Susahnya Jadi Komika, Melucu di Stand Up Comedy Itu Tak Semudah di Layar Kaca

Susahnya Jadi Komika, Melucu di Stand Up Comedy Itu Tak Semudah di Layar Kaca. MOJOK.CO

Ilustrasi Susahnya Jadi Komika, Melucu di Stand Up Comedy Itu Tak Semudah di Layar Kaca. MOJOK.CO

Jadi komedian di stand up comedy atau komika itu nyatanya tak mudah. Sebelum bisa tampil di layar kaca atau punya bayaran mahal, mereka harus melewati serangkaian proses yang tak mudah.

Mojok berbincang dengan orang-orang di Jogja yang mencoba ‘nggambleh’ lewat open mic agar orang-orang tertawa dengan materi yang mereka bawakan.

***

Bagi kebanyakan orang, stand up comedy hadir melalui layar kaca atau gawai dalam bentuknya yang paling matang: semuanya lucu. Kita tinggal memilih mana yang cocok dengan selera humor kita.

Pengin komedi mindblowing dengan teknik oneliner? Ada Indra Frimawan. Pengin nonton komika yang bisa membuat lelucon dari hal-hal sepele? Ada Aly Akbar. Kangen dengar jokes dengan bahasa atau dialek daerah? Ada Arif Brata atau Nopek Novian.

Namun, tak banyak yang tahu kalau jokes mereka sedemikian lucu setelah melalui proses yang panjang. Saya baru paham betul hal itu ketika menonton sebuah gelaran open mic bertajuk Nggambleh Ing Tilasawa. Acara tersebut rutin diadakan Komunitas Stand Up Indo Jogja setiap Jumat, di Tilasawa Coffee, Sleman.

Open mic, latihan uji nyali dan materi

Saya pertama kali menonton open mic itu pada Jumat (11/8/2023). Ada 13 komika yang tampil di halaman belakang Tilasawa malam itu. Meskipun open mic sejatinya hanya panggung ‘latihan’, animo audiens yang menonton acara itu cukup mengagetkan. Seluruh kursi di sana penuh. Di depan panggung, terlihat beberapa orang sampai duduk lesehan menonton acara.

Mereka semua antusias menonton komika yang tak kalah semangat membawakan materinya. Karena itu panggung latihan, tentu tak semua jokes berhasil.

Saya datang agak telat, ketika komika urutan ketiga tengah membawakan jokesnya. Semuanya membawa materi beragam dan personal. Ada dari mereka yang membawakan materi perihal budaya di daerahnya. Juga ada komika perempuan tampak maju untuk menceritakan pribadinya mengalami disleksia.

Ada pula satu komika laki-laki yang cukup menarik perhatian saya. Pada mulanya, saya kira, ia hanyalah penonton. Namun, ketika delapan komika sudah selesai tampil, ia mendekat ke panggung. Komika kesembilan tampil lalu turun. Pria yang semula saya kira penonton itu lantas dipanggil MC.

“Penampil selanjutnya adalah komika yang nggak pernah berdiri: Dodok!”

Jeli melihat peristiwa

Penampil kesepuluh itu adalah Dodok Putra Bangsa, seniman yang dikenal sebagai promotor gerakan Jogja Ora Didol. Ia tampil membawakan materi perihal ‘palu-arit’.

Usai tampil, saya menghampiri Dodok dan meminta izin untuk mewawancarainya. Melalui obrolan singkat, saya akhirnya tahu bahwa Dodok sudah 7 kali tampil di open mic.

Sebagai komika baru, tentu ada banyak materinya yang kurang berhasil. Malam itu saja, menurut penuturan Dodok, ada beberapa bit—sebutan lain dari materi—yang kurang lucu.

“Malah paling lucu itu katanya minggu lalu,” ujar Dodok sambil menyulut sebatang rokok. “Aku ngomongin mahasiswa yang tiap tahun makin banyak, tapi yang lulus belum tentu.”

Komika di Jogja ‘tes mental’ di depan publik untuk menguji materi mereka. (Sidratul Muntaha/Mojok.co)

Kendati demikian, itu tak membuatnya bangga diri. Lagipula, menurut Dodok, bit yang lucu di suatu tempat belum tentu bisa menghasilkan tawa serupa di tempat lain. Bisa jadi, materinya perihal mahasiswa jadi lucu karena kebanyakan audiensnya merupakan mahasiswa.

Karenanya, Dodok mengaku masih mengeksplor banyak tema untuk diangkat dalam materinya. Eksplorasi itu bahkan jadi obsesi. “Sekarang kalau aku nemuin sesuatu di jalan tak catet, nanti dikulik, cari lucunya di mana,” jelas Dodok.

Dari keresahan jadi tawa

Hasilnya, materi yang ia bawakan hingga saat ini cukup beragam temanya. Pada penampilan pertama, Dodok coba-coba membawakan bit yang memuat kritik sosial. Namun, di penampilan selanjutnya, ia membawa bit seputar pengalaman pribadinya. Para komika biasa menyebutnya ‘keresahan’.

Membawa materi yang bersifat personal dan ‘meresahkan’ itu pada akhirnya cukup memudahkan Dodok saat tampil. “Entah faktor umur atau apa, aku mengingat materi itu susah sekali. Makanya aku ngambil dari keresahan aja sekarang, gampang hafalinnya,” tutur Dodok yang saat ini menginjak usia 46 tahun.

Lagipula, Dodok melanjutkan, targetnya di dunia komedi tunggal saat ini sederhana. Ia pengin membiasakan diri tampil di panggung. Jika penampilannya sudah banyak, ia tinggal mengumpulkan mana bit yang ia kira bagus dan dijadikan materi andalan. Para komika menyebut bit semacam ini sebagai materi solid.

“Jadi kalau sekarang ya tampil, habis itu tak lupain. Buat lagi, lupain lagi. Buat lagi, lupain lagi,” ujar Dodok.

Susahnya membuat penonton tertawa

Sulitnya membawa materi dan membuat penonton tertawa tentu juga dialami banyak komika lain. Salah satunya Sandy Prastowo, salah satu komika senior Stand Up Indo Jogja yang berasal dari Gunungkidul. Komika yang kerap disapa Sanpras itu mengaku baru bisa menghasilkan kelucuan selama 6-7 bulan mencoba open mic.

Sanpras sendiri memulai karir stand up comedy-nya di tahun 2012. Saat itu, geliat stand up comedy baru saja muncul. Sanpras, seperti kebanyakan komika, tertarik dengan dunia stand up comedy setelah melihat penampilan Raditya Dika yang viral di media sosial.

Kendati demikian, ada perbedaan antara Sanpras dengan kebanyakan komika. Kebanyakan orang mencoba panggung komedi Tunggal karena merasa dirinya lucu, paling tidak di tongkrongan sendiri.

“Aku malah kebalikannya. Karena aku nggak punya track record lucu di tongkrongan, punya kesulitan ngomong di depan umum, akhirnya coba lah stand up,” tutur Sanpras saat diwawancarai via telepon, Senin (31/7).

Baca halaman selanjutnya…

Berharap stand up comedy bisa untuk hidup

Berharap stand up comedy bisa untuk hidup

Selain senang membuat orang lain tertawa, tentu banyak juga komika yang berharap stand up comedy mengubah hidupnya, paling tidak dari sisi ekonomi. Memang, ada banyak cerita dari komika yang semula berasal dari kalangan bawah, kini menjadi rockstar di dunia hiburan. Namun, jalan yang harus mereka tempuh sangatlah terjal dan sulit.

Misalnya saja Yono Bakrie, komika yang menjuarai kompetisi Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) season 10. Dalam salah satu panggung di kompetisi tersebut, ia bercerita tentang keputusannya untuk mundur dari pekerjaan di Samarinda. Ia pengin fokus berkomedi di Jakarta, tapi butuh waktu berbulan-bulan baginya hingga dapat job. Alhasil, ia menganggur.

Untuk menghasilkan kelucuan saja, butuh waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Apalagi untuk mendapatkan job. Menurut Sanpras, komika di Jogja juga tak semuanya rutin dapat pekerjaan. Dan untuk mendapatkan pekerjaan, mereka harus punya materi solid sepanjang 10 sampai 15 menit dan clean. “Yang tidak SARA, tidak saru.” tambah Sanpras.

Pasalnya, job yang datang amat beragam begitupun audiensnya, mulai dari anak muda dan orang tua.

Itu jadi syarat yang dari Stand Up Indo Jogja sebagai komunitas yang mengakomodir banyak komika. Komika yang aktif dan memenuhi kriteria tersebut akan masuk dalam katalog. Lantas ditawarkan pada EO yang hendak mengisi acaranya dengan panggung komedi tunggal.

Harus punya sambilan atau pekerjaan tetap

Adapun, bayaran yang didapatkan komika dari panggung berbayar, menurut Sanpras, sudah lumayan bagus. “Kalau sekarang sih para EO udah cukup mengerti ketika mengundang stand up comedian, ada nilai ekonomi di sana,” jelas Sanpras. “Empat kali stand up itu udah bisa UMR lah.”

Ada juga beberapa komika mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang masih bersinggungan dengan stand up comedy. “Misal, ada komika Jogja dari UAD, namanya Salman. Di Jogja dia suka bikin konten segala macam, terus jadi tim kreatifnya Denny Sumargo,” tutur Sanpras.

“Demand pekerjaan buat komika banyak karena stand up comedian itu dirasa kemasan yang komplit. Dia bisa nulis lucu, acting lucu, bikin sketsa-sketsa juga oke,” tambahnya.

Sisanya, kebanyakan komika masih perlu bekerja penuh atau paruh waktu untuk menghidupi dirinya.

Sanpras sendiri, selain mendapatkan penghasilan dari stand up comedy, juga mencari pendapatan sebagai desainer lepas. Ia juga rutin membikin konten seputar tips dan trik ber-stand up comedy. Sanpras dapat sedikit saweran dari penikmat kontennya itu.

Untuk bisa di titik itu, dinikmati banyak audiens dan memiliki nilai ekonomi, Stand Up Indo Jogja menempuh jalan yang panjang.

Geliat Stand Up Indo Jogja

Hadir sejak Juli 2011, Stand Up Indo Jogja rutin mengadakan open mic hingga hari ini. Pada 2012 hingga 2015, mereka juga punya cabang di banyak kampus. Beberapa di antaranya ialah UNY, UGM, UAD, UII, UIN, dan lain sebagainya.

Di tahun-tahun itu pula, Stand Up Indo Jogja selalu punya perwakilan yang hadir di kompetisi nasional, SUCI. Pada SUCI season satu, 2011, ada Wisben Antoro, Gareng dan Sakdiyah Ma’ruf. Di season kedua ada Sigit Hariyo Seno. Season ketiga ada Bene Dion yang kini menjadi sutradara film. Season keempat ada Hifdzi Khoir dan Benidictivity, dan seterusnya.

Kini cabang Stand Up Jogja hanya tersisa di dua kampus, yaitu UNY dan UGM. Kendati demikian, antusiasme orang-orang untuk bergabung dengan Stand Up Indo Jogja tak bisa dikatakan surut.

Menurut Sanpras, hingga hari ini, selalu ada pendatang baru yang ikut di acara Sharing Komika Jogja setiap Selasa. Dan, ketika gelaran open mic, ada komika yang tak dapat kesempatan tampil dan harus mengantri di minggu selanjutnya. “Aku nggak tahu, apakah covid ini bikin tambah stres, terus orang-orang nyari pelarian baru,” imbuhnya.

Alhasil, kata Sanpras, kini ada sekitar 75 anggota yang aktif di Stand Up Indo Jogja. “Ini yang sering datang di Selasa dan Jumat. Kalau totalnya, aku sih berani bilang sekitar 500,” jelas Sanpras. “Misalnya dia datang sekali, open mic, lalu menyerah, kalau itu dihitung sebagai anggota komunitas, angkanya bisa 500.”

Acara bulanan untuk komika spesial

Di samping rutin mengadakan sharing dan open mic, Stand Up Indo Jogja juga punya acara bulanan berupa showcase yang menampilkan komika potensial. Setiap akhir tahun, acara serupa juga hadir dengan format yang lebih spesial, bertajuk Freedom of Nggambleh (FON).

“FON kemarin tuh sekitar 30 orang penampil. Kapasitasnya 250 penonton. Sold out,” terang Sanpras.

Tak bisa ditampik, tingginya minat terhadap stand up comedy di tingkat lokal tak lepas dari ingar bingarnya di level nasional. Sebut saja reputasi Stand Up Indo Jogja, seperti yang sudah disebut sebelumnya, cukup terangkat karena komikanya yang berhasil di kompetisi nasional.

Selain itu, komunitas Stand Up Indo, yang menjadi tempat bernaung banyak komunitas lokal, juga memberikan banyak dukungan. Sanpras, misalnya, mendapatkan kesempatan untuk tampil di Stand Up Fest 2023 yang baru digelar awal Agustus lalu.

Tak hanya Sanpras, Stand Up Fest memang memberikan banyak slot untuk komika lokal. “Dari Jogja yang ikut Stand Up Fest itu ada 13-14 orang,” pungkas Sanpras.

Reporter: Sidratul Muntaha
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Deni, Santri Asal Banten yang Cium Tangan Paus Fransiskus dengan Khusyuk

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version