Memacu Honda Beat Pop berkelir hitam dari kontrakan saya di Jalan Kaliurang atas menuju warung soto Pak Syamsul di Jalan Kaliurang agak atas adalah aktivitas yang selalu menyenangkan dan penuh gairah.
Perut kosong, dan bayangan akan soto Jawa Timuran yang disajikan panas ngentang-ngentang adalah perpaduan yang sempurna bagi saya untuk memacu motor dengan kecepatan yang lebih tinggi dari biasanya serupa Ksatria Baja Hitam memacu belalang tempurnya untuk menghentikan monster jahat yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan batil.
Itulah yang saya lakukan pagi ini. Saya memacu motor saya secepat mungkin agar bisa segera menikmati soto Pak Syamsul. Sayang, kali ini saya tidak sendirian, saya bersama dua kawan saya: Dafi dan Anwar sehingga tidak lagi membuat saya seperti Ksatria Baja Hitam yang selalu tampil sendiri, melainkan seperti Power Ranger yang suka tampil beramai-ramai.
Konon katanya, semakin banyak kalender di sebuah warung mie ayam, maka makin enak mie ayamnya. Konon katanya, semakin kotor warung sate dan tongseng, maka makin enak sate atau tongsengnya. Dan konon katanya, semakin sempait warung soto, maka semakin enak sotonya.
Saya tentu saja tak terlalu yakin dengan konon-konon tersebut, namun khusus untuk konon yang terakhir, saya menemukan validitasnya melalui warung soto Pak Syamsul di salah satu los di sudut Pasar Kolombo. Warung soto Pak Syamsul memang kecil. Saya taksir mungkin hanya berukuran 3 x 2 meter.
Ukuran yang sudah kecil itu menjadi terasa semakin kecil sebab hampir saban pagi warungnya selalu ramai dan membuat pengunjungnya harus duduk empet-empetan. Kalau pas apes, seorang calon pembeli bahkan bisa tidak kebagian tempat dan terpaksa harus menunggu sambil berdiri sepeminuman teh sampai ada pengunjung lain yang sudah selesai makan meninggalkan tempat dan menyisakan satu atau dua bangku kosong.
Kalau mau mendapat jaminan tempat, pengunjung bisa saja datang agak siang, namun tentu saja itu tidak direkomendasikan, sebab di jam-jam menjelang siang, menu-menu pendamping seperti tempe glepung, perkedel, otak, iso, paru, usus, dan babat biasanya sudah ludes.
Begitu sampai di warung soto Pak Syamsul, kami bertiga langsung memarkirkan motor kami. Bukan hal yang susah untuk mencari ruang parkir di depan warung soto Pak Syamsul yang memang sempit itu, sebab ada seorang tukang parkir yang amat lincah dan cekatan yang siap membantu siapa saja mencarikan ruang kosong.
“Soto biasa tiga, Mas. Yang satu nggak pakai taoge,” kata saya pada Rohan, lelaki yang kini bertugas menjadi nakhoda warung soto Pak Syamsul. Saya sebut soto biasa sebab memang ada soto jumbo yang porsinya jauh lebih brutal.
Untuk pesanan soto, pembeli memang bisa memesan langsung kepada Rohan, sedangkan untuk minumannya, bisa teh atau jeruk, biasanya langsung ditanyakan oleh asistennya yang entah kenapa saya lupa siapa namanya.
“Minumnya apa, Mas?” tanyanya si asisten yang belakangan saya ketahui merupakan keponakan Pak Syamsul.
“Teh anget tiga,” jawab saya.
“Aku jeruk anget, Gus” sela Dafi.
“Oh oke.”
“Jadinya teh anget dua, jeruk anget satu, Mas,” kata saya pada si asisten.
Tak butuh waktu lama sampai akhirnya pesanan kami datang. Tiga soto dengan penampilan yang tak terlalu impresif namun namun menguarkan aroma yang memancing selera untuk segera menyantapnya.
* * *
Bagi lidah saya, soto Pak Syamsul, yang oleh Pak Syamsul-nya sendiri diaku sebagai soto gagrak Lamongan kendati tanpa koya itu adalah soto yang sangat enak. Entah kenapa, saya cocok sekali dengan sotonya Pak Syamsul.
Bumbunya terasa sangat merasuk bercampur dalam kuah kaldunya yang berwarna kuning kehijauan itu. Perasan jeruk nipis ditambah sedikit kecap dan sambal membuat kuahnya semakin terasa sedap saja.
Rasa soto tersebut akan menjadi paripurna tatkala ia ditemani oleh campuran pendamping seperti perkedel, otak, atau tempe glepung. Saya sendiri memilih yang terakhir. Perpaduan itu membuat lidah bukan hanya bergoyang, tapi juga berdansa.
Teh hangat dan harum yang disajikan dengan gelas bergambar Soeharto yang membuat saya seolah sedang nyucup mbun-mbunan mantan Bapak Presiden kita setiap kali saya menyeruputnya itu semakin menambah semarak suasana nyarap.
Sebagai anak dari seorang ibu yang pernah buka kios gorengan dan juga menyediakan menu soto, saya tentu saja doyan soto, namun selama ini saya tak pernah memfavoritkannya. Setidaknya, soto tak pernah menjadi pilihan utama saya. Tapi kalau sotonya soto Pak Syamsul, tentu bakal beda ceritanya.
Kepada kawan-kawan saya, saya berkali-kali ngomong bahwa dari seluruh soto yang pernah saya makan, soto Pak Syamsul adalah yang paling cocok di lidah saya. Setidaknya sampai saat ini.
Saya pernah diajak oleh kawan-kawan saya untuk mencoba soto di warung soto langganan mereka, namun hasilnya selalu sama bagi saya: soto langganan kawan-kawan saya itu tak pernah bisa menandingi kecocokan Pak Syamsul di lidah saya. Enak sih enak, tapi tidak secocok soto Pak Syamsul.
* * *
Saya mengenal soto Pak Syamsul sekira tahun 2014 silam. Saat itu, saya memang sering mampir ke kantor penerbit EA Books yang lokasinya tak jauh dari Pasar Kolombo. Nody Arizona adalah lelaki yang pertama kali mengajak saya untuk sarapan di warung soto Pak Syamsul.
“Wis, melu aku, enak, enak,” ujar lelaki yang kelak menjadi direktur penerbit Buku Mojok itu.
Ketika sampai di warung sotonya yang kecil itu, terbit pesimisme saya. Lokasinya yang diapit kios buah dan kios makanan ringan membuat warung soto Pak Syamsul memang kurang meyakinkan.
Namun, bayangan akan ketidakyakinan saya itu akhirnya runtuh begitu suapan pertama saya rasakan. Keparat. Enak betul. Saya, tak bisa tidak, memang harus mengagumi soto racikan Pak Syamsul.
Belakangan, rasa kekaguman saya pada soto Pak Syamsul itu semakin menjadi-jadi. Warung sotonya yang kecil itu toh menjadi langganan pesohor-pesohor lokal Jogja. Saya beberapa kali bertemu dengan pesohor-pesohor itu saat makan di warung kecil itu.
Dari rapper Marzuki Muhammad a.k.a kill The DJ, vokalis band The Produk Gagal Gepeng Kesana Kesini, MC kondang Alit Jabang Bayi, dan sederet tokoh kondang lainnya sering mampir nyarap soto Pak Syamsul.
Walau tampangnya sepintas lalu tampak begitu galak, namun ia adalah sosok yang begitu ramah kepada para pembelinya. Ia piawai menghafal para pelanggannya. Saya membuktikannya sendiri. Pada kunjungan yang keempat (atau kelima), ia tak segan langsung menanyakan nama saya agar ia bisa memanggil saya dengan nama saya sendiri.
“Kok dengaren wis suwe gak ketok, Gus,” ujarnya kalau saya tidak mampir ke warungnya dalam waktu yang agak lama.
Pak Syamsul mengaku membuka kios sotonya sejak tahun 1997. Dia sendiri yang tampil menjadi peracik soto di warungnya itu sampai akhirnya ia harus menyerahkan tampuk kepemimpinan peracikan sotonya itu kepada seorang asistennya karena ia terkena stroke.
Kini, soto Pak Syamsul memang sudah tidak lagi dijoki langsung oleh Pak Syamsul, namun urusan rasa, soto Pak Syamsul saya pikir masih tetap layak menjadi jagoan.
Banyaknya pesohor yang rela antri dan duduk berdempet-dempet demi bisa menikmati soto Pak Syamsul itu tentu adalah bukti yang nyata.
Andai saja Elon Musk pendiri Tesla itu lahir di Condongcatur, mungkin ia sudah setiap hari nyarap soto Pak Syamsul sebelum berangkat ke kantor dan mendesain mobil listrik.