya menggoncang-goncang bahu saya. Ini bukan lagi cerita horor untuk bumbu Malam Jumat di Mojok.

“Hey, Nduk! Agnes! Sadar, Nak!”

Suara teriakan ibu mengembalikan kesadaran saya. Saya tidak ingat waktu itu beranjak dari kursi, berjalan ke belakang, dan berdiri menatap pohon beringin.

Teriakan ibu membuat seisi rumah bergegas menghampiri saya di teras belakang. Uncle Jack bertanya, tapi saya tidak mampu menjelaskan.

Ketika melirik ke arah pintu, saya mendapati pakdhe menatap saja dengan tatapan tajam. Setelah itu, dia membuang muka dan pergi dari sana. 

Entah, kali ini sensasinya berbeda. Seperti ada tekanan yang mengontrol saya. Saat itu, saya gemetaran hebat.

Simbah sudah tahu

Simbah yang dari tadi diam, langsung menggamit lengan saya. Dia mengajak saya masuk ke ruang tengah. Simbah juga yang membantu saya duduk, menyuapi saya air hangat, dan menenangkan saya. Berkali-kali simbah menegaskan kalau semua akan baik-baik saja. Dia seperti tahu kalau saya tiba-tiba jadi linglung.

“Mbah, saya mau cerita,” kata saya. Saya ingin menceritakan semua. Tentang Alas Purwo, Gunung Pulosari, sampai anak kecil di hutan.

Entah kenapa simbah melarang saya bercerita. Dia bilang, “Nggak perlu, Nduk. Simbah sudah tahu,” jawabnya dengan suara lembut yang entah kenapa terasa menenangkan.

Sayangnya, dorongan untuk cerita sangat besar. Simbah putri menatap saya dengan matanya yang sayu. Tatapan yang seperti bilang, “Tidak sekarang.”

Trauma yang terpanggil?

Uncle Jack sepertinya paham dengan makna tatapan simbah. Setelah itu, paman mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana.

Namun, jantung saya malah berdetak lebih cepat. Seperti ada dorongan untuk minta tolong. Saya juga merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu di luar nalar. Bukan lagi cerita horor untuk bumbu Malam Jumat di Mojok.

Mungkinkah kali ini saya harus belajar untuk mengalahkan trauma masa lalu dan rasa takut saya?

BERSAMBUNG….

BACA JUGA Trauma yang Tersimpan di Kota Tangerang (Bagian 1) dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik horor khas Mojok.

Penulis: Agnes Putri Widiasari

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version