MOJOK.CO – Tadinya saya pikir itu wadah buat panen cabai setan. Tapi saya baru sadar yang sedang dipegang pakdhe itu berrambut dan mendesis.
Sungguh ini adalah pengalaman saya dan adik saya yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun karena melihat hantu kepala buntung. Hmmm ini saja saya mengetik dengan bulu kuduk yang berdiri.
Semuanya berawal pada suatu sore menjelang Maghrib ketika bapak saya mendapat undangan kenduri oleh salah satu tetangga dekat rumah. Setiap sore sampai pagi bapak saya bekerja menjaga puluhan ribu ayam di kandang dekat perbatasan desa yang berada disamping sungai terbesar didesa saya, tapi dikarenakan ini undangan dari tetangga yang notabennya juga temen deket bapak akhirnya ibu saya menyuruh saya dan adik saya untuk memberi tahu undangan kenduri tersebut.
Jika kalian bertanya Kenapa kita tidak menghubungi bapak lewat ponsel? Jawabannya adalah bapak saya tidak memiliki ponsel pada saat itu.
Saya segera mengeluarkan motor dan melaju ke arah kandang tersebut. Kandang yang dijaga bapak sengaja dibangun di tempat terpencil karena dikhawatirkan baunya akan mengganggu warga. Bapak juga menanam cabai setan di sekitaran kandang untuk memanfaatkan tanah subur hasil pupuk tahi ayam.
Perjalanan menuju kandang melalui jalan setapak sempit, dengan pemandangan kanan kiri berupa semak belukar, perkebunan sengon laut, durian, dan jati yang sangat luas. Sepanjang jalan ini sudah terkenal dengan cerita angkernya.
Beberapa orang kadang dihantui suara durian jatuh padahal setelah dicek ternyata pohon durian tersebut belum berbuah sama sekali. Hingga sekarang tidak ada yang tahu persis bunyi durian jatuh itu dihasilkan oleh apa.
Maka sepanjang perjalanan, saya dan adik saya yang sama-sama penakut hanya bisa merapalkan doa dalam hati sambil sebisa mungkin bercanda untuk membunuh gelap dan sepi.
Sesampainya kami di area kandang, kami langsung disuguhkan dengan kebun cabai setan yang sangat luas. Disebut cabai setan karena memang pedas dan banyak peminatnya. Saya lalu meletakkan motor di dekat kebun cabai setan supaya memudahkan ketika pulang, jalanan dekat kandang tergolong terjal dan sulit.
Sebelum kami masuk kepondok tempat istirahat bapak dikandang, kami melihat ada seorang laki-laki. Jika dilihat dari dari belakang, laki-laki ini seperti sedang memetik cabai dengan kepala membungkuk. Awalnya saya kira itu bapak saya jika mengingat kebun itu adalah milik bapak saya, tapi saya ingat-ingat kembali bapak saya tidak memiliki baju seperti itu.
Lalu saya berinisiatif bertanya kepada pakdhe itu terkait keberadaan bapak saya dan sekalian ingin tahu siapa laki-laki itu kenapa kok memetik cabai dikebun bapak.
“Pakdhe mau tanya, pakdhe lihat bapak saya?”
Namun pakdhe tersebut tidak menyahut. Sementara adik saya langsung memegang tangan saya erat lalu berbisik,
“Mbak, sepertinya itu bukan orang deh mbak. Ayo kita langsung masuk ke pondok saja.” ucap adik saya sembari menarik-narik ujung baju saya.
“Hush ngawur kamu la ngomongnya.” ucap saya sembari terus mendekat kepada pakdhe tersebut.
Saya pikir, mungkin saya dan adik dianggap tidak sopan karena berteriak saat bertanya kepada pakdhe tersebut. Jarak kami dipisahkan oleh dua banjar tanaman cabai setan saat bertanya tadi. Lalu saat sudah hampir dekat dengan pakdhe tersebut saya bertanya lagi,
“Pakdhe lihat Pak Yanto bapak saya?”
Pakdhe tersebut masih diam. Saya kembali mendekat. Saat sudah hampir dekat yang pertama saya lihat justru sesuatu yang dia pegang.
Tadinya saya pikir itu wadah cabai. Namun saat saya lihat lebih jelas lagi kok ada rambutnya banyak dan saat itu saya baru sadar yang sedang dipegang pakdhe itu adalah sebuah kepala dengan mata yang melotot kepada saya dengan desisan samar dari mulut itu. Kemudian saya melihat kearah lehernya dan langsung berteriak sambil lari terbirit-birit menuju pondok.
Yang saya lihat tadi adalah hantu berkepala buntung, pakdhe tersebut tidak memiliki kepala. Eh ralat, pakdhe tersebut memiliki kepala tapi kepalanya berada digenggaman tangannya.
Sungguh jantung saya rasanya loncat ke bawah kaki. Sementara adik saya sudah lebih dulu berlari kencang menuju pondok meninggalkan saya yang masih berusaha menghindar dari si hantu kepala buntung pemetik cabai setan.
Dengan nafas terengah adik saya bilang, “Tuh kan, Mbak. Bener apa yang aku bilang kalau dia tuh bukan orang”. Aku cepat-cepat mengiyakan lalu kami saling bertatapan “Kamu juga lihat la?” Adik saya yang bernama Ella mengangguk tegas lalu dengan suara lirih bilang, “Pakdhe itu ndak punya kepala mbak”.
Saat saya dan adik saya sudah hampir mati ketakutan tiba-tiba bapak saya datang dari pintu samping sembari memegang pakan ayam ditangannya, “Loh kalian kok ada disini kenapa?” tanya bapak saya sembari membersihkan sandalnya yang kotor.
Saya menelan ludah dan mencoba menetralkan napas “Itu Pak, bapak dapat undangan kenduri dari Pak Ali nanti habis maghrib.”
Bapak lalu memberi tahu Pak Kadi yang juga ikut bekerja disitu bahwa malam ini izin menghadiri kenduri. Selanjutnya bapak mengajak kami pulang. Melihat saya dan adik saya yang jalan berdempetan dia bertanya,
“Kenapa kok kalian ini jalannya kayak gitu?”
Sebelum adik saya sempat menjawab, saya dengan cepat bilang “Hehehe nggak kenapa-kenapa, Pak.” sambil nyengir. Saya ingin agar hanya saya, adik saya, Tuhan, dan hantu tersebut saja yang tahu. Bapak saya masih bekerja disitu saya tidak ingin membuat bapak saya takut.
Sekarang sudah hampir tiga tahun sejak peristiwa itu dan bapak saya sudah tidak bekerja di kandang tersebut. Jadi saya memutuskan bercerita kepada bapak. Respons bapak justru membuat merinding,
“Oh ternyata hantu kepala buntung itu memang benar adanya toh? Kan memang sebelum bapak bekerja disitu udah ada penjaga kandang yang keluar di hari pertama kerja karena melihat hantu kepala buntung sedang memasak di dapur pondok.”
Waktu ketemu saya, si hantu kepala buntung sedang memetik cabai setan. Lalu pas ketemu penjaga kandang, hantu itu sedang memasak. Terus nanti kalau ketemu orang lain kira-kira dia bakal ngapain ya?
BACA JUGA Karma: Ketika Kunci Disembunyikan Sosok Cantik Penunggu Ruang Osis atau artikel lainnya di MALAM JUMAT.