MOJOK.CO – Rapat Akhir Tahun di dekat Candi Borobudur itu berjalan lancar. Untung saja kami ada di sana selama tiga hari dua malam saja.
Rapat Akhir Tahun di November 2021 kali ini nggak kayak tahun sebelumnya. Kalau tahun lalu, rapat dihelat di tempat yang nggak jauh dari kantor, nggak jauh dari Jalan Damai, Sleman. Tahun ini, rapat komunitas kami, yang para anggotanya dikenal sebagai aktivis kretek, berlangsung di Magelang, katanya sih sekitar lima kilometer dari Candi Borobudur.
Beda dari tahun sebelumnya, perhelatan tahun ini ada nuansa pikniknya. Gimana nggak piknik. Para peserta yang sudah berkeluarga diperkenankan membawa keluarga. Lokasi rapatnya pun dekat dengan salah satu keajaiban dunia, Candi Borobudur.
Berdasar daftar dari Mas Panlok, istilah saya untuk menyebut kepala rombongan, tercatat ada empat peserta yang akan membawa serta istri. Eh ternyata, dua hari menjelang keberangkatan, dua peserta rapat batal membawa serta orang-orang tercinta mereka.
Hanya dua peserta yang sudah pasti bareng keluarga menginap di resort yang sudah disewa dari jauh hari itu. Selain merasa senang diajak plesir, istri saya memang sudah lama berencana mudik ke Jogja, untuk menunaikan ziarah ke Kulon Progo, kampung halaman tercintanya, kebetulan dekat dari Candi Borobudur.
Singkatnya, Senin siang, rombongan rapat meluncur menggunakan mobil sewaan, lainnya ada yang berkonvoi pakai motor. Menurut cerita-ceritanya Mas Panlok, tempat menginap kita itu fasilitasnya cocok banget buat istirahat. Buat self healing dan menurunkan kewaspadaan.
Eksterior rumah Jawa tempo dulu yang sering dicap eskotis sama masyarakat modern sudah terlihat sejak kami masuk area resort. Udara pedesaan berbaur wangi kembang kenanga dan kamboja menguar. Konseptual banget penampakan bangunan-bangunan yang ada di lingkungan resort itu. Aura lawas seperti berasa di tengah lingkungan Candi Borobudur memang terasa.
Ilmu tata ruang yang berakar pada kitab Kawruh Kalang dan Kawruh Griya terciri banget pada tata bangun ruang yang ada, tentu yang paling mudah dikenali dari unsur-unsur konstruksi joglonya. Saya dan istri kebagian di area pondokan. Namanya Pondok Suteja.
Sementara itu, teman-teman yang berstatus lajang, berada di kamar-kamar di bangunan berbeda. Letaknya ada di bagian depan, dekat kolam renang. Kalau diukur dengan langkah orang dewasa, ya sekitar 90 langkah dari area pondok. Malam pertama adalah malam refleksi. Sesi curhat peserta tentang banyak hal.
Istri saya tentu tidak ikut serta di rangkaian acara yang sudah disusun secara khusus. Jadi, selepas makan malam bersama, dia langsung masuk pondokan. Malam itu, bukan kebetulan kondisi badannya memang sedang kurang fit. Menurutnya hanya masuk angin saja lantaran kecapekan di jalan.
Acara refleksi bubar sekitar pukul 23.00 lewat. Saya segera pulang menuju pondokan. Angin malam yang cukup menggigit dan jejak hujan di rumput dan dedaunan menguarkan bau khas. Salah satunya bau khas batu dan tanah yang habis kena hujan. Saya jadi terbayang Candi Borobudur. Suara burung malam dari arah pohon besar dekat pondok seperti memberi isyarat lain.
Betul saja, setiba di pondokan, saya mendapati wajah istri yang terlihat begitu pucat. Dengan bibir menggigil, dia meminta saya untuk tidak keluar lagi dari kamar. Padahal, sebelumnya saya sudah berencana kumpul ngobrol-ngobrol dulu di kamar Mas Panlok yang dijadikan tikum buat teman-teman berghibah ria.
“Kamu tadi sempat pulang ketuk pintu nggak?”
“Nggak. Aku di area rapat terus.”
“Tadi yang ketok-ketok pintu nyebut Bun Bun itu siapa dong?”
“Halah, halu aja itu, efek minum Bodrex.”
“Nggak. Itu suaramu, persis. Tapi aku nggak bisa bangun, kayak ketindih beban berat banget.”
“Waduh!”
Suara desir angin disertai suara patahan ranting terdengar dari luar pondok. Gemerisik daun diterpa angin berkali-kali tertangkap telinga. Inderawi saya makin waspada. Saya memutuskan untuk tidak keluar berhimpun dengan teman-teman. Suara televisi yang semula pelan, saya buat bersuara lebih demi menetralisir suasana.
Niat untuk melancarkan “olahraga purba” malam itu berangsur punah. Bukan apa-apa, sejak tahu istri dikuasai rasa takut dari kejadian yang dialaminya, bandang libido saya berubah seketika. Ditambah lagi dia bilang, “Aku lagi dapet, Yah.”
Suami mana yang tega coba?
Campur aduk memang perasaan saya malam itu. Sejak sesi refleksi pun sudah terasa tidak beres. Ada yang berkecamuk pada emosi saya. Pandangan saya arahkan ke televisi, berharap dapat kantuk lebih cepat dari layar yang membosankan. Sesekali saya membaca buku panduan wisata ke Candi Borobudur yang tergeletak di samping ranjang.
Sementara itu, perempuan yang saya nikahi lebih dari 18 tahun itu menaruh telinga kanannya di atas dada saya. Seperti ingin memastikan orkestrasi macam apa yang terdengar dari jantung suaminya.
Pagi jatuh begitu cepat. Ajakan sarapan terdengar bersemangat. Saya begitu gembira mendengar suara khas itu, sebagaimana biasanya kami di rumah. Segera saya beranjak ke kamar mandi. Untuk kemudian pergi berdua menyantap sarapan di resto.
Selepas sarapan, rangkaian acara kedua digelar di area rapat. Istri kembali ke pondokan sebentar, kemudian keluar untuk sekadar membuang kesuntukan kamar. Menjelang Maghrib, saya kembali ke pondokan. Kejadian aneh kembali terjadi di pondokan. Kali ini jejaknya di meja rias.
“Aku tuh hapal banget, saban habis pakai lipstik sama cermin kecil ini pasti masuk lagi ke wadahnya. Kok semua bisa ada di luar wadahnya. Kan aneh!”
“Ah, paling angin dari atas celah itu”, seraya saya menengadah, memastikan tepi langit-langit di atas meja rias. Tepi langit-langit itu beruas sejengkal tangan, sontak saya kaget lantaran di ruas itu terlihat samar-samar wajah seseorang. Heh.
Saya cermati dengan tegas celah itu, rupaya ruas itu tertutup kaca memanjang yang di atasnya berserakan daun-daun kering, dan wajah seseorang itu ternyata wajah saya sendiri. Teleq. Saya cuma bisa cengir-cengar sendiri. Kejadian aneh yang dialami istri dengan gacor diceritakan ke Mas Panlok dan beberapa teman.
Keesokan hari, persis menjelang mandi, gelagat aneh lainnya terjadi lagi. Posisi keranjang sampah yang semula diketahui istri berada di kolong wastafel, berubah posisi ada di luar kolong wastafel.
“Kamu tadi mindahin tempat sampah?”
“Nggak.”
“Nah kan, usil lagi nih penunggu sini.”
“Palingan juru bersih sini itu sih.”
“Ngga dong, barusan aja kok. Aku tuh hapal banget letak benda-benda yang kelihatan kayak gitu.”
“Udahlah, fisik kamu itu lagi kurang fit, jangan ditambah pikiran-pikiran aneh deh.”
Cerita tentang berpindahnya tempat sampah adalah kejadian terakhir yang kami alami di Pondok Suteja. Untuk menetralkan pikiran-pikiran yang tak karuan pada istri, saya ajak dia keluar menjelajahi jalanan menuju Candi Borobudur.
Sebetulnya, sejak kemarin malam kami berdua berencana menjemput sunrise di Punthuk Setumbu. Tapi gagal karena kesiangan bangunnya. Lagipun, langit sedang dicengkram mendung.
Untuk menambal perasaan, berangkat deh kami ke lokasi Candi Borobudur. Meski akhirnya tak berbuah menggembirakan. Kami sekadar muter-muter saja tanpa berhasil masuk kawasan candi. Namun, di sisi lain, saya gembira nggak jadi masuk ke kawasan candi. Perasaan saya nggak enak. Pengin segera pulang ke Jogja.
Beruntung, batas waktu untuk check out sudah semakin dekat. Segera saja kami meninggalkan Candi Borobudur dan mengarah kembali ke penginapan. Tas dan keperluan lain sudah kami kemas sejak pagi.
Istri saya meminta beberapa foto dirinya waktu saya jeprat-jepret dia di kamar. Beberapa yang terlihat wajar, saya kirim via WhatsApp.
Ada dua foto yang terpaksa saya rahasiakan. Dan segera saya delete.
Setelah menghapus dua foto janggal itu, jantung saya jadi lebih pacu dari sebelumnya. Merinding sangat terasa ketika kami berdua keluar dari kamar.
Saya bersyukur, di hari ketiga, kami sudah beranjak meninggalkan lokasi rapat di dekat Candi Borobudur itu. Kalau nggak….
BACA JUGA Sebuah Kesalahan Fatal di Kaliurang Membuat Teman Saya Diusir dari Yogyakarta dan kisah mistis lainnya di rubrik MALAM JUMAT.