Sebagai PSK (Pekerja Seni Komersil), kami sering bepergian keluar kota se-Indonesia. Sisi enaknya adalah: kami bisa sedikit jalan-jalan dan wisata kuliner. Ya, walaupun waktunya sangat mepet. Misalnya berangkat pesawat pagi, langsung diantar ke TKP, makan siang, GR (check sound), lalu ke hotel untuk mandi dan dandan, kemudian kembali ke venue untuk acara. Besok paginya mungkin kami bisa janjian pergi sebentar, jalan-jalan cari makan dan oleh-oleh, sebelum check out hotel dan langsung ke bandara lagi.
Itu sisi enaknya.
Sisi gak enaknya: pertama, untuk lokasi sekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah, kami gak naik pesawat (selain untuk ngirit, juga karena memang percuma juga kalau kotanya jauh dari bandara, seperti Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Cianjur Selatan, Pekalongan, Purwokerto). Kami berangkat bareng naik mobil. Itu berarti, capek di jalan dan seringkali kami (saya) kurang tidur karena saya bukan tipe yang mudah lelap dalam posisi duduk dan berguncang-guncang.
Sisi gak enak kedua adalah: kami sering menginap di hotel yang gak bersertifikasi ISO bebas hantu. Karena tim band jarang yang perempuan, konsekuensinya adalah saya sering… tidur sendirian.
Naaahhh…
Hampir sepuluh tahun yang lalu, kami dapat job manggung di sebuah pesta pernikahan di Pontianak. Kami menginap di hotel-besar-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya. (Petunjuk: nama hotelnya sama dengan nama sungai besar di dekat hotel.) Hotelnya cukup terkenal, hanya sudah agak kusam. Mungkin dibangun sekitar tahun 1980an.
Selesai main di restoran dekat hotel, saya membeli pisang goreng Pontianak untuk dimakan bersama teman-teman di hotel. Kamar saya agak jauh dari kamar yang lain. Lorong kamar berbentuk L. Kamar para cowok berjajar bersebelahan, kamar saya terpisah 3 kamar dari kamar mereka. Saya berniat ke kamar dulu sebentar untuk ganti baju kaos dan celana pendek, sebelum nongkrong di kamar cowok buat ngobrol dan makan pisang goreng bareng.
Ketika saya sedang ganti baju di dekat ranjang, ada ketukan pintu. Saya pikir, teman-teman cowok yang datang.
“Ya, sebentar! Lagi ganti baju!” teriak saya.
Saya bergegas menuju pintu. Setengah detik sebelum membuka pintu, saya masih melihat ada bayangan di celah bawah pintu, serupa ada orang di luar sedang berdiri. Tanpa prasangka, saya membuka pintu.
Gak ada siapa-siapa.
Lorong kamar berbentuk letter L itu panjang sekali. Kamar saya di ujung, pas sebelum belokan. Celingak-celinguk saya melihat ke depan, sepi sekali. Cepat saya alihkan pandang ke lorong kanan, juga sunyi gak ada siapa-siapa. Seketika, hawa ngeri pun langsung menyeruak. Bedebah, haram jadah.
Sial bagi saya, waktu itu saya belum operasi LASIK. Mata saya minus 6,5. Tiap malam saya harus buka soft lens dan ganti kacamata. Itu artinya ada detik-detik saya akan rabun gak bisa lihat apa-apa, di kamar mandi. Saya langsung memikirkan strategi.
Saya segera menyiapkan kotak soft lens, cairan pembersih, dan kacamata dalam radius dekat, lalu cuci tangan. Saya melatih strategi itu dalam kepala: buka soft lens kanan secepat mungkin dengan jari kanan, masukkan ke kotaknya. Lalu buka soft lens kiri dengan jari kanan, masukkan ke kotaknya. Segera pakai kacamata! Baru lanjutkan cuci kedua soft lens, dst. (Biasanya saya bereskan dulu cuci kedua soft lens, rendam cairan, tutup kotaknya, cuci tangan, baru pakai kacamata).
Satu… dua… Mulai!
Saya buka soft lens kanan, masukkan ke kotak kanan. Beres! Buka soft lens kiri, masukkan ke kotak kiri.
Dan Kampret… Karena sambil gemetar dan deg-degan, soft lensnya jatuh. Spontan saya jongkok, meraba-raba lantai sambil kedua mata rabun berat. Harusnya saya langsung ambil kacamata, baru cari soft lens yang jatuh. Tapi panik sungguh-sungguh mematikan nalar.
Susah payah saya mencari soft lens yang parahnya berwarna bening. Dan saya lupa gak bawa cadangan! GRRRR…! Soft lens itu tetap harus ketemu.
Bulu tengkuk berdiri, lalu menjalar sampai ke lengan… Padahal saya gak kedinginan. Belum sempat menyalakan AC.
Saya teriak sekencang-kencangnya.
*Dulu saya pernah dengar, itu salah satu cara mengusir hantu: bikin keributan (makanya dalam tradisi Tionghoa, setiap tahun baru, festival kue bulan, dan acara selametan rumah/ toko/ kantor baru, kami menyalakan renceng petasan, memakai barongsai yang enerjik dan sangat meriah dengan tambur serta ceng-ceng plus teriakan pemain).
Bulu kuduk kembali normal. Saya pakai kacamata lalu mencuci soft lens.
Setelah beres ngobrol dan ngemil di kamar cowok, waktunya tidur. Saya menimbang-nimbang, apa lebih baik saya numpang tidur di kamar teman cowok? Sebetulnya mereka baik-baik, tapi saya gengsi karena saya tomboy dan galak. Juga karena mereka suka ngorok dan senang menyalakan tivi sepanjang malam, sementara saya hanya bisa tidur kalau suasana sepi, dan lampu mati semua.
Sepi… gelap gulita… Sial.
Malam itu, saya menyalakan lampu kamar mandi, supaya tidak terlalu gelap.
Tengah subuh, ketika saya tidur terlentang, saya melihat sosok hitam di pojok dekat jendela…
Cahaya kamar mandi membuat saya mengenali sosok itu serupa bentuk manusia. Wajahnya tidak kelihatan. Sosok hitam saja. Bayangan itu perlahan mendekati saya, duduk di ujung ranjang. Saya bisa merasakan kasur tertekan dan menjadi miring.
Saya ingin teriak, tapi tidak bisa keluar suara. Saya ingin lari, tapi tidak ada tenaga.
Bayangan itu mengamati saya. Saya mengutuki diri sendiri. Mau “diperkosa” kok diam saja. Goblok!
Saya Berteriak sejadi-jadinya. Sosok itu pun kemudian hilang. Dengan masih diiringi perasaan takut, saya mencoba mengubah posisi dan berusaha untuk tidur. Bagaimanapun caranya, saya harus tidur. Dan puji Tuhan, saya berhasil.
Saya terbangun jam sembilan pagi, sarapan, lalu mandi dan berkemas.
Dengan tak sabar saya keluar dari kamar untuk check out. Buka pintu dengan tangan kiri selebar maksimal, mepet ke dinding. Lalu menyeret koper dengan tangan kanan. Saya Berhasil keluar kamar.
Belum saya sempat menutup pintu, pintu itu… terbanting menutup sendiri!
Kena angin?
Saya turun ke lobby. Sepanjang jalan saya mikir. Itu kan kamar AC. Jendelanya gak bisa dibuka. Jadi?
Sepertinya memang ada yang kesal…