MOJOK.CO – Karena informasi soal dua murid Kang Rukhin dan Kang Musthofa sangat minim, kami pun sowan ke kediaman dua murid kesayangan Gus Baha itu.
Bagi kamu yang biasa mendengar pengajian K.H. Baha’uddin Nursalim atau Gus Baha, sudah bisa dipastikan familiar dengan tokoh bernama Kang Rukhin dan Kang Musthofa.
Sebagian dari kamu mungkin bertanya-tanya, siapa sebenarnya kedua tokoh tersebut? Tokoh riil atau hanya tokoh fiktif?
Bahkan ketika Redaktur Mojok mengontak saya untuk mewawancarai dua orang tersebut, saya sendiri sempat bertanya-tanya, “Memang orangnya ada betulan ya?”
Jujur saja, saya dulu sempat mengira Kang Rukhin dan Kang Musthofa ini hanya karakter fiktif saja. Sebagai pemanis pengajian. Njuk saya mbatin, kalau Redaktur Mojok saja sampai minta mewawancarai, berarti orangnya ada betulan dong. Saya pun langsung menyanggupi. Ashiap!
“Aku harus kontak ke mana, Kang?”
“Ya, justru itu kamu harus nyari.”
Woalah pait, pait! Niat hati mendapat kontak dari dua orang bernama Kang Rukhin dan Kang Musthofa, jebul harus berperan jadi intel juga.
Kalau kamu sempat menonton video YouTube Gus Baha di acara Shihab & Shihab yang dipandu Najwa Shihab, kamu juga akan tahu kalau Kang Musthofa dan Kang Rukhin itu betulan ada.
Hanya saja, tidak ada informasi lanjut mengenai siapa itu Kang Rukhin dan Kang Musthofa. Di video-video yang lain juga sangat minim informasi mengenai keduanya.
Beruntung, saya berhasil menemukan informasi di mana kediaman Kang Musthofa dan Kang Rukhin.
Rumah Kang Musthofa sendiri berada di Dusun Mranggen, Pleret. Lokasinya tak terlalu jauh dari Jalan Imogiri Timur. Bangunannya sederhana. Cat hijau yang sudah kusam menyelimuti dinding rumahnya. Di depan rumah terdapat pohon pelem yang sedikit berbuah.
Ketika saya datang, Kang Musthofa mempersilakan kami masuk ke ruang tamu. Setelah berbincang-bincang ala kadarnya, Kang Musthofa bertanya tujuan wawancara ini. Saya jawab, liputan ini untuk Mojok.
“Mojok itu media apa?”
Ulalala. Saya pun harus menjadi Duta Mojok yang menjelaskan ini-itu.
“Nanti kalau saya ceritakan, saya tidak bisa nulis buku dong?”
Sebelum ke kediaman Kang Musthofa saya mendapat kabar dari Mas Mus, informan saya, bahwa Kang Rukhin sebentar lagi akan menerbitkan buku. Buku tersebut memuat kisah perjalanan Kang Rukhin dan kisah-kisah yang tidak banyak diketahui oleh publik.
Nah, karena Kang Rukhin sudah menulis buku, banyak juga yang mendorong Kang Musthofa untuk ikut menulis buku.
“Sekarang keduanya viral tapi tidak pernah ada yang menanyakan rekeningnya, hahaha,” kelakar Mas Mus.
Mas Mus lantas menyinggung banyak akun YouTube atau seleb-seleb media sosial yang datang dan mengambil keuntungan dari keduanya. Padahal keduanya hidup dalam kesederhanaan, bahkan bisa disebut serba-kurang. Untuk itu salah satu cara untuk membantu ekonomi Kang Rukhin dan Kang Musthofa adalah dengan mendorong keduanya berkarya.
“Nanti bantu promosiin bukunya ya, Mas?” kata Mas Mus.
Kang Musthofa kemudian memulai ceritanya bagaimana awal mula mengenal Gus Baha.
Sebenarnya Kang Musthofa sudah pernah mendengar nama Gus Baha sejak tahun 1992. Saat itu, dia masih nyantri di Jember. Nama Gus Baha sangat mentereng di pesantrennya karena jadi satu dari tiga orang di Indonesia yang hafal Shahih Bukhari Muslim era itu.
Saat kembali ke Yogyakarta, Kang Musthofa ngaji di Jejeran yang tak jauh dari rumahnya. Pada tahun 2004, ketika sang kiai wafat, Kang Musthofa merasa perlu mencari gandolan baru.
Nah, saat itulah dia mendengar Gus Baha akan tinggal di Yogyakarta. Tanpa pikir panjang, Kang Musthofa pun langsung krenteg ingin ikut ngajinya Gus Baha.
Meski usia Kang Musthofa lebih tua tiga tahun (53) dari usia Gus Baha (50), namun Kang Musthofa tak peduli. Dia tahu betul kapasitas ke-‘alim-an Gus Baha. Yang penting punya gandolan, begitu alasan sederhananya.
Kang Musthofa pun masuk satu di antara sembilan assabiqunal awwalun, orang yang pertama-tama ikut ngaji bersama Gus Baha pada tahun 2005. Kang Musthofa mengenang bagaimana dulu forum ngaji Gus Baha sangat terbatas. Mereka mengaji di kontrakan yang disewa Gus Baha tak jauh dari kediaman Kang Musthofa.
Forum ngaji itu sempat berhenti akibat gempa yang melanda Jogja di tahun 2006. Agar tetap bisa lanjut, tempat ngaji kemudian dipindah ke kediaman Kiai Rumanto, salah seorang murid Gus Baha lain, di daerah Bedukan, Pleret.
Rumah itulah yang hingga kini menjadi tempat transit Gus Baha ketika berada di Yogyakarta. Sementara pengajian Gus Baha dilaksanakan di Pondok Pesantren Izzati Nuril Quran yang didirikan oleh Kiai Rumanto.
Kang Musthofa merasa Gus Baha sebagai guru yang sangat memahami muridnya baik lahir maupun batin. Misalnya, ketika Kang Mustofa sudah merasa kangen dengan Gus Baha, tiba-tiba saja Gus Baha bertamu ke rumahnya. Padahal Kang Musthofa tidak pernah meminta secara langsung, hanya mbatin saja.
Pada kesempatan yang lain, pernah satu kali Kang Mushtofa bermimpi rumahnya didatangi Gus Baha. Dalam mimpi itu, Gus Baha masuk berkeliling ke rumahnya. Beberapa hari kemudian Gus Baha benar-benar datang ke rumahnya.
Yang membuatnya merasa sangat beruntung, setiap kali berkumpul, Gus Baha selalu duduk di sampingnya. “Saya sering ditraktir padahal yang lain nggak, hahaha.”
Di antara para murid yang lain, Kang Musthofa merasa bahwa dirinya paling mbeling. Mungkin itu yang bikin Kang Musthofa menjadi satu-satunya murid yang berani membangunkan Gus Baha kalau sedang tidur.
Hanya saja, dengan pola komunikasi yang santai, hubungan guru dan murid ini terasa unik karena begitu akrab. Benar-benar seperti sahabat sendiri.
Kini—kamu juga tahu—Kang Musthofa ikut terkenal gara-gara pengajian Gus Baha sudah mulai menyebar di berbagai platform media sosial. Hanya saja, Kang Musthofa sadar, menjadi viral itu tak otomatis bisa bikin dia kenyang.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kang Musthofa berjualan daging ayam di Pasar Ngoto, Jalan Imogiri Barat. Kang Musthofa pun berkelakar agar pembaca turut nglarisi dagangannya. Hehe.
Di tengah-tengah obrolan kami, azan Magrib berkumandang, Mas Mus yang menemani saya memberi kode agar obrolan kami dicukupkan dulu. Maklum, sebentar lagi Kang Musthofa mau mengajar ngaji sebagaimana kegiatan rutinannya sehari-hari.
Selanjutnya Mas Mus, informan saya yang mengantar, mengajak saya ke pondok pesantren Izzati Nuril Quran yang jadi lokasi pengajian Gus Baha. Pondok pesantren itu letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya. Hanya berkisar 400 meter saja.
“Mas, kamu salat Magrib sekaligus nunggu di sini dulu, ya? Saya ada rutinan habis Magrib. Nanti setelah Isya kita ke tempat Kang Rukhin,” ujar Mas Mus. Woalah jebul Mas Mus yang ini juga kiai to?
Tepat setelah azan Isya berkumandang, Mas Mus menjemput saya di pondok. Kami pun langsung menuju rumah Kang Rukhin yang jaraknya hanya satu menit dari pondok.
Lagi-lagi saya mendapat kesan betapa murid Gus Baha yang satu ini juga tak kalah sederhana. Saat kami datang lampu teras rumah Kang Rukhin masih dimatikan. Ketika kami mengucapkan salam, lampu baru dinyalakan, lantas disusul suara derit engsel pintu kurang pelumas yang dibuka.
Dari pintu itu keluar sosok pria bersarung, berkulit cokelat, dengan kupluk ala abang-abang penjaga vila.
Kami dipersilakan duduk di teras yang sekaligus—dugaan saya—menjadi tempat Kang Rukhin mengajar ngaji.
Di ruangan itu terdapat papan tulis hitam yang sudah usang dan beberapa mushaf Al-Quran. Kang Rukhin beranjak ke dalam rumah, lalu membawa tiga cangkir kopi hitam. Di tangannya tergenggam rokok Wismilak Kretek.
Mas Mus yang jadi informan kemudian mengawali maksud kedatangan kami. Saya kemudian menimpali dengan beberapa informasi, salah satunya tulisan ini untuk Mojok.
“Mojok iku media opo?” tanyanya. Lalu saya jelaskan persis seperti saat saya menjelaskan kepada Kang Mushtofa. Oke, jadi Duta Mojok dua kali nih.
Mas Mus lantas menjelaskan lagi bahwa Kang Rukhin akan segera menerbitkan bukunya. Buku ini mengungkap sisi lain dari Kang Rukhin, sosok yang ikut viral di pengajian-pengajian Gus Baha. Beberapa kisah di dalamnya adalah hal-hal yang jarang diketahui oleh publik.
Kata Mas Mus lagi, nasib Kang Rukhin sama seperti Kang Musthofa, sama-sama sering diminta foto tapi tidak pernah ditanya nomor rekeningnya.
“Nah, nanti buku di-launching tanggal 10 November. Jadi bantu promosiin ya, Mas?” ucap Mas Mus lagi. Saya kembali mengangguk-angguk.
“Sebelum nulis buku ini, Kang Rukhin pernah menulis?” tanya saya.
Kang Rukhin menjawab pengalaman menulisnya adalah menulis pidato saat masih nyantri di Banyuwangi.
“Saya menulis buku itu hikmah kehilangan pekerjaan,” ujar Kang Rukhin.
Sebelum pandemi Kang Rukhin bekerja sebagai pengerajin perabotan rumah yang dimiliki oleh seorang pengusaha. Kerajinannya kemudian dijual di kota-kota besar dan bahkan diekspor. Namun pandemi membuat usaha bos Kang Rukhin gulung tikar.
Karena tempat kerjanya bangkrut, Kang Rukhin pun mulai menulis pengalamannya. Jadi, secara garis besar, buku tersebut merupakan perjalanan Kang Rukhin medio 1990-an di mana dia sempat mengalami keretakan rumah tangga hingga bertemu dengan Gus Baha tahun 2005.
Saat itu Kang Rukhin mendapat info dari Kiai Rumanto bahwa ada seorang kiai yang dikenal dengan nama Gus Baha akan mulai mengaji di Yogyakarta.
“Kata Pak Rum, kuota (santri) sebenarnya sudah habis. Kalau mau ikut ngaji saya harus sowan ke Gus Baha,” kenang Kang Rukhin.
Demi bisa ikut ngaji, Kang Rukhin pun mengikuti saran Rumanto. Tak dinyata Gus Baha langsung menerimanya tanpa syarat. Dari sana, resmi sudah Kang Rukhin bergabung bersama para assabiqunal awwalun.
Oh, ya. FYI aja sih. Usia Kang Rukhin ini sama persis dengan usia Kang Musthofa. Artinya dia juga lebih tua dari Gus Baha.
Seperti murid Gus Baha pada umumnya, Kang Rukhin juga pernah krenteg. Ada perasaan iri karena hampir semua santri Gus Baha sudah dikunjungi oleh sang guru, kecuali rumahnya. Padahal Kang Rukhin juga ingin tabarrukan, mencari berkah dari kunjungan orang ‘alim.
Sampai kemudian, ketika Jogja dilanda gempa pada 2006 rumah Kang Rukhin pun ikut runtuh. Dalam keadaan belum sempat renovasi, Kang Rukhin pun membangun sebuah tenda seadanya di reruntuhan rumahnya.
Uniknya, pada suatu waktu ketika sedang ngopi-ngopi santai di rumah Kiai Rumanto, datang Gus Baha yang minta ditemani melihat rumah Kang Rukhin. Kang Rukhin tentu terkejut mendengar permintaan itu.
Sesampainya di “rumah” Kang Rukhin, Gus Baha hanya melihat-lihat saja. Tak ada aktivitas berarti memang rumahnya sekadar tenda saja, bahkan tempat buat salat pun belum ada.
“Yuk, balik,” ajak Gus Baha saat itu.
“Wes tekan to kekarepanmu?”
Di tengah segala keterbatasan menghadapi bencana, Kang Rukhin merasa sangat bahagia rumahnya dikunjungi gurunya. Kang Rukhin mengaku begitu kaget karena tidak pernah mengutarakan keinginan supaya rumahnya dikunjungi, tapi langsung keturutan tanpa pernah meminta.
“Kenapa panjenengan sering disebut Gus Baha di setiap pengajian?” tanya saya penasaran.
“Wah, kalau itu yang tahu Gus Baha,” jawabnya tegas dan lugas yang membuat daku langsung kicep.
Namun Kang Rukhin menduga, dirinya dan Kang Musthofa itu sering dijadikan contoh karena termasuk santri paling mbeling di antara murid yang lain. Terutama Kang Musthofa, kata Kang Rukhin.
Ini informasi yang sedikit aneh sebenarnya, sebab ketika saya ketemu Kang Musthofa saya merasa air muka Kang Musthofa itu tampak innocent. Tak ada guratan-guratan santri mbeling sama sekali.
“Wajahnya itu menipu. Meski sekarang kelihatan kayak gitu, dulunya dia suka naik motor tril,” selorohnya yang memancing saya tertawa.
Ada banyak kisah-kisah lain yang sangat menarik namun sayangnya Kang Rukhin meminta untuk off the record. Alasannya? Biar kalau kamu mau tahu lebih lanjut, kamu beli bukunya Kang Rukhin sendiri.
Untuk ke sekian kalinya, Kang Mus yang mengantar saya ke Kang Musthofa dan Kang Rukhin berpesan, “Jangan lupa, Mas. Tanggal 10 November bukunya di-launching. Bantu promosiin, ya?”
Buset, sudah ketiga kalinya saya diwanti-wanti begitu. Udah kayak acara kuis saja ini lama-lama rasanya. Meski begitu, saya tentu menunjukkan gestur mengiyakan tanpa keberatan sama sekali.
Lagipula, ini kan demi dua murid kesayangan Gus Baha, jadi mana mungkin saya bisa menolak?
BACA JUGA Maksud Terselubung ‘Santri Gayeng’ Populerkan Ngajinya Gus Baha Nursalim.