Dari Soeharto—selanjutnya ditulis “Pak Harto”—kita belajar, jangan pernah meremehkan manusia. Meski seseorang itu orang desa, lulusan SMP, dan karier kemiliterannya nggak moncer. Jangan. Sekali lagi, jangan.
Seorang guru di Jerman misalnya, tak menduga muridnya yang paling idiot di kelas dan terancam menjadi seniman introver masuk dalam jajaran manusia paling berpengaruh sejagad di abad ke-20. Nama si idiot itu Adolf Hitler.
Begitu pula sosok kita yang berultah setiap 8 Juni ini. Sepanjang saya mengurasi secara detail Harian Rakjat edisi 1953 hingga 1965, nama Pak Harto tak saya temukan sepotong pun. Artinya, orang-orang komunis tak pernah mereken sosok ini. Bahkan Bung Karno pun tidak. Yani juga tidak. Nasution juga sonder.
Padahal, dia bukan hanya pemusnah kuminis di Indonesia, pencongkel Sukarno dari singgasananya sebagai Paduka Jang Mulia Presiden Seumur Hidup, ia juga kokoh sebagai pemimpin junta militer terlama dalam sejarah NKRI.
Dia lahir sebagai anak desa di Kemusuk, Bantul, DIY, dari seorang pengatur air di sawah. Sejak anak-anak bahkan ia diasuh kerabat lain karena bapaknya kawin lagi. Sekolah formalnya pun hanya mentok SMP. Mungkin karena tahu diri dan sejak kecil menjadi sasaran bullying, ia memilih jadi tentara saja. Toh, nggak perlu pintar-pintar amat untuk menjadi pemanggul bedil itu.
Dan, Anda tahu semua hasilnya, si doi kemudian punya gebetan perawan dari kalangan bangsawan alus, pelan tapi pasti ia “merebut” puncak tertinggi dunia tentara, pemusnah kuminis, perebut kekuasaan Sukarno, dan “pengayom” rakyat Indonesia selama tiga puluh tahun lebih.
Nah, warisan terpentingnya selama tiga dekade menjadi pemimpin junta militer yang adhap asor di masa yang disebut “Orde Baru” itu bisa diringkas dalam akronim dan singkatan.
Ya, Pak Harto boleh kalis dari urusan duniawi sejak 27 Januari 2008, namun akronim atau singkatan yang lahir dari singgasana kekuasaannya abadi. Akronim hanya berbeda nama anting-anting dengan singkatan. Cek definisinya di PUEBI terbaru. Apa itu PUEBI? Guk-ling saja.
Sehitungan saya, sebetulnya ada ratusan akronim populer yang diproduksi Pak Harto dan buzzer-nya. Cara menghitungnya gampang, setiap buku khusus mengenai Pak Harto dan Orba biasanya menyediakan lembar daftar akronim. Nah, hitunglah dari situ. Namun, ada lima akronim dan singkatan yang bukan hanya penting, terhafalkan, terserap dalam sanubari, melainkan juga melekat dalam karakter kekuasaannya. Kelimanya masuk kategori jagoan.
Kita mulai.
- Kopkamtib
Lembaga paling doyan bikin akronim itu militer. Maklum, akronim masuk rumpun bahasa sandi yang jadi makanan sehari-hari dunia intelijen. Nah, Kopkamtib adalah salah satu akronim legendaris ciptaan Pak Harto dan buzzer di lingkaran satunya untuk menjadi pemayung kestabilan seluruh negeri dari gangguan apa pun.
Kelompok menengah “nyinyir” di masa ketika Pak Harto masih sehat walafiat kenal betul dengan akronim ini. Perihalnya adalah nasib gelap jika tak waspada. Bahkan jika kamu mendaftar semua hantu di film-film horor sedunia dan menggabungkannya jadi satu dan dihadapkan dengan Kopkamtib, Kopkamtib tetap lebih menyeramkan. Penjara sesak oleh mahasiswa kritis, jurnalis yang nggatheli, preman bertato, penyair dan juru dakwah yang mulutnya merongos, penulis yang DNA-nya ditengarai palu arit yang menjadi deretan korban dari akronim ini.
Tapol adalah turunan langsung Kopkamtip. Hubungan keduanya seperti hubungan pipa dari kakus hingga septictank. Tahi butuh kakus. Pembangunan butuh Kopkamtib. Apa itu Kopkamtib? Guk-ling kalau berani. Eh.
- SD Inpres
Tenaga muda yang menguasai birokrasi saat ini, atau bergiat di LSM, atau bekerja di sektor informal sebagai pentolan buzzer politik, pasti mengenal gabungan antara singkatan dan akronim ini: “SD Inpres”. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, akronim ini adalah terobosan penting. Terutama dalam pemerataan pendidikan. Prinsip akronim ini: satu sekolah satu desa. Yang terjadi kerap di sebuah desa walau sudah ada SDN, tetap saja wajib berdiri SD Inpres. Nah, saat Pak Harto bikin reality show yang dinamakan incognito (baca: blusukan diam-diam), sasaran utamanya adalah memeriksa kelayakan SD Inpres di lapangan yang dirintisnya itu.
Jadi, kamu yang lulusan SD Inpres tak usah malu-malu ucapkan terima kasih dan doa kepada Pak Harto. Apa itu SDN dan SD Inpres? Guk-ling.
- NKK/BKK
Jika kamu mengeluh begitu sulitnya mengeja nama penjaga gawang Arsenal asal Polandia, Szczęsny, bersyukurlah karena masih ada huruf vokalnya, walau hanya satu. Lha, NKK/BKK, huruf konsonan semua. Singkatan ini setara dengan BKKBN yang tugas utamanya mendisiplinkan si suami agar kalau “begituan” dengan pasangan jangan sampai “keluar di dalam” (istilah aneh dan kelewat dewasa). BKKBN ini saya masukkan dalam poin nomor enam, jadi terlempar dari lima besar di esai eulogi ini.
Kembali ke NKK/BKK. Ini singkatan yang lebih enteng menyebut singkatannya ketimbang kepanjangannya. Mahasiswa yang kuliah di tahun ‘70-an, ‘80-an, dan ‘90-an tahu betul NKK/BKK adalah singkatan yang secara kultural telah bergeser menjadi frase, menjadi istilah tersendiri. Kadang, saking orgasmusnya dengan frase ini sampai lupa bahwa ini hanya singkatan.
Bagi Pak Harto, lewat Mendikbud Pak Daoed Joesoef (masih aktif menulis esai di Kompas saat ini), NKK/BKK adalah syariat terbaik bagi mahasiswa yang telah dipilihkan untuk menyelesaikan kuliah dengan tepat waktu tanpa terganggu oleh godaan setan berorganisasi macam-macam.
Tapi, bagi mahasiswa yang jiwanya dikuasai setan yang suka protes dan banyak omong, NKK/BKK adalah praktik suntik mati yang mesti dilawan habis-habisan. Oh ya, NKK/BKK masih anak kandung dari akronim Kopkamtib dalam dunia kampus.
Pengin tahu dahsyatnya singkatan tanpa huruf vokal ini; NKK/BKK ini? Ayo, tanya Pak Roem Topatimasang guk-ling.
- Repelita
Pak Harto membuktikan bahwa serdadu yang kariernya biasa saja, IQ nggak selevel dengan Nasution dan Yani, bisa bikin pembangunan berencana. Akronim Repelita adalah kunci keahlian itu. Jika Bung Karno punya RPLT, Pak Harto nggak mau kalah: Repelita. Pak Harto memang nggak cespleng secara intelektuil, tapi ia juru siasat yang lihai. Jika tak pintar, jadilah penguasa dan pekerjakan orang-orang pintar. Nah, buzzer utama Pak Harto soal beginian namanya Ali Moertopo dari Blora. Perwira inilah yang menjadi andalan Pak Harto untuk merumuskan apa yang kemudian diringkus menjadi akronim Repelita, yang asal-usulnya datang dari seminar Seskoad tahun 1966 atau lebih dikenal dengan Konsep Akselerasi. Naskah itu, Dasar-Dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, adalah salah satu teks terpenting di Indonesia yang membuat Repelita bisa tayang hingga lima season, dari 1969 hingga 1998.
Untuk menjaga waktu tayang Repelita ajek hingga tiga dekade, jawabannya adalah Kopkamtib. Nah, di antara Repelita dan Kopkamtib ada si pemikir Ali Moertopo. Nasib Ali oleh Pak Harto sampai di antara Repelita dan Kopkamtib itu saja, nggak ke mana-mana lagi.
- P-4
Jika huruf p itu hanya tiga, maka itu mewujud jadi partai. Partai ini bertujuan satu: memaksa Muhammadiyah (Parmusi) dan NU rukun dalam politik di tahun ‘70-an awal. Nah, bagaimana jika huruf p itu empat? Itulah metode Pak Harto memeriksa DNA pikiran setiap warga negaranya, terutama abdi dalem beserta seluruh warga terpelajarnya. Saat Presiden Jokowi melantik UKPPIP yang mana ada Ibu Mega di dalamnya sehari sebelum ultah Pak Harto di tahun ini, keajaiban PPPP yang ditenggelamkan Habibie pada medio 1998 itu tak pernah bisa tergeser pamornya.
Tak puas dengan p yang dijejer hanya empat, singkatan ini melahirkan p yang dijejer menjadi tujuh: PPPPPPP. Tujuh, Saudara, tujuh. Jadi, ada satu masa di mana p punya gandengan begitu banyak. Itu semua dilakukan Pak Harto demi kamu dan kamu agar bisa dengan bangga dan riang berkoar di akun medsos masing-masing saat ultahnya yang ke-96: “Saya Pancasila”. Nah, apa itu sejatinya PPPP dan PPPPPPP? Silakan guk-ling.
Selamat ulang tahun, Pak Harto. “Jangan lupa senyum, ya, Le,” angguk Pak Harto dari Astana Giribangun, Girilayu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah.