Olahan daging sapi jadi menu wajib bagi setiap keluarga saat lebaran di Banyuwangi. Beragam masakan disajikan meski kadang harga daging sapi ugal-ugalan. Tompokan jadi tradisi untuk menyiasati naiknya harga daging di setiap momen lebaran di Bumi Blambangan.
***
Saat lebaran idulfitri, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di berbagai wilayah Indonesia selalu melakukan evaluasi dan pemantauan harga seiring dengan meningkatnya permintaan yang membuat sejumlah harga pangan melambung. Berdasarkan data Indeks Harga Konsumen (IHK) BPS 2022, rata-rata inflasi naik hampir dua persen (month to month) pada momentum Ramadan dan lebaran tahun ini.
Bahkan, inflasi bahan makanan dapat mencapai 2,64 persen. Apabila dilihat dari komoditasnya, daging sapi adalah komoditas pangan yang kerap berkontribusi terhadap inflasi tatkala lebaran tiba. Dilihat dari waktu kenaikannya, umumnya daging sapi mulai merangkak mulai H-4 lebaran. Namun, di Banyuwangi justru ada tradisi yang melawan hegemoni naiknya daging sapi di pasaran saat lebaran tiba.
Siang itu, Sabtu (30/04/2022), Jumi (81) warga Afdeling Kalitajem Kebun Kendenglembu, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi tampak sibuk menyiapkan bumbu untuk beragam olahan daging sapi yang akan ia masak di dapur rumahnya. Daging itu merupakan jatah dari hasil tradisi tompokan. Ia menerangkan tompokan berasal dari Bahasa Madura yang berarti tumpukan.
Menurut Jumi, kegiatan tersebut merupakan tradisi menyembelih sapi yang dibeli dengan uang dari hasil patungan anggota kelompok. Tradisi tompokan sebenarnya serupa dengan arisan, warga menyetor uang dengan besaran tertentu untuk dikumpulkan menjadi satu. Setorannya bisa dilakukan secara harian, bulanan, bahkan ada yang sekali bayar langsung dilunasi.
Hasil dari uang tersebut kemudian dibelikan sapi yang nantinya akan disembelih dan dibagikan secara merata kepada seluruh anggota. Setiap warga yang tergabung dalam kelompok akan mendapatkan daging terdiri dari daging, tulangan, hati, dan sebagainya menjadi satu tumpuk. Masing-masing tumpukan daging yang dibagikan memiliki berat sama karena telah ditimbang terlebih dahulu.
“Ini menunjukkan jika tradisi ini menjunjung asas keadilan dan persamaan,” katanya sambil tangannya dengan cekatan mengaduk daging yang akan diolah menjadi rawon empal khas Banyuwangi.
Tradisi yang terjaga
Saat ditanya awal mula tradisi tersebut, ia mengaku jika sejak dirinya masih kecil tradisi tersebut sudah turun temurun ada. Bahkan sebelum ramai adanya arisan Qurban di setiap Iduladha, tradisi tompokan sudah jamak di temui khususnya di setiap wilayah yang memiliki basis keturunan Suku Madura. Jumi ingat betul saat ia berlebaran di Kabupaten Jember ia menemukan adanya tradisi serupa.
Biasanya, lanjut Jumi, tradisi tompokan diselenggarakan satu atau dua hari menjelang ramadan berakhir, saat itu warga di desa yang melaksanakan tradisi tersebut bakalan disibukkan dengan penyembelihan sapi secara bergotong royong. Kelompok warga ini nantinya akan berbagi tugas mulai yang kebagian mencuci jeroan sapi yang telah di sembelih hingga yang memotong daging sapi tersebut.
“Semua warga akan saling bahu-membahu membantu agar tradisi ini berjalan lancar,” ujar perempuan kelahiran 1941 itu.
Menurut Jumi meski sudah puluhan tahun berlalu, tradisi tompokan tetap terjaga lantaran para orang tua mengenalkan tradisi ini secara tidak langsung. Dengan kegiatan yang terus digelar secara rutin, maka tanpa dikenalkan pun anak cucunya akan tetap mengetahui tradisi tersebut.
Ditambah lagi tradisi tompokan memiliki dampak positif terhadap aspek ekonomi warga menjelang lebaran. Di mana saat hari raya idulfitri berbagai kebutuhan bertambah, tradisi tompokan seakan menjadi solusi bagi warga di desanya yang ingin tetap berlebaran namun dengan memperhatikan neraca keuangan yang pas.
“Ya walau tidak mutawatir sanad tradisinya, tapi masyarakat sangat merasakan manfaatnya,” tambah Jumi.
Mereduksi biaya belanja saat lebaran
Senada dengan Jumi, Supraptiwi (41) warga Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore, juga merasa terbantu dengan adanya tradisi tompokan. Menurut Prap, sapaan akrab Supraptiwi, tradisi ini menjadi penstabil harga daging sapi saat menjelang lebaran. Meski ia mengakui hanya wilayah dengan basis kesukuan Madura yang kuat saja yang saat ini menyelenggarakan tradisi ini di Kabupaten Banyuwangi.
Di sekitaran tempat tinggalnya yang berada di Kecamatan Glenmore tradisi ini sudah jarang di temui. Alhasil ia pun harus mencari kelompok tompokan, meski lokasinya jauh dari tempat tinggalnya. “Kalau sudah terbiasa ikut biasanya akan eman jika tidak diteruskan, toh jika dibandingkan beli di pasar, dengan tradisi ini harga daging sapi jauh lebih murah,” katanya.
Prap menambahkan setiap lebaran idulfitri bagi warga di Kecamatan Glenmore olahan daging-dagingan menjadi suatu hal yang wajib untuk suguhan sanak saudara. Bentuk masakannya pun beragam, mulai yang digiling buat bakso, dimasak merah, dibuat empal, dimasak rawon hingga dibuat dendeng sapi. Oleh karenanya jika hanya beli daging di pasar maka biayanya akan membengkak tidak karuan.
Ia hampir tidak pernah merasakan kenaikan harga daging sapi tiap lebaran tiba. Sebab dengan sistem iuran, uang yang dikeluarkan untuk menebus daging dirasa tidak begitu memberatkan jika dibandingkan dengan langsung membeli ke penjagal di pasar.
“Saya ingat betul sekitar tahun 2018 saat harga daging sapi tembus Rp160 ribu karena kelangkaan pasokan di pasaran. Untung sudah ikut tradisi tompokan jadi tidak memerlukan pengeluaran yang berlebih,” ujarnya.
Akar sejarah
Sementara itu Abdur Rahim, Ketua Kelompok Tompokan di Afdeling Kalitajem Kebun Kendenglembu, mengatakan tradisi tompokan mulanya dulu hanya kegiatan pelengkap atau sampingan dari rutinan Yasinan serta Sarwa’an (tahlilan). Biasanya di satu lingkungan masyarakat Madura, kegiatan Yasinan digelar setiap malam Jumat, sementara kegiatan Sarwa’an digelar setiap malam selasa.
Ia menerangkan apabila kegiatan Yasinan bersifat menetap alias terus-menerus digelar di musala, lain halnya dengan Sarwa’an. Sarwa’an ini dilakukan secara bergilir di setiap rumah jemaah. Di setiap akhir acara Yasinan maupun Sarwa’an ada iurannya. Konon berawal dari iuran itulah tradisi tompokan bermula hingga akhirnya berkembang ke kelompok-kelompok warga seperti saat ini.
“Di Afdeling Kalitajem ada beberapa kelompok yang menyelenggarakan tradisi ini setiap jelang lebaran,” kata Abdul Rahim saat di temui di sela-sela kegiatan pemotongan hewan pada Sabtu pagi (30/04/2022).
Pantauan Mojok.co di lahan dekat lapangan sepak bola milik Afdeling Kalitajem, pagi itu ada tiga kelompok yang melakukan tradisi tompokan di lahan tersebut. Masing-masing kelompok sudah siap dan lengkap dengan tim jagalnya masing-masing. Mulai dari penyembelihan, pengulitan, hingga pemotongan daging sudah ada yang bertugas.
Man Dur sapaan akrab Abdur Rahim menambahkan, seiring berjalannya waktu kelompok-kelompok tradisi tompokan semakin berkembang. Jika awalnya dulu berbasis keagamaan di Sarwa’an saat ini bisa meluas wilayahnya dan jamak ditemui kelompok dari berbagai forum pertemuan warga. Sebut saja di lingkup Rukun Tetangga (RT) atau lingkungan kerja juga ada.
“Tidak sedikit yang membuka kelompok berbasis pekerja kebun yang tempat kerjanya satu lingkungan,” jelasnya.
Sapi berkualitas
Namun Man Dur mengakui untuk masuk atau keluar kelompok tertentu tidak ada paksaan sama sekali. Biasanya warga menentukan akan tetap bertahan di kelompok tompokan awal atau pindah ke yang lain. Semua itu kadang ditentukan dari jumlah daging dan cara pengolahan setelah sapi disembelih. Sebab proses pemotongan daging yang sembarang—tanpa memperhatikan kebersihan—jadi salah satu alasan warga pindah kelompok.
Saat disinggung berkaitan dengan asal sapi yang disembelih, ia mengaku tidak begitu bingung. Sebab banyak pekerja kebun yang juga merangkap sebagai peternak sapi pedaging di tempat tinggalnya. Bahkan tidak jarang sapi-sapi yang digunakan untuk tradisi tompokan merupakan milik peternak di wilayahnya.
“Jadi sapi yang digunakan saat tradisi ini sudah pasti diketahui kondisi kesehatannya. Sapi dalam kondisi prima, sebab kita tahu dan melihat sendiri cara perawatannya” ujarnya.
Lebih jauh Man Dur menerangkan terbukanya sistem kelompok dalam tompokan menjadikan sistem iuran jadi lebih fleksibel atau bisa berubah-ubah. Biasanya warga luar wilayah yang mengikuti tradisi tompokan masih ada hubungan kerabat dengan warga di mana kelompok tompokan berada. Iuran yang biasanya dilakukan bertahap kadang bisa dibayar serentak (lunas) dalam sekali bayar.
Namun, upaya tersebut tetap tidak mengurangi esensi tradisi tompokan, mengingat semangatnya tetap untuk nguri-nguri tradisi dan menyemarakkan hari raya idulfitri. “Iuran yang dilakukan ini secara terus menerus, ada yang rutin membayar dalam beberapa termin ada yang sekali bayar langsung lunas,” pungkasnya.
Reporter: Fareh Hariyanto
Editor: Purnawan Setyo Adi