Liburan Gaib, Teror di Thailand Berlanjut Tangis di Jogja

Terima kasih untuk Cici, El, dan Lia yang sudah mengizinkan saya menulis ini bahkan tanpa harus susah-susah memikirkan nama samaran untuk kalian

Liburan Gaib, Teror di Thailand Berlanjut Tangis di Jogja MOJOK.CO

Ilustrasi Liburan Gaib, Teror di Thailand Berlanjut Tangis di Jogja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Empat hari piknik ke Jogja malah berubah jadi liburan gaib. Teror yang seakan-akan dibawa dari Thailand, menjadi tangis di Kota Gudeg.

Setelah sekian lama tidak menerima pekerjaan sebagai supir wisata, akhirnya, 4 Juli 2022 kemarin saya mengiyakan sebuah tawaran dari teman saya di Tangerang. Dia berencana akan menghabiskan cuti di Jogja selama empat hari. Namanya Cici, gadis belia yang sedang sibuk mencari pasangan karena lelah menjomblo cukup lama.

Bersama Cici, ada dua orang sahabatnya yang juga ikut liburan, namanya El dan Lia. Mereka bertiga bekerja di sebuah bank swasta di Jabodetabek. Secara kebetulan, pengajuan cuti mereka diterima bersamaan dan akhirnya bisa liburan ke Jogja. Sebuah perjalanan yang malah berubah jadi liburan gaib.

Saya menjemput mereka di Stasiun Lempuyangan, di tengah kemacetan Jogja yang tanpa saya sadari sedang memasuki waktu liburan sekolah. Jogja, yang lalu lintasnya sudah tidak semenyenangkan dibandingkan beberapa tahun belakangan, semakin sesak dengan kendaraan dan membuat beberapa orang yang anti akan kemacetan seperti saya, mulai merasakan pusing karena harus mengantri traffic light berkali-kali dengan durasi yang cukup lama.

Setibanya di Lempuyangan, rasa pusing saya semakin menjadi karena ramainya orang yang keluar dari stasiun. Saat itu pukul tujuh malam. Jam sibuk untuk sebuah stasiun kereta kelas ekonomi dan saat kereta jarak jauh silih berganti berdatangan dari berbagai kota.

Area sisi barat Stasiun Lempuyangan sudah seperti pasar remang-remang karena penerangan jalan yang tidak terlalu baik. Bahkan kamu akan sulit membedakan mana manusia, mana hantu yang kebetulan lewat karena bentuknya tidak jelas kalau dilihat dari kejauhan. Untungnya, cahaya lampu dari warung-warung pinggir jalan cukup bisa membantu melihat sekilas wajah-wajah orang yang lalu-lalang. 

Telepon genggam saya berdering, beberapa menit setelah saya tiba di Lempuyangan. Lia menghubungi saya dan mengabarkan bahwa kereta mereka sudah sampai. Karena mobil saya tidak terparkir dengan benar akibat area parkir penuh, dan harus berhenti menutupi mobil lain yang sedang parkir, saya meminta mereka jalan keluar dan mengatakan kalau saya akan menunggu di pinggir jalan, di dekat lampu mobil yang menyala, di sebelah kanan dari arah pintu keluar.

Sekitar lima menit kemudian, terlihat Cici melambaikan tangan dari kejauhan dan saya membalasnya. Masih bercampur pusing sisa kemacetan tadi, saya memperhatikan puluhan orang yang jalan kaki, ada yang menyeberang menemui jemputannya, ada penumpang yang sedikit berlari lalu memeluk yang menjemput di pinggir jalan, ada ibu-ibu yang langsung sibuk membagikan oleh-oleh kepada penjemputnya, dan Cici yang berjalan diikuti tiga orang lagi di belakangnya.

Beberapa detik kemudian saya tersadar, Cici liburan ke Jogja bertiga, dan itu sudah termasuk dirinya. Dan inilah awal liburan gaib yang berlangsung selama tiga malam.

Saya berjalan ke belakang mobil untuk membuka bagasi dan bersiap memasukkan koper mereka. Di belakang mobil, saya berkenalan dengan dua teman Cici yang ikut liburan, El dan Lia. Saya mengernyitkan dahi, merasa ada yang aneh. Kami pun segera menaiki mobil karena saya meminta mereka untuk cepat-cepat pergi dari situ, keramaian di sekitar semakin membuat saya mual dan tidak nyaman.

Mobil kami sudah melewati kolong fly over Lempuyangan dan pembicaraan awal antara saya, El, dan Lia dimulai selayaknya orang yang baru saja kenal. Sementara itu, Cici sibuk memainkan gajetnya sambil sesekali nimbrung obrolan kami.

Malam itu, keluhan pertama yang keluar dari mulut mereka bertiga adalah, “Kami lapar, Mas, mau makan!” 

Kami sepakat untuk menuju angkringan Kedaulatan Rakyat di Jalan Mangkubumi. Mereka sudah lama tidak makan sate-satean dan nasi sambal teri ala angkringan.

Di tengah makan malam dengan pemandangan ramainya Jalan Mangkubumi karena musim liburan, kami membahas rencana beberapa hari ke depan, tempat-tempat wisata di sekitar Jogja mana saja yang bisa kami datangi selain nama-nama lokasi yang dimasukkan ke dalam itinerary yang saya buat. 

Namun, di dalam hati, saya masih menyimpan sedikit pertanyaan. Tadi, saat mereka keluar dari stasiun, rasanya saya melihat mereka berjalan berempat di tengah-tengah keramaian. Saya membatin mungkin itu penumpang lain yang secara tidak sengaja berjalan ke arah mobil saya. Mungkin sedang mau liburan ke Jogja saja.

Lalu saya berpikir lagi. Dari awal kan Cici sudah bilang datang bertiga, kenapa saya berpikiran mereka berempat? Dan saya masih memperhatikan orang keempat itu berjalan mendekat bersama mereka ke arah saya sebelum akhirnya saya membalikkan badan dan menuju ke bagian belakang mobil untuk membuka bagasi.

Tapi kenapa setelah saya menengok ke arah mereka bertiga, yang sudah berada di sebelah kiri mobil, orang keempat itu sudah tidak terlihat. Apakah mobilnya ada di dekat kami? Apakah penjemputnya ada di dekat kami atau dia pergi menyeberang jalan dan secara kebetulan menyeberang tepat di dekat saya memarkir mobil.

Lalu kenapa saya merasa aneh dengan orang keempat itu? Situasinya kira-kira seperti ini: 

Dia berjalan lurus, padahal dari arah keluar pintu stasiun ramai sekali dan meskipun dari kejauhan pasti akan terlihat bagaimana gesture tubuh orang yang menerobos keramaian, dan kenapa saya tidak begitu jelas memperhatikan bajunya agar ingat ke mana arah orang itu, sementara saya melihat jelas warna pakaian yang digunakan oleh Cici, Lia, dan El.

Malam itu, di tengah ramainya Jalan Mangkubumi, saya sibuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka bertiga tentang tempat liburan yang akan kami datangi. Sementara itu, beberapa persen pikiran saya masih bertanya apakah kejadian di stasiun tadi memang janggal atau saya yang terlalu berlebihan? 

Entahlah, yang jelas, selama beberapa hari ke depan, saya juga mengendarai kendaraan legendaris (bagi saya), yaitu Avanza Veloz yang “dimiliki” oleh Ida. Masih ingat “Ida”, kan?

Hari Selasa pagi, saya sudah berada di penginapan mereka di daerah Seturan, dekat Babarsari, di Kabupaten Sleman. Secara kebetulan juga, di malam mereka tiba, siangnya baru saja terjadi kericuhan di daerah Babarsari yang sampai membuat salah satu ruko terbakar. Bagi kalian yang sudah hafal Jogja tentu tahu kalau jarak antara Babarsari dan Seturan sangat dekat. Seandainya malam saat mereka datang kericuhan masih berlangsung, mungkin saya akan menyarankan untuk pindah penginapan.

Setelah berkumpul, kami berangkat menuju tempat wisata pertama: Borobudur. Sesekali kami membahas kejadian di Babarsari yang menyambut kedatangan mereka di Jogja. Sepanjang perjalanan, saya mulai semakin akrab dengan Lia dan El. Bercandaan semakin terasa tidak malu-malu. 

Namun, ada rasa yang mengganjal saat itu. Lia seperti memiliki mood yang naik turun, dari hal sepele soal salah pilih tempat duduk yang seharusnya dia duduk di kanan malah duduk di kiri dan akhirnya protes kepada El. Cici yang duduk di depan sampai mengatakan untuk bertukar tempat saja daripada ribut selama perjalanan.

Hari itu kami lewati dengan berkunjung ke beberapa tempat. Selain Borobudur, kami juga mendatangi Kaliurang, Kopi Klotok, HeHa, Pinus Pengger, dan berakhir dengan makan malam di Raminten Kota Baru.

Keanehan kedua saya rasakan malam itu. Lia buka suara tentang ketakutannya terhadap kegelapan. Bukan yang gelap banget, tapi misalnya gelap di jalanan pedesaan dengan lampu jalan yang tidak begitu terang dan berjarak. 

Lia menjelaskan bahwa trauma akan gelap terjadi karena keisengan teman-temannya. Dulu, Lia sering jadi sasaran bullying teman-temannya hanya karena takut akan gelap. Sejak saat itu, Lia jadi tidak nyaman dengan kondisi tersebut.

Saya, Cici, dan El terus mendengarkan dia yang keberatan apabila kami datang ke tempat gelap, seperti yang kami alami di Pinus Pengger dan saat kami meninggalkan area Pinus Pengger menuju Raminten Kota Baru. Lia kembali bertanya, apakah di Raminten ada benda-benda aneh atau apa saja yang tidak membuatnya nyaman? 

Saya menjawab ada, misalnya patung Raminten yang sering dibuat sebagai spot foto pengunjung. Lia lalu menambahkan lagi, selain gelap, dia juga ada masalah dengan benda-benda mati seperti wayang, patung, dan benda mati lain yang menyerupai manusia.

Saya mulai berusaha menarik benang merah dari beberapa kejadian yang saya alami bersama mereka. Mulai dari Stasiun Lempuyangan hingga terakhir yang baru saya sadari saat menulis ini, saat berada di Pinus Pengger. Hanya Lia yang tidak ikut foto di spot terkenal di area itu. Alasannya sudah tentu soal ketidaknyamanannya di area gelap. Bahkan saat kami masuk gerbang Pinus Pengger dan naik ke beberapa spot di dalam area, Lia terus menyalakan senter hape.

Saat saya sedang kelelahan karena jalan menanjak sejak masuk area itu, saya membiarkan Cici dan El sibuk mengantre untuk dapat jatah foto oleh pemandu Pinus Pengger. Maklum, banyak juga orang liburan ke sana. Sementara itu, saya duduk di dekat Lia. 

Entah ini halusinasi karena kelelahan atau nyata adanya. Sesaat saya melihat “si orang keempat” lewat di jalan setapak, tepat di belakang saya dan Lia duduk menunggu dua orang temannya berfoto.

Setelah melihat “si orang keempat” itu, sepersekian detik kemudian saya mengalihkan pandangan ke Lia, lalu ke dia lagi. Saya melihat “si orang keempat” sudah berjalan cukup jauh, menuju area toilet di area itu.

Dandanannya seperti seorang wanita paruh baya yang bukan berasal dari kota metropolitan, untuk tidak dibilang modern, tapi tahu fashion. Warna pakaiannya terlihat seperti abu-abu muda di bawah sinaran lampu taman berwarna kuning di Pinus Pengger.

Saya yang masih terengah-engah sambil membuka kancing baju flanel karena kepanasan merasa ada yang janggal. Sambil mengisap dalam-dalam sebatang rokok yang saya bakar, perlahan orang itu semakin menjauh bersamaan dengan datangnya rombongan wisatawan lain yang menuju spot tempat kami menunggu malam itu.

Saya menyudahi perasaan janggal itu dengan sibuk memperhatikan orang-orang yang sedang mengantre dan sibuk bergaya di depan kamera, sambil sesekali saya mengajak Lia berbicara. Posisi duduk kami agak jauh karena saya sedang merokok dan tidak lurus sejajar dengan Lia. Itu sebabnya saya bisa melihat siapa saja yang kebetulan lewat di belakang Lia.

Kami tiba di Raminten Kota Baru sekitar pukul delapan malam dan harus mengantre lagi karena penuhnya orang liburan malam itu. Di kursi antrean depan, sambil menunggu nama kami dipanggil, saya kembali bertanya kepada Lia dan kali ini kami fokus bicara berdua.

Lia masih terlihat malu menjelaskan soal pengalaman gaib yang pernah dialaminya selama ini. Salah satu yang masih membekas di ingatan Lia adalah kejadian aneh yang dialaminya saat dia sedang study tour ke Thailand. Dan, liburan gaib pun makin menjadi.

Dia pernah bertemu makhluk gaib secara langsung. Menurut penuturannya, makhluk itu berwujud seorang wanita dengan pakaian adat Thailand, memegang lengan kanannya dengan kuat seperti mau menariknya dan dengan wajah marah menatap Lia seakan-akan mau memarahi atau bahkan mau memukulnya.

Lia menjerit dan berusaha menggoyangkan tangannya sekuat tenaga, sementara teman-teman sekolah dan pemandunya saat itu hanya bisa terheran-heran melihat Lia yang bersikap seperti itu.

Dia juga sering mengalami mimpi buruk tiap kali selesai menonton film horor. Walaupun itu hal biasa yang sering dialami semua orang setiap kali selesai menonton film horor, saya semakin penasaran dan bertanya, “Pernah nggak kamu nonton horor, tahu hantunya, tapi justru yang datang di mimpimu malah sosok hantu yang berbeda sama sekali?” Lia membalas pertanyaan saya, “Iya, pernah, Mas. Bahkan sampai beberapa kali.”

Kami lalu dapat giliran dipanggil untuk mengisi meja dan masuk ke area dalam tepat di joglo kecil lantai dasar. Saat masuk, Lia tidak pernah menoleh ke arah patung Raminten di dekat meja reservasi. Bukan, bukan karena patung itu menakutkan, tapi karena alasan yang saya ceritakan tadi.

Kami sudah duduk lesehan dan saya membiarkan mereka bertiga sibuk memilih menu yang jarang sekali ditemui di Jakarta. Di sisi lain, rasa iseng saya benar-benar muncul, dan saya semakin yakin, ada sesuatu di dalam diri Lia. Nekat saya memfokuskan melihat Lia yang sedang sibuk memilih menu sambil bola matanya kesana kemari membaca daftar menu.

Nyaris 10 menit saya memandang Lia sembari dalam hati saya meniatkan untuk “bertanya” ada apa dengan anak ini. Berhasil. Rasa mual dan pusing mulai pelan-pelan saya rasakan, dan itu sering saya alami tiap kali menulis cerita horor. Awalnya saya berpikir itu mungkin efek dari aromatherapy di area Raminten, tapi ternyata tidak.

Perlahan muncul bayang-bayang dalam pikiran saya tentang “aktivitas lain” di area itu. Masih dengan rasa penasaran, saya kembali “bertanya”, apakah bayang-bayang di dalam pikiran saya itu ada hubungannya dengan Lia? Tapi ternyata tidak.

Kalian bingung? Begini deh, biar gampang. 

Kalau misal ada gambar kartun atau animasi di sekitar orang yang ingin kalian cari tahu, biasanya, biasanya lho ya, gambar animasi yang berhubungan dengan orang yang dimaksud akan berwarna atau berbentuk sama dengan orang yang ingin kalian cari tahu. Kalau dalam kasus ini, orang yang ingin saya cari informasinya adalah Lia. 

Jadi kalau Lia berwarna jingga, maka semua yang berhubungan dengannya saat itu juga berwarna jingga. Tapi jangan kalian pikir itu mudah. Mungkin hanya berani saya lakukan setahun sekali, karena sangat berisiko terutama bagi orang seperti saya.

Bayang-bayang yang muncul malam itu terus muncul bergantian, tapi saya yakin itu bukan dari Lia. Mungkin pengunjung lain yang kebetulan masuk dan membawa “teman”.

Cici, El, dan Lia sibuk mendokumentasikan makanan kami yang sudah datang. Saya biarkan mereka sibuk mengabadikan momen itu untuk diunggah ke media sosial. Sementara itu, saya, dengan sekuat tenaga berusaha mengalihkan pikiran agar kembali ke mode “realita lapangan” dan bisa menikmati soto serta es dawet yang saya pesan.

Cici menepuk pundak saya. Sejak awal kami duduk, saya sesekali berbicara empat mata kepada Lia, sementara Cici dan El hanya memandang kami kebingungan. Saya membalas tepukan dan rasa bingung Cici dan El dengan mengatakan bahwa saya akan menceritakan soal ini di tempat lain, nanti, setelah kami selesai makan dan beralasan bahwa aromatherapy di Raminten membuat saya sedikit pusing. Saya berjanji akan mengajak mereka ke tempat kopi langganan saya di daerah Jogja bagian utara.

Kami meninggalkan Raminten dan menyusuri jalan baru UGM yang melintasi area masjid kampus, UNY, Selokan Mataram, hingga keluar di Jalan Affandi. Saya sengaja mengajak mereka bertiga lewat situ hanya karena keisengan saya yang mengetahui Lia kurang suka dengan tempat yang agak gelap. 

Kalau sudah begitu, apa yang ada atau apa yang mungkin sedang bersama Lia akan sedikit terpancing apabila perasaan Lia menjadi tidak nyaman. Sekali lagi, ini sebenarnya agak berisiko bagi saya, apalagi Lia sedang menstruasi, kondisi yang membuatnya banyak disukai makhluk halus. Yah, liburan gaib ini terjadi karena keisengan saya juga, sih.

Kami sudah duduk di Samasta dan menunggu pesanan kopi datang, sementara Cici semakin penasaran dan terus bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Saya sedikit kesal dengan sikap Cici yang terus-menerus meminta saya dan Lia bercerita, padahal butuh effort yang lebih untuk mengatasi situasi seperti itu. Ini bukan sekadar menceritakan kisah film horor dan memberikan kesimpulan, salah bicara bisa-bisa akan berakibat buruk kepada orang yang ada di dekat kita.

Saya akhirnya membuka pembicaraan dengan sedikit terbata-bata karena harus membagi fokus pikiran. Saya kembali lagi ingin “bertanya” kepada siapa saja yang dekat dengan Lia, apakah perasaan janggal yang saya alami sejak pertama bertemu mereka akibat sosok makhluk yang ada di sekitar kami atau mungkin menjaga salah satu dari mereka bertiga yang ikut liburan?

Sekitar sepuluh menit, sambil saya mengobrol dengan mereka dan menjelaskan beberapa hal tentang kejadian aneh yang saya alami, hal yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.

Di belakang Lia berdiri seorang wanita berusia sekitar 50 atau 60 tahun. Dia mengenakan baju panjang sampai ke kaki berwarna abu-abu terang atau putih kusam dengan kondisi yang baik, tidak compang camping seperti mbak kunti iseng, dan bukan, ini bukan kunti. 

Mungkin malah mirip seperti pakaian yang digunakan oleh bangsa Elf dalam film Lord Of The Ring, dengan dandanan yang hampir mirip pula. Rambut diurai panjang sampai kira-kira sebatas pinggang, menggunakan semacam perhiasan yang saya juga tidak pasti apa bentuk perhiasan yang digunakan di pergelangan tangannya.

Wajahnya tajam, mirip seperti ekspresi muka Angelina Jolie dalam film Maleficent. Sorot matanya terlihat tajam, tegas, berkuasa dan berani, sementara wajahnya sekilas seperti tersenyum tajam dan angkuh. Tapi dia berada di dekat Lia tidak dalam keadaan marah, tapi lebih ke gesture dan mimik muka yang menunjukkan dia berkuasa dan bertanggung jawab menjaga Lia.

Saya duduk di sebelah Cici dan berhadapan dengan El. Mereka berdua dapat dengan jelas memperhatikan mata saya sedikit melihat ke atas kepala Lia. Beberapa kali mereka berpaling dari melihat saya, ke arah Lia, lalu bertatapan satu sama lain. Sementara sosok wanita itu tidak berkedip atau mengalihkan pandangannya kepada saya. Sementara Lia, dengan wajah sendu, yang sedang memegang gelas kopi, memandang saya tanpa berpaling kepada Cici dan El.

Ini jawaban yang saya dapat malam itu. Dari gesture tubuh dan mimik mukanya, saya yakin dia sudah berada di dekat Lia sejak lama. Entah sebagai teman yang didapatkan atau diberikan oleh leluhurnya, atau sosok yang sudah menggantikan “teman” yang dimiliki Lia sebelumnya. Cara dia menggantikannya pun bisa dengan berbagai cara, bisa baik, bisa tidak.

Lalu jawaban lainnya adalah, saat liburan dan study tour di Thailand, Lia didatangi makhluk halus bukan karena dirinya ingin disakiti, tapi karena apa yang bersama Lia saat itu. Lalu, sosok ini juga cukup powerful. Apabila Lia dalam keadaan terdesak dan tanpa sengaja menyebut atau meminta pertolongan, dia akan muncul. Mungkin itu juga yang terjadi di Thailand. Lia bisa lepas dari gangguan karena sosok itu mendatanginya untuk menolong.

Obrolan kami malam itu di Samasta ternyata membuat “penduduk” sekitar tertarik dan ingin mendengarkan. Beberapa dari mereka hanya berjarak beberapa meter dari kami, asyik memperhatikan tapi tidak berani terlalu dekat karena “teman” yang mendampingi Lia. Saya pun saat mengobrol hingga menulis ini merasa sungkan mau menyebut beliau itu sosok atau mahluk. Seperti sungkan, entah karena sugesti atau karena perawakannya saat kami bertemu.

Hampir satu jam kami mengobrol dan tidak menghasilkan apa-apa menurut Cici, El, dan Lia. Tapi tidak menurut saya. 

Mendapat jawaban seperti itu, dengan rasa pusing dan mual sudah lebih dari cukup. Tidak ada yang mudah kalau harus menjelaskan hal seperti itu. Kalau salah ngomong, bisa jadi ada yang tersinggung, dan sepertinya penjelasan saya kepada mereka bertiga membuat “orang keempat” ini agak kurang nyaman.

Saya tidak menemani mereka di hari ketiga liburan karena alasan pekerjaan. Saya meminta Adi, si pemilik Avanza Veloz untuk mengisi jadwal jalan-jalan di hari Rabu. Walaupun saya sedikit khawatir karena Adi juga termasuk orang yang cukup sensitif dengan hal gaib dan kadang suka keceplosan bicara.

Di hari ketiga liburan itu pula saya sempat mengirimkan pesan cukup panjang melalui DM Instagram kepada Lia tentang apa saja yang saya ketahui setelah “pertemuan” di Samasta itu. Saya meminta Lia, sepulang liburan, untuk mencari tahu lebih banyak lagi tentang hal-hal gaib yang sering dialaminya kepada orang yang mungkin lebih bisa menjelaskan persoalan seperti ini.

Lalu saya minta juga agar dia mencari tahu kisah leluhurnya, cerita-cerita tentang keluarga besarnya, karena dia sempat bercerita bahwa “temannya” itu adalah pemberian dari sang kakek yang meminta agar Lia selalu dijaga. Bukan berarti tidak percaya Tuhan, tapi ini mungkin bisa disebut sebagai alasan budaya daerah yang tidak semua orang bisa mengerti. 

Lia juga seorang perempuan yang taat beribadah, fasih dan cukup rajin membaca Al Quran, sempat mengenyam pendidikan keagamaan secara khusus dan nyaris tidak pernah lupa memanjatkan doa dalam situasi apa saja.

Saya bertemu lagi dengan Cici, El, dan Lia di hari kepulangan mereka ke Jakarta karena saya sudah berjanji sebelumnya hanya bisa menemani liburan mereka di hari Selasa dan Kamis. Tidak ada tujuan wisata yang akan kami datangi hari itu, hanya berencana mencari daster di Pasar Beringharjo dan mampir membeli bakpia untuk oleh-oleh.

Setelah dua urusan itu selesai, kami mampir makan siang di sekitar Stasiun Lempuyangan. Nasi pecel menjadi menu santap siang pilihan kami. Di tengah santap siang sambil mengobrol, mendadak Lia terdiam. Pandangannya menjadi sendu dan lurus memandang tembok di belakang tempat saya dan Cici duduk. Cici yang sedari semalam mulai risih dengan kejadian-kejadian kurang menyenangkan menyikut saya lalu matanya mengarahkan saya untuk melihat Lia. 

Mimik muka El, yang duduk di samping Lia pun mulai terheran-heran dengan sikap temannya itu. El, saat kami baru saja naik mobil setelah check out dari penginapan pagi tadi sempat bercerita kalau semalam, sepulangnya dari pantai, dia kelelahan dan memilih untuk langsung tidur tanpa harus mandi malam. 

Anehnya dia bermimpi didatangi sesosok makhluk yang menyerupai wanita, tidak begitu jelas menurutnya, tapi sosok itu marah kepadanya. El yang malam itu tidur di sebelah Cici berusaha berontak di dalam mimpi karena dia merasa saat kena marah badannya kesemutan. Dia tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya sementara dia berusaha teriak memanggil nama Cici dan Lia. 

Tapi anehnya, ada sosok lain yang datang, seorang perempuan juga, dan kalau dari ciri-ciri yang disebutkan oleh El, perempuan itu adalah teman Lia yang ikut liburan dan saya temui di Samasta. Perempuan itu lalu memarahi sosok yang pertama mendatangi El. Dia seperti tidak suka dengan apa yang terjadi terhadap El. Ajaibnya, setelah perempuan itu datang lalu memarahi sosok pertama itu, El bisa terbangun dan melihat Cici dan Lia sedang tidur di sebelahnya.

Karena cerita tentang El pagi itu, saya lalu kembali memfokuskan pandangan saya kepada Lia yang masih terdiam. Beberapa saat kemudian, Lia menjawab pertanyaan Cici dan bilang kalau tiba-tiba dadanya sesak dan dia merasa sangat haus. Entah bagaimana ceritanya, Lia malah mulai menangis pelan, seperti sedang sedih memikirkan sesuatu.

Di tengah teriknya cuaca Jogja hari itu, saya sekali lagi harus mencoba “bertanya” apa yang dialami Lia. Nihil. Tidak ada jawaban yang saya dapatkan. Lia terus merengek untuk pulang sambil menangis. Aneh. Sikapnya seperti orang yang sudah lama tidak pulang dan pergi dari rumah tanpa pamit dengan orang tuanya. 

Sepanjang perjalanan dari rumah makan ke stasiun yang jaraknya cukup dekat, kami bertiga masih kebingungan melihat Lia yang masih terisak dan menjelaskan kalau perasaannya sekarang ingin sekali pulang ke Jakarta. Padahal, saat kami dari tempat oleh-oleh, rasanya tidak ada yang salah. Kami bercanda dan mengatakan kalau yang namanya liburan pasti terasa cepat, rasanya baru kemarin mulai, hari ini sudah harus pulang ke realita.

Cici dan El meminta saya menemani Lia berjalan dari mobil ke dalam stasiun untuk menenangkannya. Berulang kali saya bertanya apa yang dirasakan Lia dan jawabannya tetap sama. Rasanya ingin sekali pulang. 

Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mencoba menenangkannya dan menjawab pertanyaannya. 

“Mas, apa aku ketempelan dari sekitar tempat makan tadi? Enggak, kan?” 

Saya menjawab, “Nggak, kok. Kalaupun iya, berdoa saja, dan bisikin ke dia. Udah, tinggal di Jogja aja sama Mas Irul.”

Setengah tertawa, saya berkata seperti itu sambil membatin, bagaimana kalau benar-benar tinggal dan ngikut saya? Astaga. Sok berani sekali. 

Kami berbincang sebentar di lobi penukaran tiket sebelum mereka masuk ke dalam ruang tunggu penumpang. Saya berbicara pelan kepada Cici dan El, meminta agar mereka berdua terus mengabarkan kondisi Lia di perjalanan pulang kepada saya. Walaupun saya tahu tidak bisa berbuat banyak. 

Saya meninggalkan mereka untuk kembali bersama Avanza “milik Ida”. Masih terbayang bagaimana serunya bisa menemani mereka liburan selama beberapa hari ini. Supir seperti saya kadang menyisakan rasa senang apabila bertemu tamu yang seru, asyik diajak ngobrol, dan tidak rewel tapi akhirnya harus berpisah. Apalagi liburan mereka kali ini unik; disambut kericuhan dan pulang dengan sedikit kisah horor. 

Setahu saya, sampai tulisan ini dibuat, kondisi Lia sudah baik-baik saja menurut informasi dari Cici dan El. Tidak ada sikap Lia yang aneh lagi semenjak mereka tiba di Jakarta.

Tapi, sepanjang perjalanan dari stasiun sampai ke garasi mobil, ada beberapa pertanyaan yang tersisa. 

Pertama, benarkah “teman” Lia ini memang baik kepadanya? Lalu kenapa menurut saya dia sangat protektif dan cenderung seperti perlakuan seorang Ibu konservatif kepada anak perempuan satu-satunya? Atau memang seperti itu caranya mendampingi Lia selama ini? Saya hanya berharap agar Lia lebih bisa menguasai dirinya sendiri dan mengontrol mood swing-nya yang mungkin bisa berakibat kurang baik. 

Kedua, kenapa Lia menangis di saat terakhir dia di Jogja? Di dalam mobil saya sempat bertanya dalam hati, apakah ini karena pengaruh Ida? Bisa saja, sih. Ida tidak nyaman dengan apa yang menemani Lia dan “memintanya” untuk segera pulang dan tidak menumpangi mobil itu lagi.

Atau, teman Lia sangat tidak suka dengan lingkungan di sekitar tempat kami makan siang. Lia sempat bercerita kepada El di dalam kereta saat perjalanan pulang kalau sebenarnya Lia dimarahi oleh sosok perempuan saat kami makan siang. 

Nggak tanggung-tanggung, Lia dimarahi dari seberang jalan rumah makan itu. Marah seakan-akan meminta untuk segera pergi dari situ hingga akhirnya dia mulai merasakan sesak nafas. Hal itu diceritakan oleh El kepada saya, beberapa jam setelah mereka berangkat. 

Pertanyaan terakhir saya, apakah sosok teman yang bersama Lia tidak suka kepada saya? Kalau iya, karena apa? 

Saya mungkin punya kelakuan jelek di masa lalu, tapi rasanya tidak adil kalau menyangkutkan apa yang terjadi di masa lalu dan menilai buruk semuanya hingga hari ini. Dan mungkin yang tidak terima saya dinilai seperti itu bukan saya, tapi Noni? Entahlah. Tapi semoga Lia segera menemukan jawaban-jawaban dari banyak misteri yang menemaninya selama ini.

Terima kasih untuk Cici, El, dan Lia yang sudah mengizinkan saya menulis ini bahkan tanpa harus susah-susah memikirkan nama samaran untuk kalian. Kalau ada kelanjutan dari kisah “liburan gaib” kali ini ini sepulang kalian dari Jogja, mungkin bisa dilanjutkan lagi di rubrik Malam Jumat Mojok.

BACA JUGA Teror 10 Hari di Jawa Timur dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Khoirul Fajri Siregar

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version