Setiap Lebaran tiba, kawasan Kotabaru selalu mejadi saksi akan toleransi antarumat beragama di kawasan tersebut. Setidaknya di kawasan yang dibangun tahun 1877-1921 ada tiga empat ibadah besar. Masjid Syuhada, Gereja Santo Antonius, dan Gereja HKBP.
***
Masjid Syuhada, tahun ini tidak menyelenggarakan salat Idul Fitri karena keterbatasan tempat. Jemaah masjid kemudian mengikuti salat yang diselenggarakan oleh Kelurahan Kotabaru di Stadion Kridosono.
Hari itu, Senin (02/05/2022), saya menghubungi Frater Siwi Dharma Jati (31), calon imam Katolik dari ordo Serikat Jesus tentang aktivitas Gereja Santo Antonius Kotabaru di hari Lebaran. Ia mengatakan seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap ada hari besar keagamaan, pihak yang tidak merayakan akan menyediakan lahan parkir ekstra untuk mendukung kelancaran ibadah.
“Itulah yang kami lakukan di Hari Raya Idul Fitri ini. Memang belum seberapa, semoga ke depan, kami bisa berpartisipasi dan memberikan bantuan dalam wujud lain,” ungkap Fr. Siwi.
Jika di hari pertama, teman-teman muslim sedang memusatkan perhatian pada kunjungan dari sanak saudara, maka lebaran hari kedua menjadi kesempatan bagi perwakilan teman-teman Kristiani dari Gereja St. Antonius Kotabaru dan HKBP bertandang di rumah tokoh masyarakat Masjid Syuhada. “Itu sebagai bentuk silaturahmi yang selalu kami lakukan setiap Hari Raya Idul Fitri,” tambah Fr. Siwi.
Komunitas dan keberagaman di mata anak muda
Pratik toleransi sebenarnya saya rasakan langsung pada 20 April 2022 ketika mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas di Kotabaru. Acara yang dikemas dalam acara Lesehan Ramadan bil Jami’ah 1443 berlangsung di Gedung Karya Sosial (GKS) Widyamandala, seberang Gereja Santo Antonius Kotabaru. Acara tersebut mempertemukan anak-anak muda dari Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru, Masjid Syuhada, Gereja HKBP dan Young Interface Peacemaker Community, (YIPC).
Sore itu, saya menerobos hujan yang turun deras untuk menunju GKS Widyamandala. Terakhir saya menginjakkan kaki di tempat ini sudah bertahun silam lamanya. Kini, saya kembali dengan nuansa berbeda. Gedung ini terlihat ramai, dipenuhi pemuda-pemudi lintas agama. Saya pun lantas naik ke lantai 2, sebuah ruang yang sudah dipersiapkan untuk acara dengan tikar di lantai. Ruang ini lebih layak disebut aula.
Mengisi daftar hadir, saya bertemu dengan seorang penerima tamu dari YIPC Yogya. Anissa Zuhra (26), namanya. Ia sudah aktif dalam komunitas ini sejak tahun 2018. “Saya itu sering berpindah provinsi, lahir di Aceh dengan homogenitas yang tinggi. Kemudian pindah di Medan heterogenitas. Dan di Yogya, saya belajar toleransi,” ungkapnya.
Anissa, biasa dipanggil, mengetahui YIPC karena terlibat dalam sebuah program bertajuk Peace Camp. Kebetulan, di tempatnya mengenyam pendidikan, ia sedang mempelajari studi lintas iman. “Sayang, saat itu ketika saya belajar agama Kristiani, pengajarnya adalah seorang Islam,” ungkapnya. Dari YIPC, ia dapat berjumpa dengan orang-orang di seluruh Indonesia dengan agama yang berbeda.
YIPC atau singkatan dari Young Interface Peacemaker Community, dibentuk oleh 2 mahasiswa S3 AISEC UGM pada tahun 2012. Saat itu, isu intoleransi sedang ramai diperbincangkan. Kebetulan, 2 mahasiswa ini memiliki agama yang berbeda, yakni Kristiani dan Islam. Pun, keduanya memiliki latar belakang perdamaian agama. Mereka membentuk training perdamaian hingga lahirnya komunitas YIPC yang terbuka untuk semua agama.
Acara dimulai, kami diajak berbaur dengan sebuah permainan. Setelah kami mendapatkan teman baru di luar komunitas kami, barulah, Mas Ahmad, selaku pemateri, membagikan kartu berwarna hijau yang disebut sebagai kartu kepercayaan. Kami diminta duduk berkelompok. Kebetulan, kami terdiri 4 orang yang belum bertemu sebelumnya. Dengan kartu itu, kami membangun kepercayaan dengan orang baru dan berbagi pengalaman.
Choiruddin (22), salah seorang teman dalam kelompok saya. Ia seorang mahasiswa semester akhir di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogya. “Saya baru mulai terjun dalam isu toleransi beragama saat kuliah, kebetulan karena bergabung dengan sebuah organisasi yang sering diterjunkan untuk mengikuti kegiatan dialog lintas agama,” ungkapnya.
Menurut laki-laki berkacamata yang biasa dipanggil Khoir ini, mengikuti dialog lintas agama mampu mengubah pola pikirnya yang dahulu tidak mau bersentuhan dan berinteraksi dengan orang lintas agama karena terbiasa dengan lingkungan homogen, kini menyadari bahwa menjalin kerukunan dan menghargai umat antar agama merupakan tanggung jawab kepada Sang Pencipta.
Kotabaru, sebuah pusat toleransi beragama di Yogya
Tak lama, sirine tanda buka puasa berbunyi. Kami pun dipersilahkan menyantap bubur kacang hijau dalam kemasan plastik yang sengaja sudah dibagikan. Setelahnya, kami diajak menyantap hidangan utama yaitu sate lontong dan es kelapa muda.
“Kamu percaya nggak, dari semua orang yang ada di sini, pasti ada satu atau dua yang punya pikiran negatif tentang daging yang digunakan untuk sate ini?” ucap Mas Ahmad Shalahuddin (28), pembicara, yang kini duduk di sebelah saya. Hanya tawa ringan yang mampu saya keluarkan, maklum acara ini dilaksanakan dengan Panitia Orang Muda Katolik Paroki St. Antonius Kotabaru, bahkan satenya bukan katering melainkan dimasak sendiri.
“Pasti ada yang berpikir, jangan-jangan ini daging haram,” tambahnya. Itulah, tantangan dalam menyatukan lintas agama.
Acara Lesehan Ramadhan bil Jami’ah 1443 ini merupakan gagasan dari YIPC yang bekerja sama dengan Calon Imam Yesuit Kotabaru. Menjajal konsep yang berbeda, jika biasanya buka bersama diadakan di Masjid, maka kali ini diadakan di bagian dari gereja. Tadinya, acara ini ingin dilaksanakan di Pastoran Gereja St. Antonius Kotabaru, namun gagal lantaran hujan. Ketika dipindah pun, Sang penggagas tak ingin menghilangkan romantisme Kotabaru sebagai momentum pertautan dua agama yang sedang merayakan hari besar di Bulan April.
Kata Mas Ahmad, Kotabaru ibarat sebuah tali harmonisasi. “Ini sebuah simbol budaya dan keberagaman di Yogya. Lihat saja, ada Gereja St. Antonius Kotabaru, ada Masjid Syuhada, ada juga HKBP Yogyakarta, belum lagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia, lalu Universitas Kristen Duta Wacana, Universitas Sanata Dharma Teologi, dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang letaknya tidak jauh, semua hidup berdampingan dan saling tolong-menolong satu sama lain,” ungkapnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Fr. Siwi Dharma Jati (31), pada kesempatan berbeda, bahwa empat poros umat beragama di Kotabaru ini pernah meluncurkan sebuah aksi sosial dengan nama Sego Mubeng dengan cara membagikan nasi bungkus gratis pada tukang sapu dan penarik becak di sekitar Kotabaru. Ada pula religius street, yaitu saling mengundang untuk berkumpul, makan-makan, dan sharing untuk menyatukan kepala agar tidak saling berjalan secara individual.
Mas Ahmad melanjutkan ceritanya, ini bukan pertama kali baginya terjun dalam dialog lintas agama. Sudah 9 tahun ia ambil bagian dalam YIPC Yogya. Sebelumnya, Mas Ahmad yang berasal dari Sulawesi tergabung dalam Gusdurian. Ia yang semula hanya tahu soal-menyoal pesantren, kini menjadi satu-satunya mahasiswa S2 Universitas Kristen Duta Wacana yang beragama Islam.
Bagi Mas Ahmad, mengagas toleransi agama di Yogya tidaklah sulit. Hal ini lantaran berbagai komunitas keagamaan memang sudah sering merajut kebersamaan. “Toleransi agama itu tidak bisa dibicarakan melalui ceramah, tidak bisa diceritakan. Toleransi agama harus dialami,” ungkapnya. Karena itu, setelah diterpa Pandemi Covid-19, kegiatan dialog lintas iman ini kembali diadakan dengan embel-embel buka puasa bersama.
Mas Ahmad berharap dengan kegiatan di momentum yang menyatukan kedua hari raya keagamaan, para peserta yang datang bisa berbaur, mengobrol, dan sharing. Ia ingin membentuk sebuah penerimaan, menghilangkan permasalahan antar agama, dan mengajak mereka yang hidup dalam homogenitas, seperti yang dari kecil mengenyam pendidikan di sekolah Kristiani, maupun sekolah Islam saja, kini dapat bertemu lintas agama. “Setelah ini, tidak ada lagi agamamu-agamamu dan agamaku-agamaku, semua adalah saudara yang berujung pada satu Sang Pencipta yang sama,” ungkapnya.
Ajang peluncuran buku yesuit dan muslim
Setelah selesai menyantap lontong sate, saya pun mengobrol dengan teman-teman lintas agama. Rupanya benar, ini bukan pertemuan pertama mereka. “Dulu juga pernah ada di Pesantren Waria Al-Fatah, di sana kami yang Kristiani diberi ayat-ayat Al-Quran, sedangkan yang Islam diberi ayat-ayat Al-Kitab. Tujuannya untuk saling mengenal,” ungkap Claudia (22), yang dibenarkan oleh beberapa teman lain.
Dengan iringan akustik dari Orang Muda Katolik St. Antonius Kotabaru, saya berkesempatan mengobrol dengan Fr. Siwi tentang peluncuran bukunya yang bertajuk Yesuit dan Muslim. Buku ini ditulis dalam rangka 50 tahun Yesuit berkarya di Indonesia. Dengan buku ini, ia ingin menggali peristiwa historis para tokoh agama, khususnya Yesuit dengan umat beragama Islam.
Sebagai minoritas, penting untuk menemukan cara berkarya dengan masuk dalam pintu masyarakat, salah satunya menjalin relasi dengan tetangga umat beragama lainnya. “Jika tidak begitu, siapa yang akan saling menjamin keamanan ketika hari raya? Itulah pentingnya berelasi,” ungkap Fr. Siwi.
Melalui buku Yesuit dan Muslim, Fr. Siwi mengungkap relasi antara Yesuit dan Muslim yang ternyata sudah terjadi sejak Romo Van Lith, SJ. “Dahulu saat Romo Van Lit, SJ mengembangkan pendidikan Katolik, rupanya juga bertemu dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan yang akan mengembangkan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Keduanya saling berdiskusi dan belajar bersama,” ungkap Fr. Siwi. Pola itulah yang ingin ia bawa, bahwa pertemuan lintas agama bukan untuk saling menggurui atau menyebarkan doktrin, melainkan untuk saling berkontribusi terhadap perkembangan dan keberlangsungan agama.
Tepat pukul 8 malam, Fr. Siwi dan Mas Ahmad memberikan salam perpisahan kepada seluruh peserta yang datang. Acara pun ditutup, keduanya ingin ke depan, acara lintas iman dapat terus berlanjut dan seluruh peserta menyebarkan nilai positif dari kebersamaan ini. “Berharap semakin lama, semakin banyak yang terpanggil untuk bergabung,” ungkap Mas Ahmad sebelum kami meninggalkan GKS Widyamandala menuju rumah masing-masing.
***
Lebaran hari pertama, saya menghubungi Mas Ahmad. Rupanya, YIPC Jogja sedang mempersiapkan acara kedua bertajuk Kembali Fitri, Berdamai dengan Ilahi. Acara halal bihalal yang akan diselenggarakan secara daring melalui zoom yang melibatkan teman-teman Muslim dan Kristiani.
“Setelah berpuasa, kita menyambut lebaran sebagai kemenangan. Dengan berdamai pada Sang Ilahi, kita bergembira karena berhasil menyelesaikan retret agung sebulan ini. Harapannya, semakin dekat, dan toleransi lintas agama di Indonesia, khususnya Jogja, terjalin lebih erat,” pungkas Mas Ahmad yang dihubungi melalui sambungan telepon.
Reporter: Briggita Adelia
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Tompokan, Tradisi Anti-inflasi Harga Daging Sapi Saat Idulfitri dan liputan menarik lainnya di Susul.