Berada di Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, Jawa Tengah, Makam Mbah Precet punya cerita tersendiri bagi warga Solo. Makam ini unik karena tanpa nama, tanpa nisan, dan letaknya persis di pinggir jalan.
***
Jika melintas di Jalan Abiyoso di Kampung Teposanan, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, secara kasat mata sekilas tak ada sesuatu yang janggal. Jalan yang lokasinya tepat di samping Gedung Olahraga (GOR) Sritex ini, kondisinya ramai oleh kendaraan sepeda motor dan mobil yang melintas.
Namun jika diamati dengan seksama dan melintas dari sisi utara secara perlahan di Jalan Abiyoso, tak sampai lima meter, di sisi kanan jalan akan terlihat satu makam di lokasi ini. Makam ini cukup unik karena hanya satu dan berada persis di pinggir jalan kawasan pemukiman padat penduduk.
Saat dilihat dari dekat, makam ini dikeramik dengan warna krem dan dialasi dengan pelataran keramik warna hitam. Tak terlihat ada nisan, nama, atau tulisan lainnya. Hanya pelataran keramik ini saja yang menjadi penanda makam.
Agar tidak terlindas pengguna jalan, sekitar empat besi dipasang di salah satu sisi. Tak ketinggalan, ada bunga segar yang ditaburkan di atas makam yang menandakan baru saja ada orang yang berziarah.
Saat saya berkunjung ke lokasi, Selasa (11/1) tak terlihat satu orang pun warga yang memungkinkan untuk diajak berbincang tentang makam ini. Saya lantas memutuskan mampir di salah satu warung wedangan yang ada di depan GOR Sritex. Sembari memesan es teh, saya kemudian mengajak berbincang penjualnya.
Djumadi namanya, pria 67 tahun ini ternyata warga asli kelurahan Sriwedari. Ia sudah berjualan di area ini sejak tahun 1989. Bahkan sejak sebelum GOR Sritex Arena dibangun, Djumadi tahu makam ini sudah berada di sana.
Djumadi tinggal di Kampung Kebonan, Kelurahan Sriwedari yang tak jauh dari makam. Beruntungnya, Djumadi mengenal baik cerita-cerita tentang makam di pinggir jalan ini. “Itu makam Mbah Kyai Precet. Sudah ada di sini sejak saya kecil,” katanya.
Dulunya kawasan GOR Sritex itu adalah makam. Bahkan sepengetahuannya, Jalan Abiyoso yang saat ini menjadi jalan umum, dulunya masih banyak makam di tepian jalan. Seiring berjalannya waktu, banyak bangunan yang didirikan di lokasi ini. Termasuk pembangunan GOR Sritex yang akhirnya memindahkan makam-makam lainnya.
“Dulu ini memang jalan, tapi banyak makam di kawasan sini. Semua dipindahkan dan hanya tinggal satu makam ini, Makam Mbah Kyai Precet ini,” ucapnya.
Dari cerita turun temurun yang diterimanya, Mbah Precet sendiri adalah pujangga dari Keraton Solo. Mbah Precet merupakan orang asli Bogor yang kemudian mengabdi untuk Keraton Kasunanan Surakarta.
“Katanya beliau itu orang yang ngerti sak durunge winarah (tahu sesuatu sebelum terjadi),” kata Djumadi.
Cerita mistis Makam Mbah Precet
Dari dulu Djumadi sudah mendengar banyak kejadian tentang Makam Mbah Precet ini. Namun ada pula cerita yang disaksikannya sendiri. Salah satunya sekitar tahun 1994 yang lalu.
Dirinya saat itu sedang berjualan, tiba-tiba ada rombongan dua bus dari Purbalingga yang menanyakan alamat rumah Mbah Precet. Saat itu dia merasa bingung, sebab sepengetahuannya tidak pernah ada rumah milik Mbah Precet di wilayah ini, tepatnya di Kampung Teposanan.
“Rombongan itu dapat ancer-ancer bahwa rumahnya di depan TK Bakti. Dan memang benar Mbah Precet itu tinggal di depan TK, tapi bukan di rumah, melainkan makam. Rombongan ini kaget,” kata Djumadi menceritakan dengan semangat.
Rombongan dua bus yang berniat silaturahmi ke Mbah Precet ini semua tercengang. Mereka berharap bertemu dengan Mbah Precet, namun yang ditemui hanya makam. Usut punya usut, ternyata rombongan ini ingin bertemu dengan Mbah Precet dan mengucapkan terima kasih.
Sebabnya salah satu dari rombongan ini adalah pria sembuh dari penyakit menahun. Ceritanya, beberapa waktu yang lalu ia bertemu dengan lelaki yang mengenakan pakaian gobyong berwarna hitam dan menggunakan ikat kepala wulung. Lelaki ini mengenalkan dirinya sebagai Mbah Precet
“Orang yang sakit ini kemudian disembuhkan oleh Mbah Precet. Entah bagaimana ceritanya, penyakit yang dia derita selama bertahun-tahun bisa sembuh hanya dalam satu malam, disembuhkan oleh Mbah Precet ini,” cerita Djumadi.
Di sela-sela menyembuhkan orang tersebut, Mbah Precet menceritakan bahwa ia tinggal di Solo dan rumahnya di depan TK Bakti. Saat hendak mengucapkan terimakasih, ternyata Mbah Precet sudah menghilang, padahal saat itu pukul 04.00 dini hari.
Sebelumnya, Mbah Precet berniat untuk menginap. Karena tak sempat mengucapkan terima kasih, orang yang telah sembuh dari sakitnya tersebut kemudian berinisiatif bersilaturahmi ke rumah Mbah Precet di Solo bersama warga kampungnya.
“Tapi sampai di sini ternyata yang ditemui hanya makam. Makanya saya sarankan untuk berdoa dan mengucapkan terimakasih, kemudian berziarah,” kata Djumadi.
Cerita lainnya yang disaksikan sendiri oleh Djumadi tentang Makam Mbah Precet, ada orang asing dari Jepang yang tengah mabuk parah dan melintas di jalan ini saat malam hari. Pria ini berjalan dengan terseok-seok dan bahkan nyaris berjongkok saking mabuknya. Sesampainya di samping makam, pria ini merasakan sadar sepenuhnya. Efek dari mabuk tiba-tiba hilang begitu saja.
“Paginya, pria ini mencari tahu. Ternyata dia tersadar di samping Makam Mbah Precet. Dia merasa sangat berterima kasih, bahkan berencana ingin membangun makam ini dan meminta izin ke warga. Namun warga tak memperbolehkan karena lokasinya yang ada di tepi jalan. Kalau dibangun pasti akan menyulitkan pengguna jalan,” ucapnya.
Namun ada satu lagi cerita melegenda yang sudah diketahui oleh masyarakat secara umum. Saat itu, sekitar tahun 90-an, GOR Sritex Arena membuat acara besar dan menghadirkan pejabat, salah satunya Menteri Penerangan era Orde Baru, Harmoko.
Di tengah-tengah acara, tiba-tiba listrik di GOR Sritex tiba-tiba mati. Padahal tidak ada masalah kelistrikan dan semua jaringan listrik dan semua berfungsi dengan baik. Anehnya di bagian luar gedung, listrik menyala, hanya di bagian dalam saja yang mati.
“Sampai panitia memanggil orang dari PLN untuk memperbaiki. Dari PLN pun mengatakan tidak ada masalah. Ternyata saat dilihat ke makam, ada satu sepeda motor yang terparkir di atas Makam Mbah Precet. Saat itu makamya belum dibangun. Makanya banyak orang yang tidak tahu kalau lokasi itu makam, setelah motor dipindah, listrik kemudian bisa menyala lagi,” katanya.
Baru beberapa tahun lalu, makam ini dibangun dan diberi keramik sebagai penanda. Sebelumnya, makam ini hanya berbentuk pelataran dengan semen saja. Alasan inilah yang membuat orang-orang terkadang salah mengartikan.
“Apalagi kalau ada orang yang tidak sengaja memarkir kendaraannya di lokasi makam,” ucapnya.
Sepengetahuan Djumadi, banyak cerita mistis dari makam Mbah Precet ini. Namun semuanya bersifat positif. Banyak orang yang dibantu oleh Mbah Precet ini.
“Kalau diganggu, tidak pernah dapat cerita yang seperti itu. Tapi kalau yang merasa terbantu oleh Mbah Precet banyak. Seperti orang Purbalingga dan orang Jepang tadi. Tapi ya kita tidak tahu apakah hanya kebetulan atau seperti apa. Diserahkan masing-masing orang, mau percaya atau tidak,” kata Djumadi.
Tiap hari, makam ini rutin dibersihkan warga sekitar Kampung Teposanan, termasuk Djumadi sendiri. Terkadang untuk hari-hari tertentu, ada warga yang berziarah di makam ini. Tak jarang ada orang asing yang bertanya tentang makam ini dan kemudian berziarah.
“Biasanya malam Jumat Kliwon atau malam Selasa Kliwon. Tapi ada juga yang tiba-tiba ziarah di siang hari. Nggak tentu,” ucapnya.
Sejarah Makam Mbah Precet
Sementara dari sisi sejarah, makam ini memang merupakan makam tua di Kampung Teposanan. Bahkan sebelum dinamai Kampung Teposanan, makam ini sudah ada.
Dari penelusuran Solo Societeit, komunitas sejarah di Kota Solo, Kampung Teposanan dulunya mempunyai nama sebagai Kampung Precetan dari kata dasar Precet. Namun karena ada tokoh terkenal bernama Pangeran Teposana yang namanya diambil untuk menamai kampung ini.
“Makam Mbah Precet ini ada di dalam wilayah Kampung Teposanan. Kampung Teposanan sendiri diambil dari nama salah satu pangeran bernama Teposana,” kata Ketua Komunitas Solo Societeit, Dani Saptoni.
Ada dua Pangeran Teposana yang dikenal dalam manuskrip-manuskrip Jawa, yakni di sekitar periode 1500-an akhir dan sekitar tahun 1700-an. Namun sebelum dikenal sebagai Kampung Teposanan, kampung ini sudah dikenal dengan nama Kampung Precetan.
Dalam Bahasa Jawa sendiri, precet memiliki dua arti. Arti pertama yakni dipotong kecil-kecil, sedangkan arti kedua yakni bengesan (memakai lipstik). Sementara akhiran –an dalam bahasa Jawa, sudah memberikan makna berbeda. Ditambah lagi, untuk sebuah kampung di Jawa, biasanya diambil dari sebuah kata dasar yang diberikan imbuhan –an, seperti halnya kampung Teposanan yang diambil dari kata Teposana.
“Sehingga Kampung Precetan sendiri, sebenarnya kata dasarnya precet, bukan precetan. Jadi bisa diartikan nama Kampung Precetan sendiri diambil dari kata precet yang merujuk nama Mbah Precet,” katanya.
Lebih lanjut Dani mengatakan, tidak ada manuskrip atau data valid yang menceritakan mengenai Kyai Precet ini. Namun dalam tradisi Jawa, ketika ada penggusuran atau pemindahan makam, maka akan ada satu makam yang disisakan, biasanya makam punden atau makam yang paling tua.
“Sebab dalam tradisi Jawa, biasanya makam punden itu diuri-uri. Kalaupun dipindah, biasanya bekasnya akan dijadikan petilasan,” pungkasnya.
Reporter : Novita Rahmawati
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Hari Pasaran Jawa, Aktivitas Ekonomi yang Tergerus Zaman dan liputan menarik lainnya di Susul.